Liputan6.com, Jakarta Sebanyak 41.490 wajib pajak dengan 47.802 surat keterangan telah mengikuti Program pengungkapan sukarela (PPS) yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Dikutip dari situs resmi Ditjen pajak, Rabu (4/5/2022), hingga 3 Mei 2022 Pemerintah berhasil mengumpulkan penerimaan pajak (PPh) sebesar Rp 8 triliun lewat Program pengungkapan sukarela ini.
Selain itu, nilai pengungkapan harta yang sudah terdata mencapai Rp 79,1 triliun. Sementara untuk deklarasi dari dalam negeri diperoleh Rp 68,2 triliun.
Advertisement
Sedangkan deklarasi dari luar negeri mencapai Rp 6,13 triliun. Kemudian, jumlah harta yang akan diinvestasikan ke instrumen surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 4,76 triliun.
Program ini sifatnya terbatas, hanya berlangsung 1 Januari hingga hingga 30 Juni 2022. Artinya, tinggal 1 bulan lagi program ini akan berakhir.
Adapun tujuan dari Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) adalah meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak (WP).
Pemerintah tidak menargetkan jumlah pendapatan yang masuk dari pelaksanaan PPS ini, karena tujuan utamanya adalah kepatuhan sukarela dari WP.
PPS akan memberikan kesempatan pengungkapan sukarela kepada wajib pajak yang selama ini belum melaporkan kewajiban perpajakannya.
Pelaporan PPS dapat dilakukan secara online melalui akun wajib pajak di situs djponline.pajak.go.id dalam jangka waktu 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu dengan standar Waktu Indonesia Barat (WIB).
Tak hanya itu, PPS diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan. Program ini diharapkan dapat mendorong aliran modal ke dalam negeri, dan memperkuat investasi di bidang pengolahan sumber daya alam dan sektor energi terbarukan.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mengenal Tax Amnesty Jilid II dan Sederet Manfaatnya
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau yang juga dikenal dengan tax amnesty jilid II telah resmi dimulai pada 1 Januari 2022 dan akan berakhir pada 30 Juni 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2021 (PMK 196) tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak yang merupakan ketentuan pelaksana dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada 23 Desember 2021 lalu.
Hal ini memberikan penjelasan dan tata cara kepada Wajib Pajak (WP) untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan berupa pelaporan harta yang belum dipenuhi secara sukarela.
Terdapat dua kebijakan dalam PPS, pertama adalah PPS untuk wajib pajak yang telah mengikuti program Tax Amnesty berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 yang belum atau tidak seluruhnya mengungkapkan harta dalam Surat Pernyataan.
Apabila data dan/atau informasi mengenai harta tersebut ditemukan oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP), maka akan dianggap sebagai penghasilan dan dikenai PPh Final 25 persen (badan), 30 persen (orang pribadi), atau 12,5 persen (WP tertentu) dari harta bersih yang ditemukan dengan tambahan sanksi 200 persen.
“Banyak keuntungan yang bisa diperoleh wajib pajak yang mengikuti PPS," kata Partner Tax RSM Indonesia Sundfitris LM Sitompul dalam Webinar berjudul Key Points of Tax Voluntary Disclosure Program, dikutip Senin (31/1/2022).
Kedua adalah PPS untuk wajib pajak orang pribadi yang belum melaporkan harta yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2020, yang apabila data dan/atau informasi mengenai harta tersebut ditemukan oleh DJP dapat dianggap penghasilan dan dikenai pajak sesuai tarif yang berlaku ditambah sanksi administrasi.
Wajib pajak yang akan mengikuti PPS diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak penghasilan bersifat final sebesar nilai bersih harta yang diungkapkan dengan tarif pajak sebagai berikut:.
- Apabila harta bersih berada di Indonesia atau direpatriasi ke Indonesia dan diinvestasikan pada jenis investasi yang disyaratkan, maka tarif pajak kebijakan I sebesar 6 persen dan tarif pajak kebijakan II sebesar12 persen.
- Apabila harta bersih berada di Indonesia atau direpatriasi ke Indonesia namun tidak diinvestasikan pada jenis investasi yang disyaratkan, maka tarif pajak kebijakan I sebesar 8 persen dan tarif pajak kebijakan II sebesar 14 persen.
- Apabila harta bersih berada diluar negeri dan tidak direpatriasikan ke Indonesia, maka tarif pajak kebijakan I sebesar 11 persen dan tarif pajak kebijakan II sebesar 18 persen.
Advertisement
Jenis Investasi
Jenis investasi yang disyaratkan yaitu investasi pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan atau dalam Surat Berharga Negara. Investasi tersebut harus dilakukan paling lambat tanggal 30 September 2023 dengan jangka waktu paling singkat 5 tahun sejak diinvestasikan.
"Untuk Kebijakan I, wajib pajak terhindar dari tambahan pajak dan sanksi 200 persen apabila harta tersebut ditemukan oleh DJP," tutur Sundfitris.
"Untuk Kebijakan II, wajib pajak tidak akan diterbitkan ketetapan pajak atas kewajiban perpajakan untuk tahun 2016 sampai dengan tahun 2020 kecuali terdapat pajak yang sudah dipotong atau dipungut tapi tidak disetorkan oleh wajib pajak. Selain itu data yang bersumber dari PPS tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak,” jelas dia.
Konsekuensi
Untuk konsekuensi yang patut dipertimbangkan adalah apabila terdapat harta lain yang belum diungkapkan setelah PPS berakhir.
Bila DJP menemukan ketidaksesuaian antara harta yang diungkapkan dengan keadaan sebenarnya, DJP dapat mengenakan pajak untuk Kebijakan 1 yaitu sebesar 25 persen (badan), 30 persen (orang pribadi), atau 12,5 persen (WP tertentu) dari harta bersih dengan tambahan ditambah sanksi 200 persen, dan untuk Kebijakan 2 sebesar 30 persen dari nilai harta bersih ditambah sanksi administratif berupa bunga sesuai ketentuan umum perpajakan.
Menyambung pertimbangan PPS, Partner untuk Tax Practice RSM Indonesia Rizal Awab menyatakan, Kewajiban paska PPS meliputi kewajiban untuk membukukan nilai Harta Bersih yang disampaikan dalam Surat Pengungkapan sebagai tambahan atas saldo ditahan dalam neraca untuk wajib pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Atas tambahan harta dan/atau utang yang diungkapkan wajib pajak dicatat dan dilaporkan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 sebagai perolehan harta baru dan perolehan utang baru sesuai tanggal Surat Keterangan.
"Harta yang diungkapkan dalam Surat Pengungkapan yang berupa aktiva berwujud maupun aktiva tidak berwujud tidak dapat disusutkan untuk tujuan perpajakan. Wajib pajak yang melakukan repatriasi harta ke Indonesia dan/atau melakukan investasi wajib menyampaikan laporan realisasi repatriasi dan/atau investasi kepada DJP," ungkap dia.
Advertisement