Liputan6.com, Jakarta - Inggris mengumumkan sanksi baru terhadap Rusia dan Belarusia sebagai kecaman atas invasi di Ukraina.Â
Dilansir dari BBC, Senin (9/5/2022), sanksi ke Rusia yang teranyar ini termasuk larangan ekspor dan menetapkan tarif impor baru pada platinum dan paladium. Sedangkan larangan ekspor, akan menargetkan bahan kimia, plastik, karet dan mesin.
Baca Juga
Departemen Perdagangan Internasional Inggris mengatakan, dikeluarkannya tarif impor dan larangan ekspor adalah untuk menekan Rusia, dalam mengurangi kemampuan negara itu untuk mendanai perang.Â
Advertisement
Larangan ekspor dan tarif impor baru dari Inggris diperkirakan akan berdampak pada ekonomi Rusia hingga 1,7 miliar poundsterling atau setara Rp 30,3 triliun.
Tarif impor baru termasuk beban biaya 1,4 miliar poundsterling, sementara larangan ekspor disebut bakal membebankan Rusia lebih dari 250 juta poundsterling - di sektor ekonomi yang paling bergantung pada barang-barang Inggris.
"Kami bertekad untuk melakukan yang terbaik untuk menggagalkan tujuan Putin di Ukraina dan merusak invasi ilegalnya, yang telah melihat tindakan barbar terhadap rakyat Ukraina," ujar Menteri Perdagangan Internasional Inggris, Anne-Marie Trevelyan.
"Paket sanksi yang luas ini akan menimbulkan kerusakan lebih lanjut pada mesin perang Rusia," lanjutnya.
Senada dengan Menteri Perdagangan Internasional, Chancellor Rishi Sunak juga menyebut sanksi impor dan ekspor yang baru akan menimbulkan "kerusakan signifikan pada upaya perang oleh Putin".
Sanksi terhadap Rusia kali ini menandai sanksi putaran ketiga di sektor perdagangan yang diumumkan oleh Inggris - tidak termasuk emas dan energi.Â
Selain itu, sanksi baru ini juga akan membuat lebih dari 96 persen impor barang dari Rusia terkena pembatasan dan lebih dari 60 persen ekspor barang ke negara itu terbatas secara keseluruhan atau sebagian, menurut Departemen Perdagangan Internasional Inggris.
Sanksi dari Barat Semakin Menekan Ekonomi Rusia
Diketahui bahwa negara-negara Barat telah memberlakukan serangkaian sanksi yang semakin meluas terhadap Rusia - menargetkan miliarder, bank, bisnis dan perusahaan besar milik negara, serta ekspor.
Salah satu miliarder Rusia yang sudah menjadi target sanksi adalah Roman Abramovich, yang merupakan mantan pemilik Chelsea Football Club.
Inggris sebelumnya juga mengeluarkan bank-bank utama Rusia dari sistem keuangan Inggris, dengan membekukan aset semua bank negara itu, melarang perusahaan Rusia meminjam uang, dan membatasi simpanan yang dapat dibuat masyarakat Rusia di bank-bank Inggris.
Adapun penangguhan bisnis oleh lebih dari 1.000 perusahaan internasional di Rusia, atau ditarik termasuk bisnis McDonald's, Coca-Cola, dan Starbucks.
Sanksi terbaru dari Inggris juga datang setelah para pemimpin negara G7 mengadakan panggilan video dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan AS serta Kanada, yang juga memberlakukan sanksi baru.
Advertisement
Miliarder Rusia Alisher Usmanov Ajukan Banding Atas Sanksi dari Uni Eropa
Miliarder logam Rusia, Alisher Usmanov mengajukan banding atas keputusan sanksi oleh Uni Eropa, sebagai tanggapan atas invasi Rusia di Ukraina.
Dilansir dari Bloomberg, Senin (9/4/2022) Usmanov mengajukan banding di Pengadilan Umum Uni Eropa pada 29 April, meminta pengadilan tertinggi kedua di blok itu juga untuk menangguhkan sanksi sampai hakim membuat keputusan akhir, menurut pengajuan pengadilan.
Namun, juru bicara Usmanov enggan memberikan komentar terkait pengajuan banding tersebut.
Sebagai informasi, Usmanos memiliki 49 persen saham perusahaan pertambangan Metalloinvest.
Kasus Usmanov adalah bagian dari meningkatnya penolakan di pengadilan yang berbasis di Luksemburg sejak Uni Eropa mengeluarkan sanksi putaran pertama pada 28 Februari 2022.
Jerman sebelumnya telah menyita superyacht bernama ‘Dilbar' milik Usmanov. Superyacht mewah tersebut senilai USD 750 juta atau setara Rp 10,8 triliun.Â
Usmanov termasuk di antara beberapa miliarder Rusia, termasuk pemilik Alfa Group Mikhail Fridman dan Petr Aven, serta Alexei Mordashov dari Severstal PJSC, yang menjadi target putaran pertama sanksi dari Uni Eropa.