Sukses

Pebisnis AS dan Eropa Menjerit Terkena Dampak Lockdown Covid-19 di China

Perusahaan Amerika Serikat (AS) dan Eropa mulai menjerit karena terdampak lockdown Covid-19 di China. Simak selengkapnya.

Liputan6.com, Jakarta - Kelompok-kelompok yang mewakili bisnis dari negara Barat di China mendesak Beijing untuk melonggarkan pembatasannya terkait Covid-19, ketika lockdown yang ketat berdampak pada pendapatan dan investasi mereka.

Selain itu, semakin banyak perusahaan asing di China yang terpaksa mempertimbangkan mengalihkan operasi mereka di Shanghai karena diberlakukannya lockdown Covid-19 - sejak akhir Maret 2022.

Dilansir dari CNN Business, Selasa (10/5/2022) lebih dari 50 persen bisnis Amerika telah menunda atau mengurangi investasi mereka di China sebagai akibat dari wabah Covid-19 baru-baru ini, menurut sebuah survei yang diterbitkan oleh American Chamber of Commerce di China.

Survei yang dilakukan dari 29 April hingga 5 Mei 2022 ini, melibatkan 121 perusahaan AS di China. Survei ini juga merinci dampak lockdown Covid-19 di Shanghai pada perusahaan-perusahaan Amerika.

Sebanyak 58 persen responden telah memangkas proyeksi pendapatan 2022 di China. 

Selain itu, hampir setengahnya mengatakan pekerja asing secara signifikan lebih kecil kemungkinannya atau menolak pindah ke China karena kebijakan nol Covid-19.

"Kami memahami China memilih untuk memprioritaskan kesehatan dan keselamatan di atas segalanya, tetapi langkah-langkah saat ini menekan kepercayaan bisnis AS di China," kata Colm Rafferty, ketua American Chamber of Commerce di China, dalam sebuah pernyataan yang menyertai hasil survei.

"Perusahaan anggota kami mendesak pemerintah untuk mencapai keseimbangan yang lebih optimal antara pencegahan pandemi, pembangunan ekonomi, dan keterbukaan negara," tambahnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Perusahaan Eropa Juga Khawatirkan Dampak Lockdown Covid-19 di Shanghai pada Bisnis

Bisnis Eropa di China juga khawatir akan dampak lockdown Covid-19 di Shanghai pada bisnis mereka.

Sebanyak 23 persen bisnis Eropa sedang mempertimbangkan untuk mengalihkan investasi mereka keluar dari China. Angka ini menandai proporsi tertinggi dalam satu dekade — menurut survei kilat yang dirilis oleh EU Chamber of Commerce (Kamar Dagang Uni Eropa) di China akhir pekan lalu.

"China harus mengubah strateginya," ujar Jörg Wuttke, presiden Kamar Dagang Uni Eropa di China, kepada CNN Business dalam sebuah wawancara telepon.

"Kami memiliki dua tahun yang baik. Tapi sekarang saatnya untuk bertindak berbeda. Zero Covid-19 mungkin bukan alat yang tepat sekarang," lanjut dia.

Wuttke mengatakan, sebagian besar bisnis Eropa di China sempat berjalanan lancar pada Januari 2022, karena pendekatan Covid-19 yang ketat di sana terbukti berhasil menahan penularan pada saat itu, dan ekonomi terus tumbuh.

Tetapi varian Omicron yang sangat menular telah menempatkan kebijakan nol Covid-19 Beijing di bawah ujian terbesarnya, dan penguncian besar-besaran telah menghentikan aktivitas ekonomi di kota-kota besar China.

Setidaknya 31 kota di China berada di bawah lockdown penuh atau sebagian, menurut perhitungan terbaru CNN.

3 dari 3 halaman

Kamar Dagang Uni Eropa : Kami Telah Melihat Kerusakan pada Bisnis Kami

Pada bulan April 2022, sektor jasa di China mengalami kontraksi pada laju tertajam kedua dalam catatan karena penguncian Covid-19 memukul usaha kecil dengan keras.

Sektor manufaktur di China juga menyusut tajam, dan mendorong penurunan ekonomi.

"Kami telah melihat kerusakan pada bisnis kami," kata Wuttke, menambahkan bahwa perusahaan menunda investasi karena pembatasan di China.

Survei kilat menunjukkan bahwa 78 persen dari 372 responden merasa China kurang menarik sebagai tujuan investasi karena pembatasan Covid-19 yang ketat.

"Yang benar-benar merugikan ekonomi adalah kurangnya visibilitas," sebut Wuttke.

"Tidak ada yang tahu kapan situasi ini akan berubah," lanjutnya.

"Para pejabat China sangat menyadari penderitaan ekonomi (yang disebabkan oleh kebijakan Covid-19). Tetapi mereka pada dasarnya mengalami kesulitan untuk mengubah narasinya," tambah Wuttke.