Liputan6.com, Jakarta Pertumbuhan ekonomi Indonesia dinilai akan terganggu jika pemerintah menaikkan tarif listrik hingga harga bahan bakar minyak dan gas bersubsidi. Bahkan, dampaknya juga akan meningkatkan tingkat inflasi hingga besaran upah.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menyebut dampak dari kenaikan harga tarif dasar listrik (TDL) akan berdampak ke pertumbuhan ekonomi jika tak dibarengi insentif.
Baca Juga
“Pertumbuhan ekonomi akan turun kecuali disertai dengan insentif, tapi overall kalau TDL dinaikkan (misalnya) 16 persen saja, dengan perhitungan simulasi dari pemerintah, maka sangat berdampak pada upah riil juga turun, upah nominal turun, investasi meskipun naik tapi tak diimbangi ekspor,” katanya dalam konferensi pers, Rabu (11/5/2022).
Advertisement
“(itu) Sama saja kualitas pertumbuhan (ekonomi) tidak terjaga, kecuali ada insentif pajak, tentu seberapa besar yang harus dikeluarkan dan akan dikompensasi pencabutan subsidi listrik,” imbuhnya.
Selain listrik, Rizal juga memberikan perhatian pada rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan LPG subsidi. Kemudian penyesuaian subsidi pada solar dan pertalite yang juga akan berdampak pada penentuan harga nantinya.
“Bayangkan BBM bersubsidi, gas bersubsidi 3 kg dinaikkan harganya, maka tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang justru akan tertekan,” katanya.
Ia menyampaikan hasil hitungannya jika sektor energi tadi mengalami kenaikan. Hasilnya, komoditas lainnya yang terkait langsung maupun tidak langsung akan ikut mengalami kenaikan harga. Selanjutnya, berdampak pada kenaikan tingkat inflasi.
“Ternyata yang terjadi kenaikan terhadap seluruh komoditi meskipun mayoritas 185 sektor, hanya 8 sektor yang turun. Tetap overall yang langsung memiliki connect linkage secara langsung terhadap listrik BBM dan gas ini karena ini merupakan energi bagi kegiatan sektor ekonomi dan justru ini sangat mendorong atau akan menstimulus harga komoditas,” terangnya.
“Artinya kenaikan harga komoditas sinilah yang mendorong inflasi dan inflasi ini justru akan mendegradasi kualitas pertumbuhan,” tambah Rizal.
Dengan kondisi demikian, ia menyebut pertumbuhan ekonomi yang sudah dicapai di triwulan I 2022 ini bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di triwulan selanjutnya. Meski, pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi tahunan ada di pertumbuhan di triwulan II.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tahan Menaikkan Harga
Lebih lanjut, ia menyampaikan dampak terhadap indikator makroekonomi ketika terjadi kenaikan di sejumlah sektor energi tersebut. Ia pun mewanti-wanti pemerintah menahan lebih dulu rencana menaikkan harga atau pencabutan subsidi.
Menurut data yang disampaikannya, pertumbuhan ekonomi akan turun semakin dalam sekitar 0,12 persen. Kemudian, real income akan turun sebesar 0,2 persen, inflasi meningkat 0,36 persen sementara ekspor akan turun dan impor naik sekitar 0,6 persen.
“Dan ini tentu dalam kualitas pertumbuhan akan terdistorsi, tidak hanya inflasi tapi perdagangan, sudah tidak balance, padahal perdagangan memiliki kontribusi yang sidgnifikan di triwulan I ini,” katanya.
“Pemerintah seyogiyanya musti menahan dulu melakukan pencabutan atau juga pengurangan subsidi di listrik, BBM, dan gas (LPG),” tambah Rizal.
Advertisement
Konsumsi Masyarakat Belum Pulih Total
Institute for Development of Economic and Finance (Indef) memberikan catatan terkait konsumsi masyarakat pasca lebaran 2022. Guna mengantisipasi kedepannya, pemerintah diharapkan tak dulu menaikkan harga administrasi, khususnya di sektor energi dan bahan pokok.
Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto menyampaikan konsumsi masyarakat masih belum pulih total meski pada triwulan I 2022 ini pertumbuhan ekonomi menunjukkan angka yang positif. Namun, ia mewanti-wanti untuk pemerintah bisa menjaga tren peningkatan daya beli masyarakat.
Eko menyebut kondisi pertumbuhan positif sekitar 4,34 persen di kuartal I (Q1) 2022 ini akibat dari low base effect yang terjadi di Q1 2021 yang minus 2,21 persen. ia juga menyebut ada faktor lain yang mempengaruhi.
“Menurut kami juga karena low base effect, diluar itu ada indikator IKK atau Indeks Keyakinan Konsumen dan indeks kondisi ekonomi yang kita lihat menggambarkan kondisi IKK tiga bulan pertama ini trennya turun, demikian juga dengan kondisi ekonomi saat ini, walaupun masih dalam fase optimis karena angkanya masih di atas 100 persen,” paparnya dalam Konferensi Pers virtual, Rabu (11/5/2022).
Dengan demikian, ia mengatakan kondisi konsumsi masyarakat belum pulih maksimal. Apalagi ada rencana pemerintah yang akan menyesuaikan harga bahan bakar seperti pertalite hingga harga LPG. Sebelumnya, masyarakat juga telah dihadapkan oleh tingginya harga bahan pokok yang mengalami kenaikan.
“Jadi secara keseluruhan sebetulnya pertumbuhan konsumsi kita itu belum pulih-pulih banget, sehingga kalau kedepan ada upaya menaikkan sejumlah administrative price siap-siap aja daya beli akan rontok lagi pasca lebaran ini,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Eko juga memaparkan peningkatan inflasi didorong dari sektor kenaikan harga bahan pokok. Kemudian diikuti dengan hotel, restoran hingga kebutuhan rumah tangga.
“Kalau kita bedah dari triwulan pertama ini inflasi yang jadi komponen konsumsi itu sebagian besar sudah mengalami kenaikan, itu harga-harga kebutuhan pokok dari mulai makanan minuman ada hotel, restoran, kemudian juga perumahan seperti air, bbm rumah tangga, dan juga perlengkapan peralatan pemeliharaan rutin rumah tangga,” ujarnya.
Mengacu data ini, ia menyebut konsumsi rumah tangga mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan situasi pandemi di kuartal I tahun lalu.
“Tapi kemudian kalau kita lihat lebih jauh sebetulnya ada ancaman juga kalau tak hati-hati, kemungkinan inflasi meninggi juga mengancam daya beli,” katanya.
Jaga Daya Beli
Lebih lanjut, Eko menekankan pemerintah mampu untuk bisa menjjaga daya beli masyarakat. Salah satunya dengan menahan penyesuaian harga atau menaikkan harga kebutuhan pokok masyarakat.
“Jaga daya beli masyarakat agar konsumsi rumah tangga dapat melaju lebih tinggi lagi seiring pandemi yang semakin terkendali,” katanya.
“Sedapat mungkin pemerintah menghindari kebijakan penaikan harga energi dan menjaga stabilitas harga bahan makanan pokok,” imbuhnya.
Di sisi lain, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, ia mencatat investasi juga perlu diakselerasi untuk memastikan perbaikan kualitas pertumbuhan ekonomi indoneisa. Dimana sejauh ini masih didominasi sektor konsumsi rumah tangga.
Lalu, ia menilai tren kenaikan harga komoditas umumnya tak bertahan lama. Maka ia meminta pemerintah untuk mendorong industrialisasi berorientasi ekspor produk dengan nilai tambah tinggi.
“Kebijakann substitusi impor perlu lebih ditingkatkan dengan pengawasan yang ketat agar manfaat tren pemulihan ekonomi yang membaik ini dapat dioptimalkan bagi masyarakat di dalam negeri, bukan sebaliknya,” terangnya.
Advertisement