Liputan6.com, Jakarta Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan akan terus memantau dan mengevaluasi dampak larangan ekspor CPO atau minyak sawit mentah beserta turunannya terhadap perekonomian nasional.
"Ini akan terus kita evaluasi. Yang jelas memang prioritas pemerintah jelas, jaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional," ujar Kepala BKF Febrio Kacaribu dalam sesi jumpa media secara virtual, Jumat (13/5/2022).
Baca Juga
Febrio menyatakan, pemerintah saat ini tengah berfokus untuk menjaga daya beli masyarakat, salah satunya lewat ketersediaan bahan pokok dengan harga terjangkau di pasaran. Lantas pemerintah ingin mengelolanya lewat kebijakan-kebijakan yang dibuat.
Advertisement
"Kita lihat hari demi hari, pertumbuhan ekonomi tetap terjaga, daya beli masyarakat, dan ketersediaan bahan pokok tetap terjaga," sebut dia.
Sebelumnya, larangan ekspor CPO ini dikeluarkan Presiden Jokowi per Kamis (28/4/2022), untuk menjaga ketersediaan stok minyak goreng di pasar domestik yang kala itu surut.
Kelompok petani sawit sebenarnya tak mempermasalahkan kebijakan tersebut. Namun, mereka meminta Jokowi untuk lebih memperhatikan sisi hulu industri sawit. Sebab, harga tandan buah segar (TBS) sawit kini disebut masih ambruk di level 70 persen lebih rendah.
Â
Demi Lindungi Petani Sawit
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, memohon kepada Jokowi agar bisa melindungi petani sawit.
Itu bisa dilakukan dengan mengikuti Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian TBS kelapa sawit produksi pekebun.
"Kami meminta momennya pada negara, supaya petani sawit dilindungi melalui Permentan 01/2018. Selama ini kan suka-suka. Ini momen kami juga, meminta Presiden ketegasannya tentang Permentan itu, supaya petani sawit terlindungi," ungkapnya kepada Liputan6.com.
Â
Advertisement
Negara Diminya Konsisten
Gulat tak mempermasalahkan larangan ekspor CPO, yang tidak terlalu berdampak terhadap pemasukan petani sawit. Yang terpenting, negara mau mengawasi gerak-gerik pabrik kelapa sawit dalam menentukan harga TBS secara sepihak.
"Ujungnya diketatkan, pangkalnya ditegaskan. Kalau hanya ujungnya yang diketatkan, pangkalnya enggak ditegaskan, jebol harga TBS petani. Disbun (Dinas Perkebunan) umumkan minggu lalu, harga TBS petani Rp 3.600 per kg. Yang dibayar cuman Rp 1.200," keluhnya.