Sukses

Harga Pertalite Jadi Naik? Erick Thohir Beri Bocoran

Erick Thohir mengatakan, harga BBM di tingkat global kini sudah menyentuh level Rp 50-60 ribu per liter. Apakah hal ini menjadi dasar kenaikan harga Pertalite?

Liputan6.com, Jakarta - Menteri BUMN Erick Thohir angkat bicara soal wacana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite. BBM ini saat ini sudah menjadi BBM Khusus Penugasan (JBKP) yang dibanderol Rp 7.650 per liter di seluruh Indonesia.

Erick Thohir mengatakan, harga BBM di tingkat global kini sudah menyentuh level Rp 50-60 ribu per liter. Itu tentunya jauh lebih tinggi dibanding di tingkat domestik, yang nilai jualnya masih dijaga tak jauh dari harga keekonomian.

Dia mencontohkan Pertamax yang kini harganya Rp 12.500 per liter. Meskipun baru saja naik, harga Pertamax ini masih jauh di bawah harga keekonomian yang berada pada kisaran Rp 16.000 per liter.

"Tentu pemerintah mengambil posisi, yang mampu tidak boleh disubsidi. Makanya Pertamax harganya dinaikan. Itu pun harga Pertamax, harganya di bawah harga pasar. Yang lainnya Rp 16 ribu, ini Rp 12.500. Jadi di situ sudah ada komponen subsidi," ujar Erick Thohir di Jakarta, Rabu (18/5/2022).

Oleh karenanya, ia memastikan, pemerintah saat ini belum berpikir untuk menaikan harga Pertalite. "Sekarang Rp 7.650. Belum ada rencana pemerintah melakukan (kenaikan)," imbuhnya.

Kendati begitu, Erick juga berpikir bahwa pemerintah tetap harus menjaga keuangan negara. Pasalnya, kondisi perekonomian dunia kini tengah tidak stabil lantaran berbagai faktor.

"Banyak sekarang dengan ketidakpastian ekonomi dunia, inflasi yang tinggi, supply chain yang tidak pasti, beberapa negara seperti Pakistan, Srilanka, negara-negara Afrika mulai mengkonsolidasikan keuangan yang cukup," tuturnya.

Di sisi lain, ia pun bersyukur Indonesia sukses mencetak nilai ekspor tertinggi sepanjang sejarah, USD 27,33 miliar pada April 2022 lalu.

"Ini kita harus tahan, karena sebagian besar dari surplus ini untuk kepentingan subsidi buat rakyat. Listrik masih subsidi, BBM masih subsidi, bansos masih ada. Ada BLT minyak goreng," tuturnya.

"Ini negara kaya yang sangat pro rakyat, tapi kita harus jaga. Jadi kembali ke BBM, pemerintah hari ini belum ada rencana, belum ada kenaikan," tegas Erick Thohir.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Butuh Transparansi

Sebelumnya, mekanisme penetapan harga BBM penugasan seperti Pertalite dinilai membutuhkan transparansi. Hal itu karena badan usaha harus menyiapkan dana besar dalam menjalankan penugasan pengadaan BBM tersebut di saat tren harga minyak dunia bertahan di atas 100 dolar/barel.

"Pemerintah perlu fair saja saya kira. Dihitung bersama berapa harga wajarnya (BBM penugasan) kemudian pemerintah memberikan kompensasi terhadap selisih harga penetapan dengan harga wajar tersebut," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro melansir Antara di Jakarta, Senin (16/5/2022).

Di sisi lain, kata Komaidi, saat ini badan usaha disebutkan oleh pemerintah bakal mendapatkan penggantian dari subsidi maupun kompensasi.

Namun badan usaha harus menanggung selisih harga yang dijual ke konsumen karena harga Pertalite yang menjadi BBM penugasan masih jauh di bawah harga keekonomian.

Adapun kompensasi kepada badan usaha yang menjual BBM penugasan masih belum ada kepastian kapan dibayarkan.

Menurut Komaidi, penggunaan formula yang tepat akan menghasilkan harga jenis bahan bakar khusus penugasan (JBBKP) yang sesuai dengan keekonomian.

"Untuk harganya saya kira tidak jauh dengan harga pesaing untuk RON yang sama," ujar Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti ini.

 

3 dari 3 halaman

Berpotensi Bermasalah

Komaidi mengatakan pendistribusian BBM penugasan seperti Pertalite dan Solar subsidi akan jadi pekerjaan rumah tidak pernah selesai selama mekanismenya masih diberikan ke komoditas.

Dia menilai, penjualan Solar subsidi dan Pertalite (penugasan) berpotensi bermasalah dalam hal ketika ada kebutuhan/kuota yang lebih besar dibanding kuota awal.

“Potensi terlampauinya cukup besar. Hal tersebut akan terus berulang sepanjang mekanisme subsidinya ke subsidi barang bukan menggunakan mekanisme subsidi langsung," jelas Komaidi.

Terkait usulan untuk melarang kendaraan pemerintah, TNI/Polri, dan BUMN menggunakan BBM subsidi dan penugasan ini bisa jadi alternatif upaya yang ditempuh.

"Ketentuan atau aturan main perlu dipertegas. Dalam UU Keuangan Negara subsidi peruntukannya adalah untuk golongan tidak mampu. Sementara TNI/Polri/ASN, saya kira tidak masuk dalam kriteria tersebut," ungkap Komaidi.