Sukses

Perang Rusia Ukraina Bisa Sebabkan Krisis Pangan Global Bertahun-tahun

PBB memperingatkan bahwa perang Rusia-Ukraina dapat menyebabkan krisis pangan global selama bertahun-tahun.

Liputan6.com, Jakarta - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa perang Rusia-Ukraina dapat segera menyebabkan krisis pangan global yang dapat berlangsung selama bertahun-tahun. 

Dikutip dari BBC, Jumat (20/5/2022) Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan perang telah memperburuk kerawanan pangan di negara-negara miskin karena kenaikan harga.

Guterres mengatakan bahwa konflik - dikombinasikan dengan efek perubahan iklim dan pandemi - "mengancam puluhan juta orang ke jurang kerawanan pangan diikuti oleh kekurangan gizi, kelaparan massal dan kelaparan".

"Beberapa negara juga dapat menghadapi kelaparan jangka panjang jika ekspor Ukraina tidak dikembalikan ke tingkat sebelum perang," tambah Guterres.

"Ada cukup makanan di dunia kita sekarang jika kita bertindak bersama. Tetapi jika kita tidak menyelesaikan masalah ini hari ini, kita bisa menghadapi kekurangan pangan global dalam beberapa bulan mendatang," ujarnya.

Diketahui bahwa perang Rusia-Ukraina telah memutus pasokan dari pelabuhan Ukraina, yang pernah mengekspor sejumlah besar minyak goreng serta sereal seperti jagung dan gandum.

Masalah ini telah mengurangi pasokan global dan menyebabkan harga alternatif melambung. Harga pangan global pun telah hampir mencapai 30 persen lebih tinggi dari waktu yang sama tahun lalu, menurut PBB.

Guterres memperingatkan bahwa satu-satunya solusi efektif untuk krisis pangan adalah mengintegrasikan kembali produksi pangan di Ukraina, serta pupuk yang diproduksi oleh Rusia dan Belarusia, kembali ke pasar global.

2 dari 3 halaman

PBB Kontak Rusia dan Ukraina Dalam Upaya Pulihkan Ekspor Makanan

Guterres juga mengatakan dia dalam "kontak intens" dengan pihak Rusia dan Ukraina, serta AS dan Uni Eropa, dalam upaya untuk mengembalikan ekspor makanan ke tingkat normal.

"Keamanan yang kompleks, implikasi ekonomi dan keuangan membutuhkan niat baik di semua pihak," kata Guterres.

Komentar Guterres muncul pada hari yang sama ketika Bank Dunia mengumumkan dana tambahan senilai USD 12 miliar untuk proyek-proyek yang menangani kerawanan pangan.

Langkah ini akan membawa jumlah total yang tersedia untuk proyek-proyek tersebut menjadi lebih dari USD 30 miliar selama 15 bulan ke depan.

Sebagai informasi, Rusia dan Ukraina menghasilkan 30 persen dari pasokan gandum dunia dan - sebelum perang - Ukraina dipandang sebagai keranjang roti dunia, yang mengekspor 4,5 juta ton hasil pertanian per bulan melalui pelabuhannya.

Tapi sejak Rusia melancarkan invasi pada Februari 2022, ekspor Ukraina telah runtuh dan harga meroket. 

Nilai gandum juga naik lebih jauh setelah India melarang ekspor gandum.

PBB mengatakan sekitar 20 juta ton biji-bijian saat ini tertahan di Ukraina dari panen sebelumnya yang, jika dilepaskan, dapat mengurangi tekanan di pasar global.

3 dari 3 halaman

Menkeu Sri Mulyani Sebelumnya Sudah Suarakan Risiko Krisis Pangan

Sebelumnya, pada April 2022, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menyerukan perlunya tindakan untuk mengatasi potensi terjadinya krisis ketahanan pangan sebagai dampak dari perang di Ukraina.

Hal itu disampaikan saat menjadi panelis pada acara Tackling Food Insecurity: The Challenge and Call to Action, bersama dengan Menteri Keuangan Amerika Serikat, Managing Director IMF, Presiden Bank Dunia, dan Presiden IFAD, di Washington DC, Rabu (20/4/2022).

"Perang dan tindakan-tindakan yang menyertainya telah memicu kenaikan harga komoditas energi dan pangan. Apabila hal tersebut tidak diantisipasi secara dini, akan menimbulkan krisis pangan di negara-negara miskin dan rentan yang memiliki kapasitas fiscal yang terbatas," kata Menkeu Sri Mulyani.

Dalam kesempatan lain, Menteri Keuangan juga menghadiri acara yang diselenggarakan oleh IMF dengan tajuk A Dialog with G20 Emerging Markets. Dialog ini dipimpin oleh Managing Director IMF dan dihadiri oleh negara-negara emerging market anggota G20, antara lain Indonesia, Saudi Arabia, Agentina, Brazil dan Afrika Selatan.

Dalam penjelasannya, MD IMF menyatakan perekonomian global sedang mengalami goncangan geopolitik dan menghadapi konsekuensi dari tindakan yang diterapkan dalam merespon kondisi geopolitik dimaksud.

Negara-negara emerging menghadapi efek limpahan (spillover) yang lebih luas, antara lain terjadinya gangguan perdagangan internasional, kenaikan harga komoditas, termasuk pangan dan energi, meningkatnya jumlah pengungsi dan isu humanitarian.

"Tantangan ini menjadi sangat signifikan mengingat dunia masih dalam upaya memperkuat prospek pertumbuhan ekonomi global," ujar Menkeu.

Oleh karena itu, Menkeu mendorong para pembuat kebijakan untuk terus memperkuat pemulihan ekonomi yang tangguh dan inklusif, mengatasi dampak buruk pandemi, melakukan reformasi transformasional untuk mengatasi tantangan dan peluang perubahan iklim dan pemanfaatan teknologi digital (digitalisasi).