Liputan6.com, Jakarta Dalam rangka menahan harga BBM, listrik dan gas LPG 3 kilogram naik, pemerintah mengalokasikan tambahan subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 350 triliun. Adanya tambahan dan tersebut diharapkan bisa menjaga daya beli masyarakat yang masi rentan terhadap kenaikan energi global.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai langkah yang diambil pemerintah sudah tepat. Sebab masyarakat dengan pendapatan kelas menengah bawah rentan terdampak kenaikan inflasi.
Baca Juga
"Penambahan alokasi subsidi energi sudah tepat karena masyarakat pendapatan menengah bawah perlu disuport pemerintah dari risiko inflasi tinggi," kata Bhima kepada merdeka.com, Jakarta, Sabtu (21/5).
Advertisement
Bhima menuturkan kenaikan harga BBM dan LPG dalam kondisi saat ini bisa beresiko terhadap tingkat garis kemiskinan. Berdasarkan survei konsumen, masyarakat dengan pendapatan Rp 1 juta - Rp 2 juta per bulan masih turun.
Artinya antara kenaikan harga barang dengan pendapatan belum seimbang. Terlebih sebelumnya sudah terdampak kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen.
Belum lagi saat momen bulan puasa dan lebaran, terjadi kenaikan harga musiman. Meskipun sudah lebih dari 2 pekan, harga barang-barang kebutuhan pokok masih tinggi.
"Minyak goreng dan cabai masih mahal, kebutuhan pokok pasca lebaran belum ada penurunan yang signifikan," ungkapnya.
Di sisi lain dana yang dimilki masyarakat saat ini sudah mulai menipis. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan pengusaha wajib memberikan THR, namun diperkirakan sudah kian menipis. Sehingga sangat beresiko jika terjadi kenaikan harga BBM, tarif listrik maupun harga LPG 3 kg.
"Di kuartal setelah lebaran, THR mulai tipis jadi daya beli bisa turun," kata dia.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Penetapan Harga BBM Penugasan Disebut Butuh Transparansi
Mekanisme penetapan harga BBM penugasan seperti Pertalite dinilai membutuhkan transparansi. Hal itu karena badan usaha harus menyiapkan dana besar dalam menjalankan penugasan pengadaan BBM tersebut di saat tren harga minyak dunia bertahan di atas 100 dolar/barel.
"Pemerintah perlu fair saja saya kira. Dihitung bersama berapa harga wajarnya (BBM penugasan) kemudian pemerintah memberikan kompensasi terhadap selisih harga penetapan dengan harga wajar tersebut," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro melansir Antara di Jakarta, Senin (16/5/2022).
Di sisi lain, kata Komaidi, saat ini badan usaha disebutkan oleh pemerintah bakal mendapatkan penggantian dari subsidi maupun kompensasi.
Namun badan usaha harus menanggung selisih harga yang dijual ke konsumen karena harga Pertalite yang menjadi BBM penugasan masih jauh di bawah harga keekonomian.
Adapun kompensasi kepada badan usaha yang menjual BBM penugasan masih belum ada kepastian kapan dibayarkan.
Menurut Komaidi, penggunaan formula yang tepat akan menghasilkan harga jenis bahan bakar khusus penugasan (JBBKP) yang sesuai dengan keekonomian.
"Untuk harganya saya kira tidak jauh dengan harga pesaing untuk RON yang sama," ujar Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti ini.
Komaidi mengatakan pendistribusian BBM penugasan seperti Pertalite dan Solar subsidi akan jadi pekerjaan rumah tidak pernah selesai selama mekanismenya masih diberikan ke komoditas.
Dia menilai, penjualan Solar subsidi dan Pertalite (penugasan) berpotensi bermasalah dalam hal ketika ada kebutuhan/kuota yang lebih besar dibanding kuota awal.
“Potensi terlampauinya cukup besar. Hal tersebut akan terus berulang sepanjang mekanisme subsidinya ke subsidi barang bukan menggunakan mekanisme subsidi langsung," jelas Komaidi.
Terkait usulan untuk melarang kendaraan pemerintah, TNI/Polri, dan BUMN menggunakan BBM subsidi dan penugasan ini bisa jadi alternatif upaya yang ditempuh.
"Ketentuan atau aturan main perlu dipertegas. Dalam UU Keuangan Negara subsidi peruntukannya adalah untuk golongan tidak mampu. Sementara TNI/Polri/ASN, saya kira tidak masuk dalam kriteria tersebut," ungkap Komaidi.
Advertisement
Pengganti Premium
Pemerintah sebelumnya menetapkan Pertalite menjadi JBBKP menggantikan bensin RON 88 atau Premium.
Penetapan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tentang Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan yang diteken 10 Maret 2022.
Kuota Pertalite awalnya ditetapkan 23,05 juta kiloliter (kl). Kemudian dalam Rapat Kerja Menteri ESDM dengan Komisi VII DPR pada 13 Maret 2022, disepakati kuota Pertalite tahun ini ditambah 5,4 juta kl sehingga total menjadi 28,50 juta kl. Adapun Solar subsidi ditambah 2,29 juta kl menjadi 17,39 juta kl.
Sesuai Keputusan Menteri ESDM dinyatakan bahwa wilayah penugasan penyediaan dan pendistribusian JBBKP meliputi seluruh wilayah NKRI. Adapun harga eceran JBBKP untuk jenis bensin RON 90 di titik serah, setiap liternya ditetapkan sebesar Rp7.650, sudah termasuk PPN dan PBBKB. Sementara harga keekonomian Pertalite saat ini mencapai Rp13.000 per liter.Â