Sukses

Jadi Penghasil Tembakau Kualitas Terbaik, IHT RI Butuh Perlindungan Hukum

Pelonggaran aktivitas kegiatan secara umum yang disampaikan pemerintah menjadi angin segar bagi industri untuk memulihkan diri dan menyiapkan sederet strategi, termasuk industri hasil tembakau.

Liputan6.com, Jakarta Pelonggaran aktivitas kegiatan secara umum yang disampaikan pemerintah menjadi angin segar bagi industri untuk memulihkan diri dan menyiapkan sederet strategi. Termasuk industri hasil tembakau (IHT) untuk memulihkan diri dan bertumbuh pasca pandemi.

"Stigma negatif sangat kental melekat pada tembakau. Padahal Indonesia adalah penghasil tembakau kualitas terbaik. Tembakau Deli, Tembakau Temanggung, Tembakau Jember, Madura, Lombok, membutuhkan perlindungan pemerintah dan kepastian hukum yang memayungi mulai dari hulu hingga hilir," ujar Sekretaris Jenderal AMTI, Hananto Wibisono dalam momentum Halal Bihalal AMTI Bersama Media, dikutip Sabtu (21/5/2022)

Menanggapi situasi dan kondisi ini, Pengamat Hukum dari Universitas Trisakti Ali Rido, yang hadir sebagai narasumber memaparkan bahwa negara tidak boleh sewenang-wenang dan wajib melindungi ekosistem pertembakauan.

Sebagai negara hukum menurutnya, pemerintah wajib menjunjung rasa keadilan dalam memberikan kesempatan kepada industri ini untuk bisa tumbuh dan berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat.

"Dalam menerbitkan regulasi terkait pertembakauan, stakeholder harus dilibatkan. Pemerintah dalam melakukan implementasi kebijakan harus benar-benar memenuhi rasa keadilan," tegas Ali Rido.

Lanjutnya, bahwa produk tembakau adalah produk legal yang dilindungi payung hukum, oleh karena itu, seluruh bagian dalam ekosistem pertembakauan mulai dari petani, pekerja, pabrikan hingga konsumen berhak mendapat perlakuan yang sama dengan ekosistem industei lainnya.

"Ketika berbicara tentang hukum, dalam konteks produk tembakau,  saya mencatat ada 12 putusan MK, yang jelas menegaskan bahwa produk tembakau bukan produk yang dilarang untuk diperjualbelikan," kata Ali Rido.

"Esensi legalitas produk tembakau sudah jelas. IHT telah kontribusi terhadap APBN, ada cukai hasil tembakau yang memberi sumbangsih dan kontribusi terhadap penerimaan negara. Dan, secara jelas, mata rantai elemen IHT seluruhnya sebagai badan hukum telah membayar pajak. Maka, sudah sewajarnya IHT perlu mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan berimbang," ujarnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Serap Tenaga Kerja

Yang tak luput dari yang juga perlu mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum adalah tenaga kerja. Ekosistem pertembakauan menjadi sektor padat karya yang menyerap 5, 98 juta tenaga kerja.

Tenaga kerja meliputi mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, buruh pelinting hingga pekerja kreatif. " IHT belum diberikan ruang dan kesempatan untuk bertumbuh leluasa. Implementasi  peraturan dan kebijakan yang ada dirasa belum berimbang dan adil terhadap IHT membuat sektor ini, dari hulu hingga hilir, berada dalam ketidakpastian. Petani tembakau masih berharap tanam dan panen raya dapat maksimal, pabrikan masih punya asa agar serapan dan produksi tetap tinggi.

Para pekerja masih terus berjuang mendapatkan kepastian perlindungan dari pemutusan hubungan kerja dan meraih kesejahteraan. Industri menyiapkan strategi untuk tetap bisa bertahan, dan di hilir ada konsumen yang berharap daya beli bisa kembali pulih," Hananto menjelaskan.

Begitupun dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), tambah Ali Rido, perlu dipertanyakan proporsinya secara regulasi. Apakah pemanfaatan dan distribusi DBHCHT sudah dirasakan secara merata dapat dirasakan oleh para pekerja sektor pertembakauan dari hulu hingga hilir.

"Dalam praktiknya, regulasi terkait proporsi dan penyaluran DBHCHT perlu kita pertanyakan. Kembali ke awal, apakah sudah melingkupi porsi yang pas untuk kesejahteraan petani dan pekerja lainnya," tutup Ali Rido. (*)

3 dari 4 halaman

Pengusaha Minta Pemerintah Konsisten Jalankan Kebijakan Industri Tembakau

Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mendorong pemerintah untuk mereorientasikan kebijakan industri hasil tembakau (IHT).

Sebab dalam beberapa dekade belakangan, kelompok antitembakau yang disokong pendanaan Lembaga asing kerap menekan pemerintah untuk menerbitkan regulasi-regulasi yang mengancam keberlangsungan IHT, diskriminatif dan tidak partisipatif.

“Sejak 1997, mulai muncul gerakan-gerakan yang ingin membuat IHT di Indonesia menuju ke suatu titik kebangkrutan. Belakangan, diketahui juga bahwa gerakan- gerakan ini disokong oleh lembaga global yang menyebarkan stigma bahwa pabrik rokok sepenuhnya negatif melalui media. Padahal, ada lebih dari enam juta orang yang menggantungkan hidupnya di industri ini,” ungkap Henry dtulis, Rabu (27/4/2022).

Tekanan asing yang sangat disebut Henry membuat kebijakan-kebijakan terkait IHT menjadi, tidak objektif dan bahkan manipulatif. Hal ini tecermin pada RPJMN 2019-2024.

Pada aturan tersebut, disebut bahwa data prevalensi merokok anak 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

Padahal berdasarkan data BPS, prevalensi merokok anak tercatat terus menurun. Proses penyusunan kebijakan yang didasarkan pada data yang tidak valid akan sangat berbahaya, terlebih bila pemangku kepentingan IHT secara terstruktur dan sistematis dikecualikan dari diskusinya.

4 dari 4 halaman

Terkontraksi

Henry juga menyampaikan bahwa IHT terus terkontraksi dalam beberapa tahun terakhir. Mengutip data BPS, Henry bilang pada tahun lalu pertumbuhan PDB tercatat terkontraksi 1,32 persen, belum berhasil pulih dari kontraksi pada tahun sebelumnya sebesar 5,78 persen.

“Dalam 11 tahun terakhir, IHT telah mengalami kontraksi sebanyak empat kali. Regulasi yang berkeadilan menjadi kunci bagi IHT untuk tumbuh. Apalagi di masa pandemi, IHT butuh pulih ekstra,” sambungnya.

Regulasi yang berkeadilan juga menjadi hal penting mengingat IHT merupakan industri padat karya. Kebijakan-kebijakan yang eksesif dan merugikan industri juga akan memberi dampak negatif bagi para pekerjanya.

Ia mencontohkan ihwal rencana revisi PP 109/2012 yang kembali didorong oleh kelompok antitembakau yang pasti akan menghancurkan industri tembakau. Bagaimana tidak, kelompok- kelompok tersebut terus mendesak Pemerintah agar regulasi pengendalian tembakau PP 109/2012 direvisi dan mewajibkan untuk mengubah kandungan rokok kretek. Hal ini tentunya akan sangat merugikan, mengingat segmen kretek apalagi sigaret kretek tangan (SKT) memiliki serapan tenaga kerja yang tinggi.