Sukses

Perang Rusia-Ukraina Bisa Bikin Harga Mi di Indonesia Naik

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kembali menyebut Indonesia tak terdampak secara langsung perang Rusia-Ukraina.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kembali menyebut Indonesia tak terdampak secara langsung perang Rusia-Ukraina. Namun, ia mengakui ada satu sektor yang akan terdampak, yakni perusahaan mi di Tanah Air.

Hal ini disebabkan besarnya impor bahan baku mie dari Ukraina. Ia mengungkap besarannya mencapai 40 persen dari total kebutuhan produksi mi dalam negeri. Diketahui, Ukraina merupakan produsen gandum terbesar di dunia.

“Kami mengimpor 40 persen gandum dari Ukraina, tapi itu fakta. Perusahaan mi di kami yang pada saat ini mereka dapat mengubah harga, sehingga ini berpengaruh pada inflasi dari mi dalam tiga tahun terakhir mendekati nol,” kata Airlangga Hartarto dalam Indonesia Economic Outlook and G20 Precidency, Davos, mengutip siaran daring, Senin (23/5/2022).

Ia menyebut ini berkaitan dengan adanya kontrak gandum dan pupuk antara Indonesia dan Ukraina yang masih berlaku hingga September tahun ini. Adanya kondisi ini, ia berharap pertumbuhan di kuartal II 2022 ini bisa mengalami perbaikan.

Pada kesempatan itu, Menko Airlangga mengungkapkan besaran pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk yang paling tinggi di Asia Tenggara. Dengan mencatatkan pertumbuhan sekitar 5 persen di Kuartal I 2022 dan kuartal IV 2021.

Kedepannya, ia berharap tren positif ini bisa berlanjut. Apalagi mendekati musim dingin permintaan energi akan mulai meningkat serta berkaitan dengan harga energi global saat ini. ia mengisahkan sempat mendiskusikan harga energi dengan menteri terkait Saudi Arabia.

“Mereka ingin meningkatkan produksi mereka tetapi prospek minyak masih sekitar USD 100-200 per barel menjelang akhir tahun. Nah itulah salah satu tantangan di bidang energi,” katanya.

Ia memandang kondisi ini jadi tantangan bagi Indonesia dan negara lainnya. Selain persoalan energi, Menko Airlangga juga melihat kondisi harga pangan global juga menjadi tantangan.

“Banyak harga pangan meningkat lebih dari 1,7 poin dalam indeks, jadi saya pikir ini fakta yang dialami oleh seluruh dunia termasuk Indonesia,” ungkapnya.

Sementara itu, masih terkait pangan, Menko Airlangga menyebut satu yang patut dibanggakan adalah tingkat importasi beras yang dilakukan Indonesia. Ia menyebut dalam tiga tahun terakhir Indonesia tidak melakukan impor beras.

“Jadi bahan pokok utama ini tersedia secara lokal,” katanya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Tiga Isu Penting

Di sisi lain, ia mengungkap dalam pelaksanaan Presidensi G20 Indonesia, kali ini membawa tiga isu sentra. Yakni, persiapan arsitektur kesehatan, transformasi digital, dan transisi energi.

Ia mengungkap semua negara yang terlibat perlu untuk memperhatikan negara lainnya dalam bangkit dari pandemi Covid-19. Diantaranya mendistribusikan bantuan dari negara maju ke negara berkembang. Ia mencontohkan negara Afrika yang masih banyak belum memiliki akses vaksin perlu dibantu oleh negara maju lainnya.

Kedua, adalah adanya transformasi digital. Di bidang ekonomi, Menko Airlangga menaksir diigtalisasi telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indoneisa. Ia menyebut juga proyeksi pertumbuhan ekonomi ASEAN yang ditopang digitalisasi.

“Proyeksi ekonomi ASEAN pada 2025 akan mencapai USD 300 Miliar dari sektor digital, jadi saya kita ini adalah tantangannya, transformasi digital, bagaimana memastikan infrasktur digital juga dibahas dalam G20,” katanya.

 

3 dari 3 halaman

Pembiayaan Transisi Energi

Kemudian, topik ketiga adalah membahas mengenai transisi energi yang jadi perhatian dunia global saat ini. Menteri Energi berbagai negara disini membahas mengenai transisi dari berinvestasi pada energi fosil.

“Indonesia berkomitmen dalam pertengahan abad ini kita dapat mengubah sebagian besar energi terbarukan, setidaknya pada 2050 sebesar 30 persen dari energi baru terbarukan,” katanya.

Namun ia juga mengakui ada hal yang bisa menjadi kendala. Yakni terkait dengan pembiayaan untuk melakukan transisi energi. Ia mengusulkan adanya skema blended finance yang bisa dilakukan.

“Jadi kita tak bisa melakuan transformasi tanpa adanya pembiayaan,” ujarnya.