Liputan6.com, Jakarta - Harga gas alam melonjak di atas USD 9 per million British thermal units (MMBTU) pada perdagangan Rabu. harga gas alam ini mencapai level tertinggi dalam lebih dari satu dekade karena kurangnya pasokan.
Mengutip CNBC, Kamis (26/5/2022), harga gas di AS melonjak lebih dari 6 persen pada satu titik mencapai level tertinggi di USD 9,399 per MMBTU yang merupakan angka tertinggi sejak Agustus 2008.
Harga kontrak gas alam ini kemudian berbalik tetapi masih bisa mencetak kenaikan dan mengakhiri sesi perdagangan dengan naik 1,99 persen ke level USD 8,971 per MMBTU.
Advertisement
Satu satunya alasan harga gas mampu mencetak rekor tertinggi sejak 2008 ini karena perang Rusia dengan Ukraina yang membuat pasar energi terguncang.
Head of Natural Gas and Power Services for North America di Argus Media David Givens menjelaskan, ada tiga katalis penyebab reli harga gas. Pertama dalah pertumbuhan produksi yang kecil.
Katalis kedua adalah ekspor gas alam cair yang tinggi. Sedangkan katalis ketiga adalah tingkat penyimpanan yang mencapai 17 persen di bawah rata-rata lima tahun.
Kenaikan harga gas alam yang cepat menambah tekanan inflasi di seluruh perekonomian. Para pengguna kendaraan sudah bergulat dengan rekor harga BBM tertinggi di pompa bensin, dan sekarang tagihan listrik juga akan meningkat.
Sementara perusahaan utilitas mungkin akan beralih ke batu bara sebagai alternatif yang lebih murah. Pasokan listrik berbahan bakar batu bara juga sekarang terbatas dengan sejumlah pembangkit yang berhenti beroperasi sebagian karena masalah environmental, social and governance (ESG).
Wakil Presiden dan Kepala Analis Data OTC Global Holdings Campbell Faulkner mengatakan, kekeringan di AS Barat telah membatasi produksi pembangkit listrik tenaga air.
"Gas dipaksa untuk memenuhi porsi pembakaran listrik yang jauh lebih besar selama musim panas yang terlihat sebagai rekor tertinggi untuk beban listrik,” katanya.
“Gas selama bertahun-tahun adalah produk sampingan limbah dari pengeboran minyak yang berkelanjutan di seluruh cekungan produksi di AS yang membuat harga tetap rendah. Sejak rendahnya pengeboran pada tahun 2020, pasar telah didorong ke dalam situasi permintaan pasokan yang ketat yang tidak akan segera diperbaiki, ”tambahnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dampak Perang Rusia-Ukraina, Krisis Energi Hantui Dunia dan Indonesia
Konflik antara Rusia-Ukraina semakin memanas. Ini bukan pertama kalinya kedua negara ini bersitegang, sebelumnya konflik antara dua negara ini juga terjadi pada tahun 2014 dimana pemimpin Ukraina saat itu, Viktor Yanukovych, membatalkan pembicaraan kerja sama politik dan perdagangan dengan Uni Eropa.
Hal ini pun memicu bergulirnya demonstrasi di Ukraina yang menuntut mundur Yanukovych, hingga akhirnya pemimpin Ukraina pro-Rusia tersebut pun digulingkan. Tak hanya itu, pada tahun tersebut juga disebutkan bahwa Rusia berhasil merebut salah satu wilayah Krimea, Ukraina yang dimana hal ini menyebabkan situasi semakin memanas.
Per Januari 2022, intelijen Kementerian Pertahanan Ukraina melaporkan bahwa Rusia telah menempatkan lebih dari 127 ribu pasukan di dekat negaranya.
Meskipun Rusia berulang kali membantah merencanakan invasi terhadap Ukraina dan menegaskan bahwa Rusia tidak mengancam negara mana pun.
Relasi Ukraina yang semakin dekat dengan AS dan NATO juga dinilai menjadi sumber ketegangan dengan Rusia. Rusia khawatir masuknya Ukraina ke NATO bakal menimbulkan ancaman bagi wilayah mereka, di mana Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia dapat menjadi garda depan NATO untuk menyerang Rusia.
Presiden Rusia, Putin, pun juga mengungkapkan Amerika Serikat berencana mengendalikan negaranya. Dampak Ekonomi Konflik Geopolitik Rusia - Ukraina secara Global Konflik geopolitik Rusia dengan Ukraina tentunya dikhawatirkan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi seluruh negara di dunia yang sedang berusaha untuk bangkit dari pandemi.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik Rusia - Ukraina akan berdampak terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia," kata CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (25/2/2022).
Konflik juga dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran aktivitas ekspor dan impor antara Rusia dan negara Eropa lainnya, di mana Ukraina berperan penting sebagai pengikat kedua belah pihak.
Advertisement
Investasi
Konflik ini juga membuat para investor global pesimis berinvestasi di sejumlah negara berkembang lainnya. Hal ini dapat dilihat, dari indeks Dow Jones Industrial Average yang ditutup turun sekitar 1,8 persen, diikuti indeks S&P 500 yang juga anjlok 2,1 persen ke 4.380,3 dan Nasdaq Composite yang terkoreksi turun 2,9 persen ke 13.716,7 pada Kamis (17/2).
Selain itu, bursa Asia juga ikut terkoreksi tajam menyusul Wall Street. Jumat (18/2), indeks Nikkei 225 terlihat anjlok 1,2 persen ke 26.903,6 - diikuti oleh indeks Hang Seng yang turut melemah 0,6 persen ke 23.633,7. Hal tersebut terjadi karena investor beralih ke aset safe haven seperti obligasi dan emas yang dinilai lebih aman, menyusul ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang semakin memanas. Dampak Ekonomi Konflik Geopolitik Rusia - Ukraina di Indonesia Indonesia pun harus mewaspadai dampak konflik Rusia - Ukraina.
Menurut pengamat Indef, Dzulfian Syafrian, konflik ini akan berdampak pada naiknya harga minyak dunia yang dimana hal ini akan berpengaruh pada neraca perdagangan Indonesia, karena Indonesia banyak mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Rusia Produsen Energi Dunia
Hal ini juga dibenarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa konflik Rusia-Ukraina membawa dampak langsung ke komoditas energi, gas maupun minyak di Indonesia. Konflik ini juga menimbulkan komplikasi bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan.
Pemerintah, terutama Kementerian Keuangan, akan terus mengawal stabilitas sistem keuangan dalam negeri terutama volatilitas suku bunga, nilai tukar, hingga volatilitas indeks dan arus modal yang berimbas langsung ke sektor keuangan.
"Hal yang perlu dikhawatirkan adanya kemungkinan terjadinya krisis energi dikarenakan Rusia merupakan salah satu produsen utama minyak dunia, di mana hal ini dapat berpengaruh terhadap pergerakan harga minyak global. Pemerintah dapat mengantisipasi hal tersebut dengan melakukan diversifikasi suplai impor Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan gas dan batubara untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak bumi," kata Johanna
Menurut Johanna, Apabila konflik ini berlanjut, tentunya kenaikan harga minyak ini akan berdampak kepada peningkatan inflasi di Indonesia.
"Dari sisi moneter, konflik ini juga akan menekan the Fed untuk meningkatkan suku bunga acuan, di sini Bank Indonesia perlu memperhatikan kondisi domestik sebelum menaikkan suku bunga acuan karena dikhawatirkan akan mengganggu pemulihan ekonomi nasional”, tutup dia.
Advertisement