Sukses

Mendag: Negara Maju Terapkan Standar Ganda, WTO Jadi Tak Berkutik

Mendag Lutfi justru menyatakan, tingginya harga komoditas dunia saat ini jadi peluang bagi para petani di negara-negara berkembang besar seperti Indonesia dan China untuk menikmati keuntungan lebih.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengingatkan, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) benar-benar bisa menjadi solusi nyata bagi perekonomian dunia yang dilanda inflasi tinggi saat ini.

Kondisi tersebut diakibatkan khususnya oleh hambatan perdagangan dunia yang disebabkan proteksionisme dan perang dagang, serta tidak berfungsinya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagaimana mustinya.

Pernyataan itu Mendag berikan saat menghadiri salah satu diskusi panel yang disponsori Channel News Asia (CNA) di Davos, Swiss pada Jumat (27/5/2022) kemarin.

"Ketika negara-negara yang sudah maju menerapkan standar ganda, WTO justru tidak berkutik," seru Mendag Lutfi dalam sebuah rilis yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan, Sabtu (28/5/2022).

Cukup mengejutkan panelis lainnya, Mendag Lutfi justru menyatakan, tingginya harga komoditas dunia saat ini jadi peluang bagi para petani di negara-negara berkembang besar seperti Indonesia dan China untuk menikmati keuntungan lebih.

"Ini ekuilibrium baru dalam perdagangan komoditas pangan dunia. Jangan dirusak dengan menyalahkan salah satu negara, misalnya Tiongkok karena posisi dagang yang kurang menguntungkan. Bahaya kalau beberapa negara maju berkelompok untuk membenarkan standar ganda," tegasnya.

Hal yang dimaksud standar ganda oleh Mendag Lutfi yakni negara-negara yang sudah maju menyalahkan dan mengganggu perdagangan bebas dunia, ketika mereka kurang diuntungkan posisi dagangnya terhadap suatu negara tertentu, misalnya China.

Padahal, ia menambahkan, dahulu ketika posisi dagang mereka diuntungkan sehingga petani di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang makmur, semua negara berkembang dipaksa membuka pasar mereka.

"Harus ada kebersamaan dan kesetaraan kesempatan dalam perdagangan bebas dunia," ungkap Mendag Lutfi.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Berdebat

Dirinya sempat berdebat cukup tegang dengan CEO Suntory Holdings Tak Miinami, panelis lain yang juga salah satu produsen makanan dan minuman terbesar di dunia asal Jepang.

Sang CEO menyatakan pesimis dengan situasi perdagangan dunia saat ini, khususnya karena China saat ini menutup pasarnya imbas kebijakan Zero-Covid yang diterapkan Presiden China, Xi Jin Ping. Sehingga Negeri Tirai Bambu disebutnya perlu dibatasi perannya dalam perdagangan dunia.

Mendag Lutfi menyayangkan pandangan tesebut, apalagi mengingat Jepang sudah merasakan menjadi negara maju. Menurut dia, dunia harus mengakui fakta saat China mulai mendominasi perdagangan dunia, dampak positifnya dapat dirasakan seluruh masyarakat dunia dengan harga barang-barang yang semakin terjangkau.

"Kami di Indonesia sangat merasakan betul manfaatnya. Apalagi Tiongkok juga menjadi sumber utama transfer teknologi bagi negara-negara berkembang saat ini," kata Mendag Lutfi.

3 dari 4 halaman

Dampak Perang Rusia Ukraina ke Perdagangan

Sebelumnya, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menurunkan perkiraan pertumbuhan perdagangan global tahun 2022 ini menjadi 3 persen dari 4,7 persen karena dampak perang Rusia Ukraina.

Badan yang berbasis di Jenewa itu juga memperingatkan potensi krisis pangan yang disebabkan oleh lonjakan harga.

"Gema ekonomi dari konflik (Rusia Ukraina) ini akan meluas jauh melampaui perbatasan Ukraina," kata Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala dalam sebuah konferensi pers, dikutip dari US News, Rabu (13/4/2022).

Laporan dari pengawas perdagangan global mengatakan bahwa konflik, yang sekarang sudah memasuki minggu ketujuh, telah merusak ekonomi dunia pada titik kritis ketika pandemi Covid-19, dan lockdown China secara khusus terus membebani pemulihan.

"Sekarang jelas bahwa pukulan ganda dari pandemi dan perang telah mengganggu rantai pasokan, meningkatkan tekanan inflasi dan menurunkan ekspektasi untuk output dan pertumbuhan perdagangan," ujar Ngozi Okonjo-Iweala.

Sementara itu, WTO memperkirakan pertumbuhan perdagangan global pada 2023 akan naik hingga 3,4 persen, mencatat bahwa perkiraan 2022 dan 2023 kurang pasti dari biasanya karena ketidakpastian dari konflik/masalah geopolitik.

 

4 dari 4 halaman

Krisis Pangan

Okonjo-Iweala juga memperingatkan potensi krisis pangan karena gangguan ekspor dari Ukraina dan Rusia.

Diketahui bahwa kedua negara tersebut merupakan pemasok utama biji-bijian dan komoditas lainnya, dimana habatan ekspor dapat berdampak pada pasokan di negara-negara miskin, termasuk sekitar 35 importir Afrika.

"Inilah mengapa kita perlu bertindak dan bertindak tegas dalam masalah pangan ini untuk menghindari masalah pangan," kata Ngozi Okonjo-Iweala, mengutip perlunya sistem pemantauan yang lebih transparan dan potensi pelepasan stok penyangga untuk menurunkan harga.