Liputan6.com, Jakarta - Otoritas kota Shanghai di China telah berjanji untuk meningkatkan ekonomi lokal berdasarkan instruksi dari Perdana Menteri Li Keqiang pekan ini, sambil menggandakan kebijakan "nol dinamis" Covid-19 ketika bersiap mengakhiri lockdown pada 1 Juni mendatang.
Dilansir dari South China Morning Post, Senin (30/5/2022) infeksi harian baru Covid-19 di Shanghai telah turun 35,6 persen menjadi 170 kasus pada Jumat (27/5) penurunan hari ketujuh berturut-turut.
Baca Juga
Kasus Covid-19 yang menunjukkan gejala juga turun 13,3 persen menjadi 39, hari keempat jumlah tersebut bertahan di bawah 50, sementara tidak ada satu pasien pun yang meninggal.
Advertisement
Tetapi satu infeksi baru ditemukan di luar zona pencegahan di distrik barat daya Songjiang, menyoroti tantangan dalam menahan varian Omicron yang sangat menular. Kasus ttu adalah infeksi komunitas pertama, atau kasus baru di luar area karantina, dalam tiga hari.
"Satu infeksi komunitas tidak akan menghentikan Shanghai dari pelonggaran lockdown," kata Wang Feng, ketua perusahaan jasa keuangan yang berbasis di Shanghai, Ye Lang Capital.
"Pemilik perusahaan dan eksekutif senior berharap mereka dapat melanjutkan operasi bisnis sesegera mungkin," ujarnya.
Walikota Shanghai Gong Zheng, juga mengatakan bahwa mempercepat dimulainya kembali bisnis dan produksi untuk meningkatkan ekonomi akan menjadi "tugas inti" di tahap berikutnya.
Pekan lalu, sebuah pertemuan melalui telekonferensi yang melibatkan lebih dari 100.000 pejabat hingga otoritas tingkat kabupaten di China, termasuk Perdana Menteri Li Keqiang, mereka mengakui bahwa ekonomi negara itu telah terhenti pada tingkat yang berbahaya dan menghadapi risiko kritis.
Pertemuan tersebut menekankan urgensi dilakukannya upaya untuk menstabilkan ekonomi China yang terdampak Covid-19.
Imbas Covid-19, PM Li Keqiang Peringatkan Segera Stabilkan Ekonomi China
Perdana Menteri China Li Keqiang menyerukan dilakukannya lebih banyak langkah penstabilan, ketika strategi nol-Covid-19 mulai mengganggu pertumbuhan dan menurunkan ekonomi terbesar kedua di dunia.
China, manjadi salah satu negara ekonomi besar yang terikat pada kebijakan tes Covid-19 massal dan lockdown ketat untuk meredam klaster penuklaran Virus Corona, tetapi pembatasan ketat telah menghancurkan bisnis.
Dalam beberapa hal, tantangan sekarang "lebih besar daripada ketika pandemi melanda pada tahun 2020", kata Li Keqiang pada pertemuan Dewan Negara pada Rabu (25/5), dikutip dari Channel News Asia, Jumat (27/5/2022).
"Kita saat ini berada pada titik kritis dalam menentukan tren ekonomi sepanjang tahun," ujar Li Keqiang, menurut laporan Xinhua.
"Kita harus memanfaatkan jendela waktu dan berusaha membawa ekonomi kembali ke jalur normal," lanjut dia.
Li Keqiang juga mengatakan para pejabat di China harus memastikan ada pertumbuhan "wajar" pada kuartal kedua, memicu kekhawatiran bahwa target negara itu untuk ekspansi tahunan sekitar 5,5 persen mungkin tidak terpenuhi.
Pernyataan Li menjadi seruan terbaru dari para pejabat dan pemimpin bisnis China tentang keseimbangan antara upaya pencegahan Covid-19 dan memulihkan ekonomi di negara itu.
Pada Senin kemarin (23/5), bank sentral dan regulator perbankan China mendesak lembaga keuangan untuk meningkatkan pinjaman, mengutip tekanan terhadap ekonomi imbas Covid-19.
Desakan itu terjadi ketika penjualan ritel China anjlok hingga 11,1 persen di bulan April 2022 sementara produksi pabrik turun 2,9 persen - penurunan terburuk sejak awal krisis Covid-19.
Advertisement
UBS Pangkas Ramalan Pertumbuhan Ekonomi China Gara-gara Lockdown Covid-19
Bank investasi multinasional yang berbasis di Swiss, UBS memangkas perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi China tahun ini hingga 120 basis poin menjadi 3 persen, karena pembatasan ketat Covid-19 di negara itu menghambat sebagian besar aktivitas bisnis.
Dilansir dari Channel News Asia, pemangkasan itu datang sehari setelah JP Morgan menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi China hingga setahun penuh menjadi 3,7 persen dari 4,3 persen.
Menurut UBS, kontraksi yang lebih dalam dari perkiraan sekarang kemungkinan terjadi pada ekonomi China di pada ini karena lockdown Covid-19.
Diketahui bahwa lockdown Covid-19 di kota-kota besar di China telah mengganggu berbagai rantai pasokan global dan mendorong penurunan pada perekonomian negara itu.
"Pembatasan yang masih ada dan kurangnya kejelasan tentang strategi keluar dari kebijakan Covid-19 saat ini kemungkinan akan mengurangi kepercayaan perusahaan dan konsumen dan menghambat pelepasan permintaan yang terpendam," kata analis UBS, Tao Wang.
Shanghai pada Sabtu lalu (21/5) mendorong rencana untuk memulihkan sebagian jaringan transportasinya dalam langkah besar pelonggaran lockdown Covid-19 selama berminggu-minggu, sementara pusat keuangan Beijing masih memberlakukan pembatasan karena wabah yang telah berlangsung selama sebulan.
Namun, Wang mengatakan pelonggaran pembatasan Covid-19 di China tidak akan secepat pada tahun 2020, mengingat sifat penyebaran varian Omicron yang cepat.
Goldman Sachs Pangkas Ramalan PDB China Jadi 4 Persen
Goldman Sachs sebelumnya juga memangkas perkiraan mereka untuk PDB China menjadi 4 persen setelah data untuk bulan April menunjukkan penurunan pertumbuhan ekonomi karena Covid-19 membatasi aktivitas bisnis.
Perkiraan PDB China baru ini bahkan lebih jauh di bawah target pertumbuhan sekitar 5,5 persen yang diumumkan pemerintah China untuk tahun ini di bulan Maret 2022.
"Mengingat kerusakan ekonomi terkait Covid-19 pada kuartal kedua, kami sekarang memperkirakan pertumbuhan China menjadi 4 persen tahun ini (dibandingkan 4,5 persen sebelumnya),” tulis analis Hui Shan dan tim di Goldman dalam sebuah laporan, dikutip dari CNBC International.
"Data yang lemah menyoroti ketegangan antara target pertumbuhan China dan kebijakan nol-Covid-19 yang merupakan inti dari prospek pertumbuhan China," beber analis Goldman.
Advertisement