Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta memperhatikan kepentingan semua pihak yang terlibat di industri hasil tembakau dalam merumuskan kebijakan mengenai tembakau di Indonesia.
Mengingat industri hasil tembakau menopang banyak kepentingan ekonomi masyarakat, termasuk juga kelompok menengah kebawah yang membutuhkan perlindungan.
Baca Juga
Anggota DPR RI Komisi VI Tommy Kurniawan mengatakan, faktor ekonomi harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam merumuskan kebijakan terkait industri tembakaukarena menyangkut kepentingan rakyat kecil seperti pedagang eceran dan toko kelontong. Pasalnya, banyak pedagang eceran dan toko kelontong yang mengandalkan penghasilan dari penjualan rokok.
Advertisement
“Kasian loh mereka, jadi Pemerintah baiknya melindungi rakyat kecil. Banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada industri ini. Terlebih dampak pandemi COVID-19 selama 2 tahun terakhir yang membuat banyak pedagang kecil turun omzetnya sehingga sulit untuk mempertahankan usaha dan memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ujar Tommy kepada wartawan, Senin (30/5/2022).
Menurut Tommy, kebijakan yang terlalu eksesif dan tidak berimbang akan merugikan mata rantai IHT termasuk pedagang eceran dan toko kelontong.
Biasanya, ketika kebijakan yang eksesif mengenai tembakau ditetapkan, maka harga akan semakin tinggi sehingga secara otomatis membuat omzet pedagang berkurang. Hal ini, lanjut Tommy, akan menimbulkan permasalahan baru di masyarakat.
“Kalau omzet berkurang, bagaimana masyarakat bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari? Dampaknya juga roda perputaran ekonomi akan terganggu karena daya beli masyarakat berkurang. Dampak negatifnya bahkan bisa lebih luas yang semula muncul akibat penurunan omzet bahkan bisa sampai merambah ke aspek sosial dan stabilitas. Pemerintah harus perhatikan dan pertimbangkan hal tersebut dengan baik,” jelas Tommy.
Jangan Terpengaruh
Di sisi lain, Tommy juga berharap agar pemerintah tidak terpengaruh berbagai upaya yang didorong untuk melanggengkan kepentingan lembaga asing dalam melakukan berbagai intervensi demi melemahkan posisi industri tembakau dan mata rantainya di Indonesia dengan mempengaruhi kebijakannya di dalam negeri. Sebab, menurut Tommy, gerakan-gerakan tersebut hanya akan merugikan rakyat kecil khususnya pedagang.
“Kita jangan mau disetir dalam merumuskan kebijakan. Kita yang lebih paham kondisi Indonesia, sehingga pemerintah tidak boleh tunduk terhadap kepentingan, pengaruh dan campur tangan lembaga- lembaga donor asing dalam perumusan kebijakan. Kerja sama dan kolaborasi bukan berarti lantas tunduk kepada kepentingan dan agenda yang mereka dorong. Terlebih bila hal- hal tersebut merugikan saudara sebangsa dan setanah air kita sendiri. Kemaslahatan dan kepentingan masyarakat, termasuk pedagang tetap harus menjadi prioritas pertimbangan” ujar Tommy.
Advertisement
Pengusaha Minta Pemerintah Konsisten Jalankan Kebijakan Industri Tembakau
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mendorong pemerintah untuk mereorientasikan kebijakan industri hasil tembakau (IHT).
Sebab dalam beberapa dekade belakangan, kelompok antitembakau yang disokong pendanaan Lembaga asing kerap menekan pemerintah untuk menerbitkan regulasi-regulasi yang mengancam keberlangsungan IHT, diskriminatif dan tidak partisipatif.
“Sejak 1997, mulai muncul gerakan-gerakan yang ingin membuat IHT di Indonesia menuju ke suatu titik kebangkrutan. Belakangan, diketahui juga bahwa gerakan- gerakan ini disokong oleh lembaga global yang menyebarkan stigma bahwa pabrik rokok sepenuhnya negatif melalui media. Padahal, ada lebih dari enam juta orang yang menggantungkan hidupnya di industri ini,” ungkap Henry dtulis, Rabu (27/4/2022).
Tekanan asing yang sangat disebut Henry membuat kebijakan-kebijakan terkait IHT menjadi, tidak objektif dan bahkan manipulatif. Hal ini tecermin pada RPJMN 2019-2024.
Pada aturan tersebut, disebut bahwa data prevalensi merokok anak 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Padahal berdasarkan data BPS, prevalensi merokok anak tercatat terus menurun. Proses penyusunan kebijakan yang didasarkan pada data yang tidak valid akan sangat berbahaya, terlebih bila pemangku kepentingan IHT secara terstruktur dan sistematis dikecualikan dari diskusinya.
Terkontraksi
Henry juga menyampaikan bahwa IHT terus terkontraksi dalam beberapa tahun terakhir. Mengutip data BPS, Henry bilang pada tahun lalu pertumbuhan PDB tercatat terkontraksi 1,32 persen, belum berhasil pulih dari kontraksi pada tahun sebelumnya sebesar 5,78 persen.
“Dalam 11 tahun terakhir, IHT telah mengalami kontraksi sebanyak empat kali. Regulasi yang berkeadilan menjadi kunci bagi IHT untuk tumbuh. Apalagi di masa pandemi, IHT butuh pulih ekstra,” sambungnya.
Regulasi yang berkeadilan juga menjadi hal penting mengingat IHT merupakan industri padat karya. Kebijakan-kebijakan yang eksesif dan merugikan industri juga akan memberi dampak negatif bagi para pekerjanya.
Ia mencontohkan ihwal rencana revisi PP 109/2012 yang kembali didorong oleh kelompok antitembakau yang pasti akan menghancurkan industri tembakau. Bagaimana tidak, kelompok- kelompok tersebut terus mendesak Pemerintah agar regulasi pengendalian tembakau PP 109/2012 direvisi dan mewajibkan untuk mengubah kandungan rokok kretek. Hal ini tentunya akan sangat merugikan, mengingat segmen kretek apalagi sigaret kretek tangan (SKT) memiliki serapan tenaga kerja yang tinggi.
Advertisement