Liputan6.com, Singapura Revolusi digital yang terjadi saat ini dinilai bakal mengancam industri perbankan yang telah eksis sejak zaman Kekaisaran Romawi.
Khususnya bagi bank-bank tradisional yang belum banyak beradaptasi terhadap layanan digital yang menawarkan kemudahan bagi para penggunanya, seperti yang disuguhkan perusahaan financial technology alias fintech.Â
Baca Juga
Regional Vice President, Head of FSI COE, Asia Pacific & Japan at SAP Bambang Moerwanto menilai, fintech tampaknya bisa lebih mengerti apa kebutuhan costumer dibanding bank, yang cakupan bisnisnya terlalu luas.
Advertisement
"Makanya fintech itu kalau term saya, saya bilang unbundling the actual banking system. Jadi mereka itu is really niche in specific area, dan mereka do it very well," kata Bambang di sela-sela acara Financial Industry Editors Forum 2022 yang digelar IBM di Singapura, Rabu (1/6/2022).
Bambang mengatakan, bank cenderung terlalu sibuk dengan lingkup bisnisnya yang terlalu luas, sehingga tidak bisa menjamah kebutuhan nasabah secara lebih spesifik.Â
"Mungkin ada beberapa survei bilang, salah satu yang diinginkan dari customer adalah hyper personalization. Si bank harus tahu benar kebutuhan customer apa. Tapi bank karena terlalu banyak yang mau digarap maka enggak bisa seperti itu," tuturnya.Â
Â
Tantangan Perbankan
Dia lantas memaparkan beberapa tantangan bagi industri perbankan. Pertama, bila tak mau beradaptasi lebih lanjut dengan perkembangan teknologi, bisnis mereka bisa tak berlanjut ke depan.Â
"Mereka sebenarnya challenge-nya ada baggage legacy yang membikin mereka itu susah untuk manuver dibandingkan sama fintech dan startup yang gak ada legacy burden. Sistem yang mungkin sudah seharusnya diganti," bebernya.
Kedua, jika dilihat dari struktur e-banking saat ini, bank juga melayani berbagai tipe pelanggan, mulai dari sektor korporat, ritel, hingga nasabah individual.Â
"Tapi problem dari bank kebanyakan adalah mereka itu jalan sendiri, jadi creates more complexity. Untuk mereka gerak semakin susah dibanding sama fintech company, fintech kan lebih flat dari organisasi dan hirarki," tandasnya.
Advertisement
Penyaluran Pinjaman Fintech Lending ke UMKM Capai Rp 13 T hingga Maret 2022
Perusahaan financial technology (fintech) lending menjadi salah satu alternatif bagi usaha Mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk terus tumbuh. Fintech lending bisa mendorong sektor produktif terutama yang ada di luar pulau Jawa.
Otoritas jasa Keuangan (OJK) mencatat, total outstanding penyaluran pinjaman fintech lending ke UMKM telah mencapai Rp 13,2 triliun hingga Maret 2022. Angka ini setara 36 persen dari total outstanding pinjaman fintech lending.
"Hingga Maret 2022, total outstanding penyaluran pinjaman fintech lending ke UMKM telah mencapai Rp13,2 triliun," tulis OJK dalam keterangannya, Selasa (17/5/2022).
Ke depan, OJK akan terus mendorong penyaluran pinjaman fintech lending kepada sektor produktif, seperti Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Â
Sebelumnya
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyampaikan, kehadiran pinjaman online atau pinjol menjadi berkah bagi masyarakat di daerah selama pandemi Covid-19 berlangsung . Sebab, kehadiran fintech peer to peer lending ini bisa membantu masyarakat untuk mengakses pembiayaan.
"Ini adalah berkah, terutama bagi masyarakat di daerah yang tadinya sulit mendapatkan pembiayaan. Ini sudah bisa dilakukan dengan peer to peer lending," kata Wimboh dalam acara CEO Networking, Selasa (16/11/2022).
Wimboh Santoso mengatakan, selama ini pihaknya mendorong agar pinjol bisa memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Tentunya dengan pembiayaan lebih murah, cepat dan beban bunga yang ringan.
Advertisement