Liputan6.com, Jakarta Prinsip pengelolaan perusahaan dengan menerapkan aspek, Environment (Lingkungan), Social (Sosial), dan Governance (Tata kelola yang baik) (ESG) telah menjadi topik pembicaraan seputar bisnis berkelanjutan dalam beberapa tahun terakhir.
Sebuah pengelolaan bisnis yang bertanggung jawab sejalan dengan prinsip-prinsip ESG diyakini dapat berimplikasi positif bukan hanya pada kinerja perusahaan, namun juga masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan beroperasi.
Baca Juga
Pendiri dan Komisaris Perusahaan Sosial WISESA, Jalal mengatakan, perusahaan yang operasinya dijalankan dengan menerapkan sejumlah aspek keberlanjutan diharapkan dapat memberikan dampak positif secara finansial.
Advertisement
“ESG itu merupakan langkah keberlanjutan sebuah organisasi atau perusahaan, dengan mengelola isu-isu lingkungan, sosial dan tata kelola yang akan relevan terhadap kinerja finansial perusahaan,” ujar Jalal dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (4/6/2022).
Sejauh ini hampir seluruh sektor industri mulai menerapkan operasional yang berkelanjutan dan menaruh perhatian khusus pada isu-isu seputar ESG.
Sebagai salah satu tolok ukur dan salah satu bukti kepedulian serta komitmen dalam menerapkan bisnis dengan berprinsip ESG, banyak perusahaan kini menerbitkan laporan keberlanjutan setiap tahunnya.
Bagi pihak eksternal perusahaan, laporan keberlanjutan ini akan menjadi informasi tindakan perusahaan dalam mengurangi dampak negatif bagi lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan. Selain itu dengan menerbitkan laporan keberlanjutan, hal ini turut mendorong reputasi dan kredibilitas perusahaan.
Industri pertambangan, khususnya pertambangan batu bara yang kerap dikritisi sebagai industri yang berkontribusi cukup besar pada tingginya emisi karbon, telah turut serta menerapkan operasional perusahaan yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip-prinsip ESG.
Industri pertambangan tak bisa dibantah memiliki kontribusi signifikan dalam meningkatkan pendapatan negara bukan pajak, yang pada akhirnya bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat banyak.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dampak bagi Ekonomi Sekitar
Jalal melanjutkan, operasi pertambangan batu bara di Indonesia jelas memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap perekonomian masyarakat sekitar.
“Tak hanya baik bagi perekonomian daerah, tapi juga lewat pajak serta keikutsertaan masyarakat dalam ketenagakerjaan.” kata Jalal.
Terkait penerapan operasional perusahaan secara berkelanjutan yang berdampak pada terbangunnya komitmen perusahaan melakukan transisi energi, Jalal menyoroti pentingnya sebuah justice transitionatau transisi berkeadilan bagi industri batu bara di dalam negeri.
“Batu bara memang mau tidak mau harus dikurangi. Tetapi kita perlu menerapkan justice transition atau transisi yang adil karena keadilan antarnegara itu amat berbeda. Pengurangan bahan bakar fosil di negara maju dan negara berkembang seperti Indonesia tidak bisa disamakan kecepatannya. Negara berkembang seperti Indonesia seharusnya memiliki waktu transisi yang lebih lama,” kata Jalal.
Pasalnya, pada periode transisi perlu dicarikan pengganti sumber penghasilan bagi pihak-pihak yang kehilangan sumber ekonominya, khususnya para tenaga kerja yang selama ini menggantungkan mata pencahariannya pada pembangkit listrik tenaga batu bara, serta mereka yang bekerja di sektor pertambangan batu bara. Justice transition juga terkait dengan nasib masyarakat konsumen, berupajaminan untuk tetap mendapatkan pasokan listrik.
“Jangan sampai di saat kita mengupayakan transisi energi tapi kemudian justru menjadikan timbulnya disparitas energi. Tiba-tiba banyak orang yang tidak mendapatkan akses listrik karena efek dari transisi tersebut. Itu buruk sekali,” ujar Jalal.
Secara umum, lanjut Jalal, pada masa transisi ini dibutuhkan suatu strategi khusus untuk meminimalkan atau meniadakan dampak buruk yang akan dialami oleh masyarakat yang selama ini bergantung pada industri batu bara, termasuk masyarakat konsumen tenaga listrik yang selama ini mendapatkan pasokan listrik dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
Advertisement
Periode Transisi
Masih menurut Jalal, pada periode transisi ini, para tenaga kerja yang selama ini bergantung pada operasi pertambangan bisa mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kompetensi dan kapabilitasnya agar mereka tidak tertinggal dalam transisi industri pertambangan batu bara yang akan bertransisi.
Artinya, transisi energi juga seharusnya tidak hanya diterapkan pada entitas usaha yang harus bertransisi ke arah energi baru dan terbarukan semata, tetapi juga pada masyarakat sekitar yang selama ini bergantung pada operasi industri energi berbasis energi fosil.
Mengingat besarnya biaya dan investasi yang dibutuhkan dalam upaya transisi ini, sudah sewajarnya negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang pembangkit listriknya masih didominasi pembangkit berbasis energi fosil bisa memiliki waktu dan periode transisi yang berbeda dengan negara maju.
Sehingga bisa terwujud sebuah periode transisi yang berkeadilan.Jalal sendiri menilai justice transition inilah yang belum begitu dalam dipikirkan di Indonesia. Jalal juga berpendapat transisi energi harus dilihat sebagai sebuah transisi yang adil bagi semua pemangku kepentingan. Jika transisi yang adil ini luput dalam penerapannya, ia menyebut sama saja dengan tidak menerapkan operasi keberlanjutan atau mempertimbangkan unsur ESG di dalamnya.
Sejauh ini Jalal menyambut baik penerapan ESG di sejumlah perusahaan tambang batu bara, kendati menurutnya masih perlu dilakukan peningkatan kualitas program ESG.
Dalam pengelolaan isu sosial, demi mendapatkan license to operate, sejumlah perusahaan tambang batu bara menggelar beragam program keberlanjutan yang diharapkan mampu mengangkat harkat hidup masyarakat yang tinggal di sekitar area operasi perusahaan.