Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, optimis tahun depan pemulihan ekonomi akan terus berjalan. Hal itu disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, di Gedung DPR, Rabu (8/6/2022).
“Kita tetap optimis bahwa tahun 2023 momentum pemulihan ekonomi akan tetap bisa berjalan. Namun disisi lain kita juga melihat adanya munculnya risiko baru,” kata Menkeu.
Baca Juga
Menkeu mengatakan, kisaran angka pertumbuhan ekonomi 2023 sebesar 5,3 persen hingga 5,9 persen yang telah ditetapkan akan menjadi bekal Pemerintah dalam menyusun RAPBN 2023.
Advertisement
“Kami menerima tadi range yang sudah ditetapkan dan ini akan menjadi bekal kami untuk menetapkan titik nanti pada saat menyusun RAPBN 2023,” ujarnya.
Dalam rapat kerja tersebut, Menkeu menyampaikan kepada jajaran Komisi XI DPR RI, bahwa hasil dari pertemuannya dalam forum Islamic Development Bank memang membahas mengenai risiko global yang dirasakan, dan menjadi bahan pembahasan dalam Governor's Roundtable.
“Dimana kita membahas mengenai munculnya resiko terutama dari sisi kenaikan inflasi karena harga-harga energi dan pangan, yang akan menyebabkan pengetatan dari moneter,” ujarnya.
Bendahara negara ini menyampaikan, dalam Governor's Roundtable dibahas mengenai seberapa cepat dan seberapa ketat kebijakan moneter untuk menangani inflasi, yang akan berdampak pada pelemahan dari sisi produksi.
Maka, hal ini akan terus menjadi bahan pembahasan pada level makro policy di semua forum baik forum ekonomi dan keuangan, termasuk pihaknya juga akan membahas dalam pertemuan G20 mendatang.
“Jadi di dalam konteks ini nanti kita akan lihat dampaknya kepada pembahasan kita adalah tadi kalau seandainya pengetatannya cepat dan tinggi ketat. Maka dampak terhadap kelemahan ekonomi global akan terlihat spillover nya ke seluruh dunia,” ujarnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tantangan Global
Lebih lanjut, terkait pembahasan secara teknis mengenai masalah pertumbuhan dan tantangan Global semuanya sependapat, bahwa persoalan inflasi di dunia saat ini kontribusi dari production sisi supply itu lebih dominan dibandingkan kontribusi dari sisi demand atau permintaan.
“Implikasi kebijakan adalah bawa kalau kebijakan makro yaitu fiskal dan moneter terlalu cepat atau ketat, yang tujuannya akan lebih cepat mempengaruhi sisi demand sebetulnya tidak menyelesaikan masalah Sisi supply-nya,” jelas Menkeu.
Karena persoalannya awalnya adalah dari sisi supply, yaitu produksinya terkena disrupsi akibat Perang maupun disebabkan pandemi covid-19. Sehingga ini akan menjadi satu tema terus-menerus dari sekarang hingga tahun 2023.
“Karena dinamika antara demand dan supply dan instrumen mana yang dianggap paling pas, yang paling tepat untuk bisa menyelesaikan pensi kemungkinan terjadi stagflasi tanpa menimbulkan risiko ekonomi yang sangat besar,” pungkasnya.
Advertisement
Bank Dunia Pangkas Ramalan Pertumbuhan Ekonomi Global Jadi 2,9 Persen
Sebelumnya, Bank Dunia memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global dan memperingatkan banyak negara dapat jatuh ke dalam resesi, karena ekonomi tergelincir ke dalam periode stagflasi seperti di era tahun 1970-an.
Dilansir dari CNBC International, Rabu (8/6/2022) laporan terbaru Bank Dunia bertajuk Global Economic Prospects mengatakan bahwa ekspansi ekonomi global diperkirakan turun menjadi 2,9 persen tahun ini dari 5,7 persen pada 2021.
Angka tersebut 1,2 poin persentase lebih rendah dari perkiraan 4,1 persen pada Januari.
Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan berada di sekitar level tersebut hingga tahun 2023 dan 2024.
Sementara inflasi tetap di atas target di sebagian besar ekonomi, menurut laporan Bank Dunia, menunjuk pada risiko stagflasi.
Perang Rusia-Ukraina dan lonjakan harga komoditas yang diakibatkannya telah memperparah kerusakan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 pada ekonomi global, yang menurut Bank Dunia sekarang memasuki apa yang mungkin menjadi "periode pertumbuhan lemah yang berlarut-larut dan inflasi yang meningkat".
"Perang di Ukraina, lockdown di China, gangguan rantai pasokan, dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan. Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari," kata Presiden Bank Dunia David Malpass.
Laporan Bank Dunia juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju akan melambat tajam menjadi 2,6 persen tahun ini dari 5,1 persen pada 2021, dan bakal semakin melambat menjadi 2,2 persen pada tahun 2023 mendatang.
Adapun ekspansi di pasar negara berkembang dan ekonomi negara berkembang yang juga diproyeksikan turun menjadi 3,4 pesen pada tahun 2022 dari 6,6 persen pada tahun 2021.
Angka itu jauh di bawah rata-rata tahunan sebesar 4,8 persen dari tahun 2011 hingga 2019.
Penurunan itu datang karena inflasi terus meningkat baik di negara maju dan berkembang, mendorong bank sentral untuk memperketat kebijakan moneter dan menaikkan suku bunga untuk menahan lonjakan harga.
Stagflasi Era 1970-an yang Dibahas dalam Laporan Terbaru Bank Dunia
Inflasi yang tinggi dan pertumbuhan yang lemah saat ini disejajarkan dengan apa yang terjadi di tahun 970-an, di mana stagflasi intens yang membutuhkan kenaikan tajam dalam suku bunga di negara maju, dan memicu serangkaian krisis keuangan di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang.
Laporan Bank Dunia bulan Juni 2022 menawarkan apa yang disebutnya perbandingan “sistematis pertama” antara situasi sekarang dengan 50 tahun yang lalu.
Namun, sekarang ada juga sejumlah perbedaan, seperti kekuatan dolar AS, harga minyak yang umumnya lebih rendah, dan neraca yang kuat secara luas di lembaga keuangan besar, yang memberikan ruang untuk manuver.
Untuk mengurangi risiko terulangnya sejarah, Bank Dunia mendesak para pembuat kebijakan agar mengoordinasikan bantuan untuk Ukraina, menahan lonjakan harga minyak dan pangan, dan mengatur pengurangan utang bagi negara berkembang.
Advertisement