Sukses

Anak Buah Luhut Acungi Jempol Hasil Audit Merek Sampah Plastik di Bali

Dalam laporan brand audit atas sampah plastik di Bali pada 2021, Sungai Watch mengungkap 10 besar perusahaan yang produk dan kemasannya paling mencemari Bali.

Liputan6.com, Jakarta Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marinves) Rofi Alhanif mengapresiasi audit merek (brand audit) sampah plastik yang mencemari lingkungan di Bali.

"Belum lama ini ada penelitian yang bagus di Bali, brand audit atas sampah plastik sehingga ketahuan mana saja produk perusahaan yang berakhir di alam, baik itu di sungai maupun di laut," kata Rofi dikutip dari Antara, Rabu (8/6/2022).

Dia merujuk kajian Sungai Watch, sebuah lembaga swadaya di bidang lingkungan di Bali, atas sampah plastik sekali pakai, termasuk saset, botol dan gelas plastik, yang mencemari sungai dan perairan laut di Pulau Dewata.

Dalam laporan brand audit atas sampah plastik di Bali pada 2021, Sungai Watch mengungkap 10 besar perusahaan yang produk dan kemasannya paling mencemari Bali.

Audit juga menemukan hampir separuh dari total sampah plastik yang dianalisa berupa sampah kemasan saset sekali pakai. Dari total 67.000 item, 30 persen lebih adalah saset snack,setara dengan total sampah saset produk kopi dan mie instan.

Menurut Rofi, brand audit seperti yang dilakukan Sungai Watch tersebut bermanfaat untuk mengedukasi produsen agar lebih bertanggungjawab untuk menarik kembali produk dan kemasan plastik yang mereka produksi dan terbuang di lingkungan terbuka sebagai sampah.

"Memang banyak tantangan, utamanya untuk produk seperti saset yang terbilang dilema lantaran permintaannya tinggi, terutama di daerah yang masyarakat atau ekonominya lemah," katanya dalam Dialog Nasional Penanggulangan Sampah Plastik oleh Produsen.

Oleh karena itu Rofi mendorong kalangan produsen aktif mengeksplorasi mekanisme penarikan sampah plastik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Kemasan

Sebelumnya Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ujang Solihin Sidik, mengakui dilema peredaran masif produk sekali pakai yang bermasalah dari sisi kemasan (problematic packaging), utamanya saset.

Karena itu, menurutnya, pemerintah mendorong produsen mengadopsi penghentian (phasing-out) produksi produk dan kemasan pangan dengan wadah plastik mini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.

Dalam peraturan tersebut, produsen air kemasan diarahkan untuk menghentikan (phasing-out) produksi dan peredaran semua kemasan mini, di bawah 1 liter, per Desember 2029. Aturan serupa berlaku untuk kemasan saset di bawah 50 mililiter.

"Peraturan itu berlaku untuk semua level produsen, baik besar maupun kecil. Namun dalam implementasinya, target utamanya adalah perusahaan-perusahaan besar karena merekalah kontributor terbesar sampah plastik," kata Ujang.

3 dari 4 halaman

Laut Indonesia Darurat Sampah Plastik, Ekonomi Sirkular Jadi Jalan Keluar

Sebelumnya, dampak urbanisasi, pembangunan, dan perubahan pola konsumsi dan produksi membuat sampah plastik di laut mengalami peningkatan setiap tahun. Padahal sampah menjadi ancaman serius pada ekosistem laut, bisnis perikanan, kesehatan publik dan juga sektor turisme.

Perwakilan Uni Eropa untuk Indonesia, Seth Van Doorn dalam sesi Dialog Nasional Pengurangan Sampah oleh Produsen di Jakarta, pekan lalu mengatakan, sampah plastik di perairan laut merupakan salah satu ancaman lingkungan terbesar dunia.

"Sistem pengolahan sampah belum cukup efektif menekan volume sampah plastik di laut, untuk itu diingatkan risiko dari kemasan yang mudah tercecer dan susah didaurulang, termasuk sedotan plastik, minuman gelas dan kantong plastik," ujar Seth Van Doorn.

Dia menyebut ada sekitar 60 sampai 90 persen dari sampah yang tercecer di laut adalah sampah plastik, utamanya sedotan, minuman gelas dan kantong plastik.

Polusi sampah plastik di laut Indonesia sendiri menyumbang kontribusi yang signifikan, termasuk sampah air minum kemasan gelas dan botol. Hal ini berdasarkan data yang diolah dari berbagai sumber.

Di mana menunjukkan produksi air minum kemasan gelas mencapai 10,4 miliar kemasan gelas setiap tahunnya dengan timbulan sampah 46 ribu ton, atau hampir sepertiga dari total timbulan sampah industri air kemasan bermerek.

Jumlah timbulan sampah itu belum menghitung timbulan sampah sedotan plastik, 'komplemen' dalam penjualan air minum gelas, yang notabene lebih mudah tercecer di lingkungan. Pada segmen ini, market leader industri air kemasan berkontribusi pada timbulan 5.300 ton sampah gelas plastik.

Dari data tersebut juga menunjukkan produksi air kemasan botol sekali pakai mencapai 5,5 miliar botol per tahun dengan volume sampah sebesar 83 ribu ton, atau hampir separuh timbulan sampah plastik industri air kemasan bermerek.

Separuh dari timbulan sampah pada segmen botol ini merupakan sampah market leader. Sejauh ini memang belum ada data resmi rerkait volume sampah gelas plastik dan botol plastik air kemasan yang mampir di perairan laut.

Van Doorn mengharapkan pemerintah dan kalangan produsen di Indonesia dapat terus mengurangi sampah plastik.

"Per Maret silam, United Nations Environment Assembly, bersama majelis lingkungan PBB, dalam sebuah pertemuan di Nairobi, Kenya, telah menyepakati fase awal negosiasi kesepahaman pengurangan polusi plastik di level dengan implikasi yang bakal mengingat secara hukum," terangnya.

4 dari 4 halaman

Ancaman Sampah Plastik

Berbagai contoh kasus yang terjadi dan mengancam lingkungan khususnya di laut terjadi di salah satu destinasi wisata bawah laut di Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada tahun 2018 silam. Di mana sempat geger adanya penemuan seekor ikan paus sperma (Physeter macrocephalus) mati terdampar dengan perut berisi enam kilogram plastik, termasuk 115 buah sampah plastik air minum gelas.

Melihat kejadian itu, serta dampak ancaman sampah plastik, pemerintah pun bergegas meluncurkan strategi pengurangan sampah plastik nasional. Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, pemerintah mendorong produsen di bidang manufaktur, jasa makanan dan minuman serta industri ritel untuk menyetor road map pemangkasan 30 persen volume sampah per Desember 2029.

Selain itu, Kementerian juga mendesak produsen menggunakan kandungan daur ulang pada kemasan pangan serta mendorong produsen meninggalkan kemasan mini yang mudah tercecer dan kurang bernilai ekonomis untuk didaurulang. Pada industri air kemasan, misalnya, aturan phase out berlaku untuk air minum kemasan di bawah 1 liter. Pengaturan serupa berlaku untuk kemasan saset di bawah 50 mililiter.