Liputan6.com, Jakarta Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira, menilai rencana kenaikan tingkat suku bunga acuan Amerika Serikat atau Fed rate yang eksesif bahkan bisa 3 sampai 4 kali kenaikannya di Tahun 2022 ini, bisa memicu terjadinya Resesi ekonomi.
“Karena terjadi kenaikan biaya bunga atau cost of fund bagi pelaku usaha khususnya pelaku usaha yang memiliki rasio utang yang cukup tinggi mereka akan kesulitan membayar pinjaman,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Sabtu (11/6/2022).
Sementara tidak semua permintaan mengalami kenaikan atau belum semua permintaan mengalami kenaikan kembali kepada pra pandemi. Jadi, ada disrupsi rantai pasok, sebelumnya juga sudah terjadi konflik di Ukraina membuat harga pangan naik, harga energi naik, dan akhirnya menjadi beban bagi pemulihan ekonomi dihampir seluruh negara.
Advertisement
Menurut Bhima, kenaikan suku bunga AS yang berlebihan juga akan memicu larinya modal asing secara masif terutama kembali ke aset-aset yang dinilai aman. Sehingga mereka akan mengurangi investasi di negara-negara berkembang atau negara emerging market.
“Nah, situasi ini bisa berdampak pemulihan ekonomi Indonesia yang ditargetkan tumbuh 5 persen bisa terkoreksi bahkan bisa kembali minus. Kita harus mempersiapkan dari gelombang adanya instabilitas moneter secara global,” ujarnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pemerintah Perlu Bersiap
Hal pertama yang perlu dipersiapkan Pemerintah Indonesia adalah bagaimana pemerintah all out, dengan berbagai cara menjaga agar fiskal ini bisa menjadi bantalan, yakni dengan menggelontorkan subsidi energi secara masif, menambah alokasi subsidi energi, subsidi pangan bahkan juga bantuan untuk pupuk kepada para petani.
“Sehingga baik inflasi energi maupun inflasi dari pangan bisa terjaga sampai akhir tahun, sampai pemulihan daya beli masyarakat Indonesia pulih seperti pra pandemi,” ujarnya.
Kedua, Pemerintah Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor Karena transmisi dari Resesi ekonomi di Amerika Serikat akan menjalar ke nilai tukar, dan akan membuat barang-barang impor terutama impor pangan akan menjadi lebih mahal.
“Jadi ini adalah kesempatan untuk mendorong produktivitas pangan di dalam negeri sehingga ketergantungan terhadap impor nya bisa ditekan,” pungkasnya.
Advertisement
Kebijakan Moneter AS Picu Krisis, BI Diminta Naikkan Suku Bunga Acuan
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pertengahan tahun ini ada beberapa kondisi yang harus diwaspadai bisa menjadi pemicu krisis. Beberapa di antaranya adalah perubahan kebijakan moneter Amerika Serikat.
Menanggapi, Ekonom Indef, Nailul Huda, mengatakan, efek dari kenaikan suku bunga acuan the Fed AS, yang paling terasa nantinya di pasar keuangan, seperti saham-saham berpotensi anjlok, kemudian berdampak ke nilai tukar.
Tak hanya itu saja, dampak lainnya yaitu uang investor akan balik lagi ke AS dan pasar Indonesia menjadi kurang menarik.
“Pun dengan suku bunga utang kita jadi tidak menarik bagi investor. Menurut saya harus diwaspadai efek dari kenaikan suku bunga acuan the Fed AS,” kata Nailul kepada Liputan6.com, Rabu (8/6/2022).
Dia pun menyarankan, agar Pemerintah melalui Bank Indonesia mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga acuan BI. “Dimana inflasi juga sebenarnya sudah meningkat dan ada celah kesempatan menaikkan suku bunga acuan,” kata Nailul.
Suku Bunga AS
Menkeu mengatakan, dampak kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat membawa potensi krisis keuangan di berbagai belahan dunia. Dia menegaskan, potensi ini bahkan sudah terjadi pada masa lampau.
"Setiap kenaikan suku bunga naik di Amerika Serikat pasti terjadi krisis di berbagai dunia," ujar Sri Mulyani, Jakarta, Selasa (7/6/2022).
Sri Mulyani mencontohkan, saat Amerika Serikat menaikkan suku bunga acuan sampai dengan 20 persen pada 1980, maka Brasil, Argentina dan Meksiko mengalami krisis keuangan.
"Ketika interest rate naik, emerging seperti Brasil, Meksiko dan Argentina krisis keuangan," jelasnya.
Hal yang sama juga terjadi lagi ketika tahun 1990 di mana suku bunga naik menjadi 9,75 persen. Selanjutnya, pada 2007 suku bunga acuan negara Paman Sam juga naik sampai 5,25 persen bersamaan dengan krisis keuangan global.
Menkeu menegakkan, sekarang Indonesia harus hati-hati dengan tren suku bunga naik, potensi krisis keuangan di berbagai dunia mungkin akan terjadi.
"Situasi itu tidak berdiri sendiri dan akibat policy di dalam negeri, ketahanan dan global yang makin menekan," pungkas Menkeu.
Advertisement