Liputan6.com, Jakarta Pemerintah mendorong penggunaan gas bumi untuk menunjang transisi ke Energi Baru Terbarukan (EBT) guna mengejar target penurunan emisi sebesar 1.526 juta ton CO2 pada tahun 2060.
Dirjen Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan, gas bumi kedepan akan dimanfaatkan sebagai energi transisi sebelum EBT 100 persen dan pemenuhan energi domestik untuk bahan bakar pembangkit, transportasi, industri, serta rumah tangga. Namun akan diimbangi dengan adanya berbagai energi baru terbarukan yang lebih bersih dan ramah lingkungan.
Baca Juga
“Di sini jargas akan diperluas ke depan, diharapkan sudah ada skema pendanaan jargas KPBU dan swasta sehingga target 1 juta jargas per tahun bisa disetujui oleh Kemenkeu,” kata Tutuka, di Jakarta, Sabtu (11/6/2022).
Advertisement
Selain jargas, BBG juga akan ditingkatkan di mana Semarang akan dijadikan sebagai percontohan. Apabila dapat menjadi contoh yang menarik, maka akan dilakukan di wilayah-wilayah lain.
“Hal yang perlu kita lakukan untuk bisa melayani masyarakat dan mudah diakses adalah pengembangan infrastruktur. Di Indonesia Timur akan banyak pengembangan infrastruktur seperti FSRU untuk LNG dan konversi BBM ke gas pada pembangkit listrik, juga pembangunan Pipa Cisem akan dimulai dari Semarang ke Batang,” jelas Tutuka.
Menurut Tutuka, Kementerian ESDM menargetkan dapat meningkatkan produksi gas bumi sebesar 12 bscfd pada tahun 2030.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Utilisasi Gas Bumi
Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN, Achmad Muchtasyar menyatakan, Subholding Gas Pertamina berkomitmen dalam utilisasi gas bumi yang berkelanjutan. Khususnya berkontribusi pada roadmap pemerintah terkait transisi energi
“Gas bumi di masa transisi kedepannya tidak hanya dimanfaatkan sebagai bahan bakar sehingga akan jauh lebih sustain. Oleh karena itu, PGN melakukan pengembangan infrastruktur seperti gasifikasi di pembangkit listrik PLN sesuai Kepmen ESDM No 2/2022, kilang atau refinery, dan kawasan industri sehingga akan berampak positif bagi perekonomian nasional secara makro,” ujar Achmad.
Dia berharap, Subholding Gas Pertamina bisa menjadi pengelola gas terintegrasi kedepannya. Maka PGN akan fokus mengoptimasi stranded gas, beyond pipeline baik LNG maupun CNG, LNG trading, dan mini liquefaction sebagai bentuk infrastruktur yang terintegrasi.
“Pembangunan infrastruktur gas bumi PGN mendapatkan dukungan besar dari pemerintah. Berdasarkan dukungan tersebut, gas bumi memiliki peran penting di masa transisi sampai dengan tahun 2050 sebagai salah satu cadangan penyangga energi nasional. Hal itu bisa mendorong pertumbuhan pengelolaan niaga Subholding Gas Group,” tutup Achmad.
Advertisement
Investasi Proyek Gas Bumi Topang Transisi Energi Indonesia
Sebelumnya, energi fosil seperti minyak dan gas bumi (migas) dinilai masih memiliki peran penting di dunia. Meski saat ini transisi energi merupakan hal yang tak bisa dielakkan.
Keberadaan migas masih penting sebelum energi baru dan terbarukan sebagai sumber energi yang lebih bersih dapat tersedia dan diakses dengan baik semua orang.
Pemerintah Indonesia pun saat ini tengah gencar memperluas investasi proyek gas bumi dengan mengintegrasikan pasar-pasar di wilayah Asia, Amerika dan Eropa.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji beberapa waktu yang lalu menegaskan pentingnya gas bumi sebagai sumber energi di masa transisi energi.
Transisi energi harus dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan daya saing, biaya, ketersediaan, dan keberlanjutan untuk memastikan transisi berjalan lancar serta ketahanan energi tetap terjaga.
Netralitas karbon sesuai tuntutan global juga diharapkan dapat tercapai dengan peningkatan peranan gas bumi.
Menurut Tutuka, investasi proyek gas bumi perlu ditingkatkan secara global dengan cara mendorong penggunaan gas bumi yang lebih besar lagi.
Untuk diketahui, Rencana Umum Energi Nasional sebagaimana diatur dalam Perpres No 22/2017 memproyeksikan porsi energi fosil dalam bauran energi Indonesia pada 2050 mendatang sekitar 68,80 persen.
Saat ini, porsi energi fosil dalam bauran energi masih sekitar 89 persen, yang terdistribusi atas: batubara 38 persen, minyak bumi 32 persen, dan gas bumi 19 persen.
Peran Penting Gas Bumi
Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, dalam strategi transisi energi nasional peranan gas bumi menjadi salah satu yang terpenting dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi.
Gas bumi dianggap memiliki peran yang terpenting karena jenis sumber energi ini memiliki intensitas karbon yang lebih rendah daripada minyak dan batubara sehingga cenderung lebih bersih.
Namun, sebagai salah satu negara penghasil migas di dunia Indonesia hendaknya tidak gegabah dalam menyusun strategi transisi energi.
Pasalnya, kebutuhan energi nasional saat ini masih sangat tinggi dan bahkan menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pada 2045 PDB Indonesia akan mencapai USD 29 ribu per kapita per tahun. Artinya, Indonesia akan masuk dalam kategori negara maju karena berada dalam lima besar PDB di dunia.
Oleh karena itu, strategi yang dapat dilakukan saat ini adalah tetap melakukan eksplorasi energi fosil yang ada namun dengan menggunakan teknologi CCUS dan CCS.
Komitmen internasional yang ada tentang transisi energi seyogyanya tidak lantas meniadakan migas tetapi tetap berusaha mengurangi emisi karbon. Alhasil, kebutuhan energi nasional tetap dapat terpenuhi.
Satya menjelaskan bahwa hal yang perlu ditekankan dalam transisi energi adalah mencari keseimbangan yang tepat agar produksi migas bisa berjalan dan emisi karbon bisa dikurangi sesuai dengan target pemerintah.
Jika aktivitas produksi migas dapat dibarengi dengan penerapan teknologi yang mengurangi intensitas emisi Karbon dan masyarakat sebagai pengguna bahan bakar fosil memiliki kesadaran seperti menanam pohon atau berperilaku hemat energi maka keseimbangan yang diharapkan pun dapat tercapai.
Dalam konteks pengembangan gas bumi, Satya mengingatkan pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan sehingga suplai gas bumi dari produsen kepada konsumen di dalam negeri bisa terserap secara maksimal.
Jika minim infrastuktur, diperkirakan akan terjadi kelebihan pasokan gas bumi dan kemudian memilih untuk diekspor. Kondisi tersebut dianggap tidak memberikan manfaat terhadap kebutuhan energi nasional.
Advertisement