Liputan6.com, Jakarta Lembaga internasional, seperti World Bank dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menurunkan angka proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2022.
World Bank menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,9 persen, dan OECD menurunkan proyeksi menjadi sebesar 3 persen.
Baca Juga
“Mengikuti IMF, baik bank dunia maupun OECD baru-baru ini baru saja mengubah Outlook Pertumbuhan global sangat signifikan,” kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti, dalam acara side event G20 "International Best Practices and Lessons Learnt on LIBOR Transition in Developing A Robust and Credible Reference Rate", Senin (13/6/2022).
Advertisement
Disisi lain dia menjelaskan, penurunan tersebut dipengaruhi oleh volatilitas pasar yang meningkat akibat tingginya gejolak global sehingga menjadi perhatian utama. Dimana terjadi gangguan rantai pasokan global yang terus berlanjut.
Disamping itu, juga terjadi kenaikan harga komoditas yang telah mendorong tekanan inflasi secara global. Semua tantangan tersebut tercermin dalam dinamika Pasar Keuangan Global, yang akhirnya berdampak pada Pasar keuangan dalam negeri.
“Pemulihan ekonomi global tetap berlanjut tetapi lebih lemah dari yang diperkirakan sebelumnya, akibat ketegangan geopolitik, inflasi yang meningkat, dan normalisasi kebijakan moneter yang lebih cepat di berbagai negara,” jelasnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pertumbuhan Ekonomi RI
Kendati begitu, Destry mengatakan pertumbuhan perekonomian Indonesia masih positif apabila melihat beberapa perbaikan indikator ekonomi yang terus berlanjut, serta diikuti dengan permintaan domestik yang lebih kuat.
“Neraca pembayaran kita tetap solid sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal dan ke depan, nilai rupiah diperkirakan akan tetap stabil sejalan dengan kuatnya fundamental ekonomi Indonesia, terutama karena defisit transaksi berjalan yang lebih rendah dan menopang pasokan valas dari sektor korporasi,” katanya.
Oleh karena itu, Bank Indonesia akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi rupiah seiring dengan mekanisme pasar, dan fundamental ekonomi, sebagai bagian dari bauran kebijakan bank sentral.
Adapun guna mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional, BI juga konsisten menerapkan kebijakan moneter yang pro-stabilitas yang akan dilakukan secara hati-hati agar tidak mengganggu proses pemulihan ekonomi.
“Selanjutnya, BI akan selalu berkoordinasi dengan otoritas lain untuk menciptakan sinergi antara kebijakan bank sentral, kebijakan fiskal, dan reformasi struktural,untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif serta kondisi makro ekonomi dan sistem keuangan yang stabil,” pungkas Destry.
Advertisement
Kenaikan Suku Bunga AS Picu Resesi, Pertumbuhan Ekonomi RI Terancam Mandek?
Sebelunya, Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira, menilai rencana kenaikan tingkat suku bunga acuan Amerika Serikat atau Fed rate yang eksesif bahkan bisa 3 sampai 4 kali kenaikannya di Tahun 2022 ini, bisa memicu terjadinya Resesi ekonomi.
“Karena terjadi kenaikan biaya bunga atau cost of fund bagi pelaku usaha khususnya pelaku usaha yang memiliki rasio utang yang cukup tinggi mereka akan kesulitan membayar pinjaman,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Sabtu (11/6/2022).
Sementara tidak semua permintaan mengalami kenaikan atau belum semua permintaan mengalami kenaikan kembali kepada pra pandemi. Jadi, ada disrupsi rantai pasok, sebelumnya juga sudah terjadi konflik di Ukraina membuat harga pangan naik, harga energi naik, dan akhirnya menjadi beban bagi pemulihan ekonomi dihampir seluruh negara.
Menurut Bhima, kenaikan suku bunga AS yang berlebihan juga akan memicu larinya modal asing secara masif terutama kembali ke aset-aset yang dinilai aman. Sehingga mereka akan mengurangi investasi di negara-negara berkembang atau negara emerging market.
“Nah, situasi ini bisa berdampak pemulihan ekonomi Indonesia yang ditargetkan tumbuh 5 persen bisa terkoreksi bahkan bisa kembali minus. Kita harus mempersiapkan dari gelombang adanya instabilitas moneter secara global,” ujarnya.
Pemerintah Perlu Bersiap
Hal pertama yang perlu dipersiapkan Pemerintah Indonesia adalah bagaimana pemerintah all out, dengan berbagai cara menjaga agar fiskal ini bisa menjadi bantalan, yakni dengan menggelontorkan subsidi energi secara masif, menambah alokasi subsidi energi, subsidi pangan bahkan juga bantuan untuk pupuk kepada para petani.
“Sehingga baik inflasi energi maupun inflasi dari pangan bisa terjaga sampai akhir tahun, sampai pemulihan daya beli masyarakat Indonesia pulih seperti pra pandemi,” ujarnya.
Kedua, Pemerintah Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor Karena transmisi dari Resesi ekonomi di Amerika Serikat akan menjalar ke nilai tukar, dan akan membuat barang-barang impor terutama impor pangan akan menjadi lebih mahal.
“Jadi ini adalah kesempatan untuk mendorong produktivitas pangan di dalam negeri sehingga ketergantungan terhadap impor nya bisa ditekan,” pungkasnya.
Advertisement