Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan tarif listrik setelah melakukan penundaan sekian lama. Kali ini, tarif listrik yang dinaikkan adalah bagi pelanggan dengan daya 3.500 Volt Ampere (VA) ke atas yang diklaim merupakan pelanggan kaya.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menjelaskan, kenaikan tarif listrik ini untuk pelanggan rumah tangga dan pemerintah.
Baca Juga
Sementara untuk pelanggan rumah tangga dengan daya di bawah 3.500 VA, bisnis dan industri, tidak mengalami perubahan tarif.
Advertisement
"Kenaikan tarif listrik berlaku per 1 Juli 2022 jadi sekarang masih berlaku tarif lama," jelas Rida dalam konferensi pers pada Senin 13 Juni 2022.
Kenaikan tarif listrik ini sebenarnya bukan mendadak. Beberapa menteri sudah memberikan sinyal bahwa tarif listrik naik untuk golongan pelanggan mampu bakal naik. Sebelumnya Menteri ESDM Arifin Tasrif pada tengah Mei 2022 sudah mengisyaratkan tarif listrik bakal naik khusus pelanggan 3.000 VA ke atas.
Hal yang sama juga diungkap oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada 19 Mei 2022. Sri Mulyani menjelaskan, kebijakan ini dilakukan dalam upaya berbagi beban pemerintah dengan masyarakat kelompok mampu. Sehingga beban kenaikan harga listrik tidak hanya untuk pemerintah.
Rida Mulyana menjelaskan, tarif listrik naik mengacu pada kondisi makro ekonomi seperti nilai tukar rupiah, harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP), inflasi dan harga batu bara.
Telah terjadi kenaikan beberapa indikator tersebut sejak tahun lalu yang kemudian mempengaruhi kenaikan harga listrik. Oleh karena itu, pemerintah harus menaikkan tarif listrik.
Dari berbagai komponen, faktor yang paling berpengaruh adalah ICP yang masih di kisaran USD 100 per barel, sementara dalam APBN 2022 hanya dipatok di angka USD 63 per barel. Selisih kurang lebih USD 40 per barel tersebut yang harus ditanggung oleh pemerintah.
Penghematan APBN
Penyesuaian tenaga listrik atau Tariff Adjustment di kuartal III 2022 ini akan menghemat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 3,09 triliun.
Angka ini setara dengan 4,7 persen dari total dana kompensasi pemerintah yang harus dibayarkan kepada PT PLN (Persero) sebagai penyalur listrik.
"Kita juga hitung kira-kira burden yang bisa berkurang terhadap APBN kurang lebih Rp 3,1 triliun," sambung Rida.
Penerapan kebijakan penyesuaian tarif listrik tersebut akan menyumbang inflasi sebesar 0,019 persen. Hal ini berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan.
"Sudah dihitung BKF Kementerian Keuangan dampaknya terhadap inflasi hanya 0,019 persen. Jadi, ya hampir tidak terasa. Penyesuaian tarif masih berkontribusi dalam menjaga daya beli masyarakat," jelasnya.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, selama ini bantuan listrik dari pemerintah diberikan untuk semua golongan tarif pelanggan, dalam bentuk subsidi maupun kompensasi.
Penyesuaian tarif ini dilakukan guna mewujudkan tarif listrik yang berkeadilan di mana kompensasi diberikan kepada masyarakat yang berhak, sementara masyarakat mampu membayar tarif listrik sesuai keekonomian.
"Penerapan kompensasi dikembalikan pada filosofi bantuan pemerintah, yaitu ditujukan bagi keluarga tidak mampu. Ini bukan kenaikan tarif. Ini adalah adjustment, di mana bantuan atau kompensasi harus diterima oleh keluarga yang memang berhak menerimanya," kata Darmawan.
Dia mengungkapkan, sejak tahun 2017, tidak pernah ada kenaikan tarif listrik untuk seluruh golongan tarif pelanggan.
Untuk menjaga tidak ada kenaikan tarif listrik, pemerintah telah menggelontorkan subsidi listrik sebesar Rp 243,3 triliun dan kompensasi sebesar Rp 94,17 triliun sejak tahun 2017 hingga 2021.
Besaran Kenaikan
Darmawan Prasodjo memastikan, kenaikan tarif listrik yang akan diberlakukan per 1 Juli 2022 hanya akan menyasar kelompok rumah tangga di atas 3.500 VA dan pemerintahan.
Kenaikan tarif listrik 3.500 VA ke atas ini merupakan penyesuaian terhadap penyaluran subsidi listrik. Ia mengklaim kini penyalurannya lebih terarah dari sebelumnya.
Faktor lainnya, adanya kenaikan harga minyak global yang turut mempengaruhi biaya pokok produksi listrik. Serta, mempertimbangkan beban di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan adanya kenaikan ini beban APBN jadi lebih ringan.
"Kalau ada bantuan dari pemerintah harus tepat sasaran yaitu yang berhak menerima bantuan tersebut. Ada porsi kompensasi yang diterima kurang tepat sasaran oleh yang ekonomi tingkat atas, yakni ekonomi mampu dengan daya teepasang 3.500-5.500 VA dan 6.600 VA ke atas," katanya.
Adapun, golongan rumah tangga yang dimaksud adalah dengan kode R2 dam R3. Serta, pemerintah dengan kode P1, P2, dan P3. Selain golongan ini, tarif listrik tidak mengalami kenaikan.
Rinciannya, dengan adanya penyesuaian tarif, pelanggan rumah tangga R2 berdaya 3.500 VA hingga 5.500 VA (1,7 juta pelanggan) dan R3 dengan daya 6.600 VA ke atas (316 ribu pelanggan) tarifnya disesuaikan dari Rp 1.444,7 per kilowatthour (kWh) menjadi Rp 1.699,53 per kWh.
Sedangkan pelanggan pemerintah P1 dengan daya 6.600 VA hingga 200 kilovolt ampere (kVA) dan P3 tarifnya disesuaikan dari Rp 1.444,7 kWh menjadi Rp 1.699,53 per kWh. Sementara pelanggan pemerintah P2 dengan daya di atas 200 kVA tarifnya disesuaikan dari Rp 1.114,74 kWh menjadi Rp 1.522,88 kWh.
"Dengan daya di bawah 3.500 VA keluarga ekonomi yang membutuhkan sekitar 74,2 juta pelanggan tidak mengalami perubahan (tarif listrik) dan tetap terus mendapatkan dukungan bantuan dari pemerintah dalam rangka menjaga daya belu dan mengendalikan laju inflasi," kata Darmo, sapaan akrabnya.
Lebih lanjut, Darmo menuturkan penyesuaian tarif ini juga hanya berdampak pada sekitar 2,5 persen dari total pelanggan PLN. Atau berjumlah 2,09 juta pelanggan dari total pelanggan PLN yang mencapai 83,1 juta.
Penyesuaian tarif juga berlaku kepada golongan pemerintah yang berjumlah 373 ribu pelanggan atau 0,5 persen. Pada golongan ini, disebut tak berdampak pada daya beli masyarakat.
"Kami tekankan kembali bagaimana tarif listrik untuk industri dan bisnis tidak ada perubahan, bagi tarif industri dan bisnis dalam skala daya apapun yang terpasang. Agar ekonomi nasional yamh ditopang bisnis industri tetap terus berjalan dengan sangat kokoh," terangnya.
Secara teknis, bagi pelanggan pascabayar perubahan tarif listrik ini akan diperhitungkan mulai rekening listrik bulan Agustus 2022.
Sedangkan bagi pelanggan listrik prabayar, penyesuaian diberlakukan saat melakukan transaksi pembelian token listrik mulai 1 Juli 2022.
Bisa Minta Turun Daya
Darmawan menambahkan, pelanggan PLN bisa melakukan perubahan daya terpasang jika keberatan dengan kenaikan tarif listrik. Namun penurunan daya tersebut ada syaratnya yaitu jangan sampai menimbulkan dampak teknis kedepannya. Artinya, penurunan daya yang dilakukan oleh pelanggan tidak menimbulkan masalah baru, misalnya tidak tahannya beban daya.
"Pindah daya silakan, karena itu hak masyarakat untuk menentukan daya yang terpasang, menyesuaikan dengan melakukan adjustment dengan konsumsi listrik ke masyarakat tersebut," kata dia.
Darmawan menyebut penyesuaian kembali harga ini telah mempertimbangkan kemampuan golongan masyarakat tersebut. Di kelompok ekonomi mapan ini, Darmawan menilai tiap rumah atau bahkan kamarnya telah memiliki pendingin udara atau AC.
Dengan begitu, jika memutuskan untuk turun daya, ia mengingatkan untuk mempertimbangkan beban listrik tersebut. Sehingga bisa menyesuaikan dengan daya yang diambil.
"Jangan sampai pindah daya dipaksakan dan jadi masalah teknis sendiri," katanya.
Advertisement
Keputusan Tepat
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai jika dilihat dari kenaikan indeks keyakinan konsumen, memang para kelompok pengeluaran teratas yang relatif lebih siap menghadapi kenaikan biaya termasuk tarif listrik. Sehingga kenaikan tarif listrik pelanggan rumah tangga 3.500 VA ini tidak akan berdampak besar pada daya beli dan pemulihan ekonomi.
"Dampaknya ke inflasi juga relatif kecil ya dengan adanya kenaikan tarif listrik untuk kelompok menengah ke atas ini," kata Bhima.
Bhima pun menilai, dengan menjaga tarif listrik para pelanggan menengah ke bawah atau kelompok 450 VA sampai 2.200 VA merupakan langkah yang tepat diambil pemerintah. Sebab, jika kelompok ini terdampak maka akan berpengaruh besar pada inflasi dan daya beli.
"Untuk menahan tarif listrik untuk kelompok rumah tanggah menengah ke bawah ini sudah tepat sekali. Hal ini perlu dilakukan untuk bisa menjaga daya beli masyarakat dan menjaga pemulihan ekonomi pasca pandemi," tambah Bhima.
Bhima mencatat, meski yang mengalami kenaikan tarif listrik adalah kelompok 3.500 VA ke atas yang jumlahnya sebesar 2,5 persen dari total pelanggan PLN. Tetapi tetap ada validasi data survei dari PLN dan pemerintah, sehingga kelompok industri skala kecil dan home industri tidak terdampak tarif listrik naik ini.
"Bisa melalui kenaikan tarif yang dilakukan secara bertahap dan dibuat preferensi tarif ke rumah kontrakan dan usaha industri skala kecil sehingga tidak berdampak ke para pekerja dan omzet," ujar Bhima.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno mendukung keputusan pemerintah ini. Eddy menyampaikan, kebijakan kenaikan tarif listrik tersebut diperlukan untuk mengurangi beban pemerintah terkait program subsidi energi dan kompensasi energi sebesar Rp 350 triliun. Menyusul, kenaikan harga sejumlah komoditas energi dunia akibat konflik Rusia dan Ukraina.
"Saya kira kebijakan itu patut untuk dilaksanakan pemerintah. Bagaimana juga subsidi listrik atau energi sudah begitu tinggi, pemerintah sudah tidak mungkin menanggung semuanya itu," ujarnya Eddy.
Eddy menambahkan, kebijakan penyesuaian tarif listrik tersebut hanya ditujukan kepada kelompok ekonomi mampu. Dalam hal ini pelanggan Rumah Tangga berdaya mulai 3.500 VA ke atas.
"Para pelanggan 3.500 VA ke atas itu kalangan mampu yang sudah bisa untuk membayarkan tarif listrik yang disesuaikan. Mereka tidak perlu di subsidi secara penuh," tutupnya.
Perhatikan UMKM
Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, langkah pemerintah ini sangat tepat di saat harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) sangat tinggi, inflasi naik dan kurs mata uang rupiah melemah.
“Jika tidak ini akan menekan keuangan negara dan juga PLN. Melalui penyesuaian pelanggan R3 dan R4 serta pemerintah, maka bisa di hemat Rp 3 triliun karena berkurangnya kompensasi yang dibayarkan,” ujarnya Pengamat energi sekaligus Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, kepada Liputan6.com.
Di sisi lain, Mamit menegaskan, bagi masyarakat juga tidak berdampak signifikan karena pelanggan listrik 3.500 VA ke atas hanya 2,5 persen dari total pelanggan PLN secara keseluruhan.
Apalagi mereka ini golongan masyarakat kelas menengah ke atas maka kenaikan ini tidak akan terlalu berdampak terhadap keuangan mereka.
"Perlu diingat juga, dengan demikian ke depan jika variabel pembentukan harga mengalami penurunan maka pemerintah sudah seharusnya menurunkan tarif setelah dilakukan evaluasi setiap 3 bulan,” jelasnya.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tidak mempermasalahkan Pemerintah menaikkan tarif listrik bagi pelanggan rumah tangga 3.500 volt ampere (VA) ke atas.
Lantaran, tarif listrik 3.500 VA lebih banyak digunakan oleh konsumen menengah ke atas, sehingga potensi gejolak ekonomi kecil.
Hal itu disampaikan Staf Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Rio Priambodo, kepada Liputan6.com.
Di sisi lain, YLKI memiliki catatan untuk Pemerintah, yaitu Pemerintah harus bisa memetakan segmentasi pengguna listrik 3.500 VA antara pribadi atau UMKM.
“Bagi pelanggan 3.500 VA dari UMKM, harus ada treatment khusus dari pemerintah. Baik subsidi maupun potongan harga yang wajar agar kenaikan tarif listrik tidak membuat ongkos produksi naik,” kata Rio.
Selain itu, YLKI juga berpesan agar kenaikan harga listrik harus diimbangi oleh pelayanan yang sesuai. Agar konsumen mendapat benefit sesuai apa yang dibayarkan.
Advertisement
Buruh Menolak
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan sikapnya menolak kenaikan tarif listrik bagi golongan 3.500 VA ke atas. Ia mengaku kalangan buruh juga ada yang mengambil daya sebesar itu.
Iqbal menyebut kenaikan tarif listrik akan membebani keuangan masyarakat. Terlepas dari masyarakat itu golongan atas atau golongan basah.
"Listrik itu jadi kebutuhan primer, kelas menengah atau tidak tetap butuh listrik. Dengan demikian setiap upah baik kelas menengah atau bukan pasti akan dialokasikan untuk biaya listrik," katanya kepada Liputan6.com, Selasa (14/6/2022).
"Kami tetap menolak kenaikan walaupun argumentasinya untuk pengguna kelas atas atau apapun, dan buruh juga ada pelanggan di 3.500 VA, berat dong dia. Dengan demikian kenaikan (tarif listrik) akan berimbas kemana-mana, bukan bicara kelas," paparnya.
Argumentasinya ini berdasar pada kebijakan pemerintah melalui PP Nomor 36 Tahun 2021. Ia menyebut, dengan ketentuan itu, berarti upah masyarakat tidak bertambah dalam kurun waktu tiga tahun.
Artinya, dengan upah yang tetap, sementara masyarakat dihadapkan dengan beban kenaikan tarif listrik. Maka, ia menyimpulkan itu bisa menjadi beban tambahan bagi masyarakat.
"Daya beli buruh itu turun 30 persen, ditengah upah yang tidak naik masa listrik dinaikkan, kayak kompeni dong, apa-apa kalau kekurangan biaya, naik pajak, listrik kan substitusi dari pajak," katanya.
"Partai Buruh menolak kenaikan listrik dengan argumentasi apapun. Toh kalau pakai di atas itu pasti biayanya akan naik karena beban listriknya besar," tambahnya.