Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Hadi Poernomo mendapat gelar MURI atas langkahnya melakukan dua kali uji publik Disertasi yang diikuti sebanyak 1.500 peserta, sebelum sidang terbuka dilakukan.
Bukan hanya Hadi Poernomo saja, Universitas Pelita Harapan (UPH) tempatnya melakukan uji disertasi dan mendapatkan gelar Doktor Hukum, juga dianugerasi MURI atas penyelenggara dua kali uji publik Disertasi yang diikuti sebanyak 1.500 peserta, sebelum sidang terbuka dilakukan.
Baca Juga
Uji publik ini menguji dari sisi feasebility dan kemanfaatan di masyarakat atas novelty (kebaruan) pemikiran ilmu pengetahuan dalam sebuah disertasi. Hal tersebut sejalan dengan yang tertulis dalam penelitian bahwa sebuah penelitian memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Advertisement
Pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI), Jaya Suprana mengatakan, ini adalah peristiwa akademis yang sangat layak untuk dihormati dan dikenang. Karena ini adalah sifat keterbukaan dunia akademis, tidak lagi menutup diri, tapi membuka dirinya seperti kata Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyebutkan adanya pendidikan tinggi merdeka.
"Ini adalah hal yang harus dihormati. Dan, setahu kami, sejauh kami melakukan penelitian-penelitian soal rekor ini di Harvard dan lain-lain, ya belum ada. Tapi, kalau ada yang mau menyanggah silahkan kita terbuka juga, kalau ada mungkin siapa tahu di Universitas apa mungkin sudah ada, tapi silahkan harus disertai bukti," kata Jaya, di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Rabu (15/6/2022).
Sementara itu, Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Hadi Poernomo diketahui meraih gelar doktor dari Universitas Pelita Harapan (UPH) dengan predikat summa cumlaude atau IPK 4.00.
Disertasi Hadi Poernomo yang berjudul “Eksistensi SIN Dalam Bank Data Perpajakan Sebagai Upaya Hukum Pencegahan Tindak Pidana Korupsi” mengungkapkan sebuah metode link and match dalam pencegahan tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan bank data perpajakan berbentuk Single Identity Number (SIN) Pajak.
SIN Pajak yang digaungkan oleh Hadi Poernomo tidak hanya dipandang menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai penerimaan Pajak yang optimal namun juga mampu menjadi sebuah cara pencegahan tindak pidana korupsi.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Isi Disertasi
Disertasi Hadi Poernomo tersebut bak kepingan terakhir dari strategi Pemerintah. Menteri Keuangan, pada Rapimnas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2022 yang dihadiri oleh seluruh staf ahli Menteri Keuangan di bidang Pajak, staf khusus bidang komunikasi strategis, dan para pejabat di DJP pada tanggal 30 Mei 2022, mengungkapkan bahwa tax ratio Indonesia sangat tertinggal dari negara tetangga, untuk itu perlu adanya upaya uji kepatuhan dengan adanya aliran data dan informasi dari Automatic Exchange Of Information (AEOI), Tax Amnesty serta data pihak ketiga atau Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lain (ILAP).
Untuk itulah urgensi SIN Pajak sebagai alat uji kepatuhan dengan aliran data baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun dari pihak ketiga.
Kebutuhan nomor tunggal sebagai alat penyatu data dalam metode link and match sebenarnya telah disadari oleh Pemerintah dengan mengusulkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengamanatkan nomor tunggal antara Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Namun harus disadari bahwa penyatuan NPWP dan NIK saja tidaklah cukup. Terdapat beberapa kelemahan dengan hanya menyatukan NPWP dan NIK berkaitan dengan adanya sifat rahasia data Pajak dan kaitannya dengan wali data yang seharusnya berada pada DJP sebagai PENERIMA KEWENANGAN ATRIBUTIF. Belum lagi masalah kecukupan data sesuai keinginan pemerintah untuk meneliti uji kepatuhan aliran data pihak ketiga yang bahkan tidak ada dalam database NIK yang akan digabungkan dengan NPWP.
Namun berdasarkan penelitian dalam disertasi Hadi Poernomo yang mungkin membuat banyak pihak baru menyadari bahwa konsep penyatuan data dengan nomor tunggal ternyata telah mulai dibentuk sejak 2001 dengan UU Nomor 19 Tahun 2001 sebagai tonggaknya. Dan ternyata sistem SIN Pajak tersebut telah dilakukan piloting sejak tahun 2001.
Piloting yang didasari dengan MoU tersebut berhasil menaikkan tax ratio tahun 2005 sesuai idaman Pemerintah sampai dengan 12,7 persen. Padahal kondisi saat itu perekonomian Indonesia masih dalam posisi pemulihan ekonomi karena adanya krisis moneter 1998.
Puncaknya piloting SIN Pajak kemudian dipayungi dalam Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007. Bahkan, substansi dalam Pasal 35A tersebut jauh lebih lengkap jika dibandingkan UU HPP yang hanya menyatukan data antara NPWP dan NIK. Tidak hanya dari sisi sumber datanya yang lebih lengkap karena menjangkau data pihak ketiga, Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007 juga memberikan pengaturan yang jauh lebih lengkap sebagai upaya terbentuknya SIN Pajak melalui Bank Data Perpajakan.
Advertisement
Amanat UU
Proyek SIN Pajak yang telah menjadi amanat dari rakyat dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 tersebut kemudian malah mati suri dan tidak berjalan. Bahkan Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi peraturan pelaksanaan baru lahir 5 tahun sejak UU lahir melalui PP Nomor 31 Tahun 2012. Ironisnya PP tersebut baru lahir setelah mendapat teguran dari Ketua BPK saat itu yang saat ini menjadi lulusan doktor hukum terbaik UPH, yaitu Hadi Poernomo.
UU Nomor 28 Tahun 2007 tersebut kemudian disempurnakan di era Presiden Joko Widodo dengan lahirnya UU Nomor 9 Tahun 2017 yang memberikan wewenang luar biasa kepada aparat Pajak dengan menghilangkan unsur kerahasiaan yang terdapat pada beberapa undang-undang, seperti UU Perbankan, UU Pasar Modal dan UU yang berada di lembaga Jasa Keuangan (Asuransi, Pegadaian, Koperasi, dll).
Hadi Poernomo mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa substansi aturan pelaksanaan UU tersebut yang tertuang dalam PP dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mencerminkan adanya ketidakkonsistenan.
Hal tersebut menjadi salah satu hambatan utama dalam lahirnya SIN Pajak. Sehingga, jika Pemerintah yang menginginkan adanya uji kepatuhan dengan menggunakan aliran data, sebaiknya Kementerian Keuangan segera berinisiatif untuk melakukan government review sebagaimana saran dari Hadi Poernomo.