Liputan6.com, Jakarta Kinerja ekspor Indonesia pada Mei 2022 turun hingga 21,29 persen (mtm) menjadi USD 21,51 miliar. Turunnya nilai tersebut sebagai akibat kebijakan pelarangan ekspor CPO dan produk turunannya yang berlangsung pada 28 April-23 Mei lalu.
Pembatasan ekspor di tengah booming harga komoditas nyatanya tak hanya dilakukan Indonesia saja. Sejumlah negara juga melakukan restriksi terhadap hasil produksinya seperti Ukraina, Rusia, China hingga India. Hal ini yang kemudian menjadi ancaman krisis pangan dunia.
Baca Juga
"Kebijakan pembatasan ekspor juga dilakukan berbagai negara hingga akhir tahun," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Setianto di Gedung BPS, Jakarta Pusat, Rabu (15/6/2022).
Advertisement
Dia membeberkan Ukraina melarang izin ekspor produk unggas, telur, minyak bunga matahari hingga daging sapi. Kebijakan tersebut berlaku sejak 6 Maret sampai 31 Desember 2022.
"Larangan ini berlaku hingga Desember tahun ini," kata dia.
Hal yang sama juga dilakukan Rusia. Negara yang tengah berkonflik dengan Ukraina ini melarang ekspor gandum, gandum hitam, barkey, jagung, gula dan mesin selama 14 Maret-30 Juni 2022.
Rusia juga melarang ekspor biji bunga matahari dari 1 April-31 Agustus 2022. Sebagai negara eksportir pupuk, Rusia juga tidak mengekspor seja 4 Februari hingga 31 Agustus tahun ini. Begitu juga dengan pupuk nitrogen dilarang ekspor sejak 3 November 2021 hingga 31 Desember 2022.
Â
Larangan Ekspor Pupuk China
Larangan ekspor pupuk juga dilakukan China. Negeri tirai bambu ini melarang ekspor pupuk sejak 24 September 2021 hingga 31 Desember 2022.
Sementara itu, larangan ekspor yang dilakukan India hanya pada komoditas gandum. Kebijakan pelarangan tersebut dimulai pada 13 Mei sampai 31 Desember 2022.
Setianto mengatakan berbagai kebijakan larangan ekspor tersebut akan memengaruhi neraca perdagangan Indonesia. Baik itu kinerja ekspor maupun impor komoditas.
"Ini semua akan memengaruhi neraca perdagangan kita," kata dia mengakhiri.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Harga Pangan Dunia Melonjak, Beras Juga Bakal Lebih Mahal
Tak hanya di Indonesia, harga bahan pangan di sejumlah negara di dunia telah menunjukkan kenaikan dalam beberapa bulan terakhir.
Pengamat industri melihat, harga pangan di sebagian besar negara Asia, salah satunya nasi, bisa ikut naik.
Sejumlah faktor, termasuk kenaikan biaya pupuk dan energi tahun lalu serta perang Rusia-Ukraina mendorong naiknya harga banyak makanan, mulai dari gandum dan biji-bijian lainnya hingga daging dan minyak goreng.
Di tambah lagi, beberapa waktu lalu terjadi larangan ekspor makanan atau gangguan serius termasuk dari India (gandum), Ukraina (gandum, oat dan gula, antara lain) dan Indonesia (minyak sawit).
Dilansir dari CNBC International, Senin (13/6/2022) indeks Harga Pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) sudah menunjukkan harga beras internasional merangkak naik untuk bulan kelima berturut-turut, dan mencapai level tertinggi dalam 12 bulan, menurut data terbaru pada bulan Mei 2022.
Yang pasti, para ahli menyebut, produksi beras masih melimpah.
Indeks harga pangan PBB juga menunjukkan harga pangan sekarang 75 persen di atas tingkat pra-pandemi, kata Frederique Carrier, direktur pelaksana dan kepala strategi investasi untuk RBC Wealth Management.
"Kekurangan tenaga kerja terkait pandemi dan invasi Rusia di Ukraina telah memperburuk situasi dengan membatasi pasokan makanan dan mendorong harga energi lebih jauh lagi," tulisnya dalam laporan bulan Juni 2022.
Â
Selanjutnya
Kepala ekonom di bank Jepang Nomura, Sonal Varma juga mengatakan, kenaikan harga gandum dan biaya pertanian yang umumnya lebih tinggi, akan membuat harga beras layak untuk dipantau.
"Kita perlu memantau harga beras ke depan, karena kenaikan harga gandum dapat menyebabkan beberapa substitusi terhadap beras, meningkatkan permintaan dan menurunkan stok yang ada"Â kata Sonal Varma.
Langkah-langkah proteksionis “sebenarnya memperburuk tekanan harga di tingkat global karena berbagai alasan," ungkapnya kepada 'Street Signs Asia' CNBC.
Sonal Varma menambahkan, biaya pakan dan pupuk untuk pertanian juga sudah meningkat, dan harga energi menambah biaya pengiriman.
"Jadi ada risiko bahwa kita melihat lebih banyak proteksionisme dari negara-negara," sebutnya.
Namun demikian, dia menyatakan bahwa risiko terhadap ketersediaan beras masih rendah karena persediaan beras global cukup dan panen di India diperkirakan akan berlangsung baik pada musim panas ini.
Advertisement