Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melarang ekspor batu bara pada Januari 2022. Namun pelarangan tersebut hanya selama satu bulan saja. Langkah pemerintah melarang ekspor batu bara ini tidak berkaitan dengan menurunkan emisi karbon sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Paris.
Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal 1A Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Luthfi Fuady mengatakan, pemerintah lemarang ekspor batu bara untuk menjaga ketersediaan di dalam negeri. Untuk diketahui, sebagian besar pembangkit listrik yang digunakan oleh PT PLN (Persero) berbahan bakar baru bara.Â
Sedangkan dalam usaha menekan emisi karbon, pemerintah lewat Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mempunyai peta jalan menuju energi hijau dan lepas dari batu bara.
Advertisement
"Larangan batu bara tersebut untuk menjaga ketersediaan bahan bakar PLTU untuk PLN. Dirjen Ketenagalistrikan sudah membuat rancangan yang memuat pengurangan batu bara secara bertahap," kata Luthfi dalam Webinar Investasi Berkelanjutan dan Perdagangan Karbon: Peluang dan Tantangan, Jakarta, Senin (20/6/2022).
Hal senada juga diungkapkan Direktur Pengembangan PT Bursa Efek Indonesia, Hasan Fawzi. Menurutnya larangan sementara batu bara dilakukan pemerintah karena saat itu Indonesia tengah dihadapkan pada kondisi darurat. Sehingga untuk menjaga ketersediaan energi dalam negeri dilakukan pembatasan ekspor batubara.
"Kalau dicermati memang ada kondisi extra ordinary. Ada dinamika supply chain yang terjadi akibat gangguan geopolitik dan recovery yang terlalu cepat," kata Hasan.
Â
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kebutuhan Energi
Dia menjelaskan hingga kini kondisi global masih dalam ketidakpastian yang tinggi. Tak lain salah satunya dipicu oleh geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Eropa melakukan boikot terhadap Rusia yang membuat terjadinya krisis energi.
Di sisi lain terkendalinya pandemi Covid-19 membuat sejumlah negara mulai mengalami pemulihan ekonomi. Namun pemulihan yang terjadi nyatanya lebih cepat dari perkiraan.
Sehingga kebutuhan energi meningkat dalam waktu singkat. Hanya saja hal ini kurang diantisipasi oleh para penyedia energi. Mengingat selama pandemi kebutuhan energi sempat berkurang.
"Dulu kebutuhan energi berkurang. Tapi pas recovery kebutuhannya meningkat cepat, termasuk karena ada kondisi geopolitik global," kata Hasan.
Kondisi ini pun membuat pemerintah akhirnya kembali membuka keran ekspor batu bara. Terlebih harga komoditas juga meningkatkan pesat.
"Negara-negara di Eropa yang berkomitmen dengan masa transisi dari fosil ke yang EBT, ini jadi negara yang panic buyer. Mereka jadi sangat membuka diri dengan energi fosil dari tempat kita dan sebagainya," kata Hasan.
Â
Advertisement
Stabilitas Kebutuhan Energi
Selain untuk menikmati booming harga komoditas, pencabutan larangan ekspor juga untuk menjaga stabilitas kebutuhan energi global. Jika keran ekspor tetap ditutup, maka bisa menciptakan ketidakpastian yang lebih tinggi. Bahkan dampaknya bisa merambah ke berbagai harga komoditas yang langsung terasa di masyarakat.
"Dampaknya akan makin luas ke ekonomi, sosial dan stabilitas sebuah negara," kata dia.
Meski begitu, Hasan meyakini pemerintah akan tetap pada komitmennya dalam menurunkan emisi karbon. Salah satunya dengan pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Mengkonversi penggunaan energi fosil dengan sumber energi yang lebih berkelanjutan.
"Saya yakin arahnya menggantikan fisik dengan yang sifatnya berkelanjutan," kata dia mengakhiri.
Â