Liputan6.com, Jakarta Direktur Pengembangan PT Bursa Efek Indonesia, Hasan Fawzi mengatakan investasi berkelanjutan saat ini sudah bukan lagi menjadi pilihan. Melainkan sebagai keharusan bagi sebuah perusahaan.
"Investasi keberlanjutan bukan lagi pilihan. Tapi keharusan, " kata dalam Webinar Investasi Berkelanjutan dan Perdagangan Karbon: Peluang dan Tantangan, Jakarta, Senin (20/6/2022).
Baca Juga
Hasan menuturkan saat ini bagi pelaku usaha menerapkan risiko perusahaan bukan hanya pada operasi. Tetapi terhadap berbagai kemungkinan kelalaian dan risiko dari dampak perubahan iklim.
Advertisement
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Hasan berharap pemerintah akan mengeluarkan regulasi turunan yang tidak menghasilkan tantangan baru dalam pengurangan emisi karbon.
"Dengan adanya nilai ini, perusahaan yang ikut mengeluarkan karbon akan terdampak secara finansial saat mengeluarkan karbon," kata dia.
Tambahan Perusahaan
Banyaknya emisi karbon yang dikeluarkan akan dihitung sebagai biaya tambahan perusahaan. Sementara itu perusahaan yang menjalankan proyek hijau akan mendapatkan insentif karena telah menyerap emisi karbon.
"Jadi perusahaan yang mengerjakan proyek hijau ini dapat lebih banyak insentif karena ekosistem yang diserap akan dapat insentif," kata dia.
Untuk itu dia menilai Indonesia menjadi negara utama dalam penerapan rumah kaca dunia. Sehingga menjadi bagian penting dengan mengoptimalkan kemampuan negara sebagai pemasok penyerapan karbon. Hal ini bisa mendatangkan banyak sumber pendanaan dari berbagai perusahaan dan negara yang banyak melepaskan emisi.
"Investasi dan perdagangan karbon ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang ada di Bursa Efek Indonesia," kata dia mengakhiri.
Advertisement
Sederet Upaya Pemerintah Demi Kurangi Emisi Karbon, Apa Saja?
Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca serta mengarah pada pembangunan rendah karbon sebagai salah satu strategi menuju ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan.
Komitmen ini dibarengi dengan peningkatan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT), efisiensi energi, penggunaan bahan bakar rendah karbon, serta penggunaan teknologi pembangkit bersih, termasuk melalui pengembangan kendaraan listrik dan kendaraan berbasis biofuel.
Dalam Webinar: The G20 Energy Communique and Leaders’ Declaration yang diselenggarakan oleh Katadata dan International Institute for Sustainable Development, Rabu (8/06), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa pada Juli 2022 Indonesia akan menerapkan cap-trade-tax dan offset untuk pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.
Melalui skema tersebut, pembangkit listrik tenaga batu bara dengan proses yang tidak efisien atau emisi yang lebih tinggi dari batas atas akan dikenakan biaya tambahan.
“Indonesia sedang dalam proses persiapan penerapan instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Instrumen NEK pada dasarnya memberi harga pada emisi karbon yang dihasilkan dari berbagai kegiatan produksi maupun jasa. Penerapan NEK diharapkan dapat mendorong industri untuk lebih sadar lingkungan dan juga mengurangi emisi Gas Rumah Kaca pada batas tertentu. Di sisi lain, instrumen NEK berperan sebagai instrumen pendanaan alternatif untuk mencapai target perubahan iklim Indonesia, baik Nationally Determined Contribution 2030 maupun Net Zero Emission 2060,” jelas Menko Airlangga, Rabu (8/6/2022).
Untuk mendukung NEK, Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres Nomor 98 tahun 2021.
Jadi Dasar
Perpres tersebut menjadi dasar penerapan berbagai instrumen NEK seperti Emission Trading System, Offset Crediting, dan Result Based Payment. Di level teknis, saat ini Pemerintah sedang menyelesaikan peraturan turunan Perpres tersebut.
“Indonesia mencoba membuka inovasi dengan cap-trade-tax di sektor pembangkit tenaga listrik, namun bisa juga menggunakan mekanisme lain yang lebih efisien, efektif dan inovatif. Oleh karena itu, pertukaran informasi dan pengalaman, serta peningkatan kapasitas SDM dan teknologi, menjadi hal utama dalam mewujudkan reformasi Nilai Ekonomi Karbon yang lebih baik,” kata Menko Airlangga.
Pada tahun 2021 Pemerintah telah merintis skema voluntary cap and trade, dan offset crediting, yang melibatkan beberapa produsen listrik baik milik Pemerintah maupun swasta. Selain itu, secara pararel Pemerintah telah bekerja sama dengan berbagai lembaga internasional dalam melakukan penjajakan dan kajian pengembangan kebijakan-kebijakan dan skema perdagangan karbon melalui Internationally Traded Mitigation Outcomes (ITMOs).
“Penggunaan bahan bakar yang lebih bersih dan ramah lingkungan serta pengembangan NEK di pasar dalam negeri maupun internasional ini adalah hal yang sangat penting dan Komunike G20 adalah kesempatan kita untuk menyampaikan kebijakan prioritas yang terkait dengan masyarakat global,” pungkas Menko Airlangga.
Advertisement