Liputan6.com, Jakarta Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global di 2022 bakal terjun bebas, imbas kenaikan inflasi akibat perang Rusia vs Ukraina.
Jika ramalan tersebut turut menimpa Indonesia, pengusaha pun bersiap melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi sejumlah karyawannya.
Baca Juga
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengatakan, bila itu terjadi, pihak pengusaha mau tidak mau pasti akan mengecilkan ongkos produksi dan mengurangi aktivitas ekonomi agar bisa bertahan hidup.
Advertisement
"Mengecilkan aktivitas tentu akan impact-nya banyak. Bisa mengurangi karyawan. Kalau aktivitas kurang kan orangnya harus dikurangin," kata Benny kepada Liputan6.com, Selasa (22/6/2022).
Dia menyatakan, industri di Tanah Air untuk saat ini masih terhitung belum terkena dampak lantaran Bank Indonesia masih menahan suku bunga acuan.
Namun, aksi PHK jadi sesuatu yang tidak bisa ditahan bila situasi berubah. Terlebih pemerintah pun akan menaikan tarif listrik untuk sejumlah golongan per 1 Juli 2022 nanti.
"Ini kalau terjadi ya hukum alamnya begitu. Kan listrik juga mau dinaikin tuh sama pemerintah. Kalau pajak juga naik, tentu akan mengganggu juga pertumbuhan itu," ungkap Benny.
Imbas Kenaikan Harga BBM
Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) ini pun menyoroti indikasi lain, semisal kenaikan harga bahan bakar (BBM) yang pastinya berdampak terhadap ongkos logistik.
"Kalau itu terjadi tentu daya belinya akan turun. Kalau daya beli turun pasti si produsen akan mengurangi produksinya," kata Benny.
Kendati begitu, pihak pengusaha saat ini masih menahan diri untuk tidak melakukan pengurangan karyawan. Mereka lebih memilih untuk meminimalisir dampak kerugian dengan menyetop sejumlah proyek non-prioritas.
"Kita kan selalu pingin survive. Tentu ada cut loss di bidang lain, yang enggak super priority kita tutup dulu," pungkas Benny.
Advertisement
Pertumbuhan Ekonomi Global Terancam Lonjakan Inflasi, Indonesia Aman?
Lembaga internasional, seperti World Bank dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menurunkan angka proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2022.
World Bank menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,9 persen, dan OECD menurunkan proyeksi menjadi sebesar 3 persen.
“Mengikuti IMF, baik bank dunia maupun OECD baru-baru ini baru saja mengubah Outlook Pertumbuhan global sangat signifikan,” kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti, dalam acara side event G20 "International Best Practices and Lessons Learnt on LIBOR Transition in Developing A Robust and Credible Reference Rate", Senin (13/6/2022).
Disisi lain dia menjelaskan, penurunan tersebut dipengaruhi oleh volatilitas pasar yang meningkat akibat tingginya gejolak global sehingga menjadi perhatian utama. Dimana terjadi gangguan rantai pasokan global yang terus berlanjut.
Disamping itu, juga terjadi kenaikan harga komoditas yang telah mendorong tekanan inflasi secara global. Semua tantangan tersebut tercermin dalam dinamika Pasar Keuangan Global, yang akhirnya berdampak pada Pasar keuangan dalam negeri.
“Pemulihan ekonomi global tetap berlanjut tetapi lebih lemah dari yang diperkirakan sebelumnya, akibat ketegangan geopolitik, inflasi yang meningkat, dan normalisasi kebijakan moneter yang lebih cepat di berbagai negara,” jelasnya
Ekonomi Indonesia
Kendati begitu, Destry mengatakan pertumbuhan perekonomian Indonesia masih positif apabila melihat beberapa perbaikan indikator ekonomi yang terus berlanjut, serta diikuti dengan permintaan domestik yang lebih kuat.
“Neraca pembayaran kita tetap solid sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal dan ke depan, nilai rupiah diperkirakan akan tetap stabil sejalan dengan kuatnya fundamental ekonomi Indonesia, terutama karena defisit transaksi berjalan yang lebih rendah dan menopang pasokan valas dari sektor korporasi,” katanya.
Oleh karena itu, Bank Indonesia akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi rupiah seiring dengan mekanisme pasar, dan fundamental ekonomi, sebagai bagian dari bauran kebijakan bank sentral.
Adapun guna mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional, BI juga konsisten menerapkan kebijakan moneter yang pro-stabilitas yang akan dilakukan secara hati-hati agar tidak mengganggu proses pemulihan ekonomi.
“Selanjutnya, BI akan selalu berkoordinasi dengan otoritas lain untuk menciptakan sinergi antara kebijakan bank sentral, kebijakan fiskal, dan reformasi struktural,untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif serta kondisi makro ekonomi dan sistem keuangan yang stabil,” pungkas Destry.
Advertisement