Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan hal yang cukup mengejutkan. Mengutip laporan Bank Dunia dan IMF, kepala negara bilang kondisi perekonomian negara-negara di dunia sedang tidak baik-baik saja.
"Bank Dunia, IMF menyampaikan akan ada kurang lebih 60 negara yang akan ambruk perekonomiannya, yang 40 diperkirakan pasti," kata dia di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (14/6/2022).
Baca Juga
Ancaman resesi mulai mengintai pertumbuhan ekonomi sejumlah negara di dunia memang terus didengungkan beberapa pihak.
Advertisement
Banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari dampak perang Rusia-Ukraina, melonjaknya inflasi global, hingga kenaikan suku bunga The Fed.
Bahkan, Bank Dunia dalam laporan terbarunya pada Juni 2022 memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global, dan memperingatkan banyak negara jika ekonominya akan terkoreksi.
Dilansir dari laman worldbank.org, Rabu (22/6/2022) laporan terbaru Bank Dunia bertajuk Global Economic Prospects memproyeksikan ekonomi global hanya akan tumbuh 2,9 persen tahun ini, lebih kecil dari 5,7 persen pada 2021. Angka tersebut 1,2 poin persentase lebih rendah dari perkiraan pada Januari 2022.
Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan berada di sekitar level 3 persen pada tahun 2023 hingga 2024 mendatang.
Laporan Global Economic Prospects Bank Dunia per Juni 2022 mencatat prediksi yang cukup baik untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia, yaitu sebesar 5,1 persen - lebih tinggi dibandingkan 3,7 persen tahun lalu.
Meski, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih rendah dari prediksi Bank Dunia sebelumnya sebesar 0,1 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi pada 2023 sebesar 5,3 persen dan 2024 sebesar 5,3 persen.
Pemulihan ekonomi Indonesia pada tahun ini didukung harga ekspor komoditas yang lebih tinggi dan konsumsi domestik.
Sementara itu, ada sejumlah negara di Eropa, Asia, Amerika Latin hingga Timur Tengah yang diprediksi akan mengalami penurunan atau kontraksi ekonomi.
Di kawasan Eropa dan Asia Tengah, Rusia diperkirakan akan kontraksi hingga -8,9 persen, Ukraina -45,1 persen, Moldova -0,4 persen, dan Kirgistan -2 persen.
Adapun Belarus, yang diproyeksikan bakal kontraksi -6,5 persen tahun 2022 dan hanya akan tumbuh 1,5 persen di tahun berikutnya.
Penurunan di Rusia juga diramal masih akan terjadi hingga 2023 mendatang sebesar -2 persen, dan tumbuh hanya 2,2 persen di tahun selanjutnya. Sementara Ukraina, 2,1 persen di 2023, namun membaik di 2024 menjadi 5,8 persen.
Secara luas, ekonomi di kawasan Eropa Timur diperkirakan akan melihat kontraksi sebesar -30,6 persen tahun 2022 ini.
Berlanjut di kawasan Asia Selatan, di mana Sri Lanka diperkirakan akan mengalami kontraksi ekonomi 7,8 persen, dan masih akan menurun -3,7 persen di 2023 mendatang.
Selanjutnya ada Maladewa dan Pakistan yang juga diprediksi akan melihat perlambatan ekonomi - masing - masing hanya 7,6 persen dan 4 persen.
Angka tersebut termasuk berbanding jauh, karena ekonomi Maladewa diprediksi tumbuh 31 persen tahun lalu.
Target Pertumbuhan Ekonomi Indonesia versi Pemerintah
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, optimis tahun depan pemulihan ekonomi akan terus berjalan. Hal itu disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, di Gedung DPR, Rabu (8/6/2022).
“Kita tetap optimis bahwa tahun 2023 momentum pemulihan ekonomi akan tetap bisa berjalan. Namun di sisi lain kita juga melihat adanya munculnya risiko baru,” kata Menkeu.
Kisaran angka pertumbuhan ekonomi 2023 sebesar 5,3 persen hingga 5,9 persen yang telah ditetapkan akan menjadi bekal Pemerintah dalam menyusun RAPBN 2023.
“Kami menerima tadi range yang sudah ditetapkan dan ini akan menjadi bekal kami untuk menetapkan titik nanti pada saat menyusun RAPBN 2023,” ujarnya.
Dalam rapat kerja tersebut, Menkeu menyampaikan kepada jajaran Komisi XI DPR RI, bahwa hasil dari pertemuannya dalam forum Islamic Development Bank memang membahas mengenai risiko global yang dirasakan, dan menjadi bahan pembahasan dalam Governor's Roundtable.
“Di mana kita membahas mengenai munculnya resiko terutama dari sisi kenaikan inflasi karena harga-harga energi dan pangan, yang akan menyebabkan pengetatan dari moneter,” ujarnya.
Bendahara negara ini menyampaikan, dalam Governor's Roundtable dibahas mengenai seberapa cepat dan seberapa ketat kebijakan moneter untuk menangani inflasi, yang akan berdampak pada pelemahan dari sisi produksi.
Maka, hal ini akan terus menjadi bahan pembahasan pada level makro policy di semua forum baik forum ekonomi dan keuangan, termasuk pihaknya juga akan membahas dalam pertemuan G20 mendatang.
Berbagai Ancaman ke Indonesia
Ekonom sekaligus Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira, menilai rencana kenaikan tingkat suku bunga acuan Amerika Serikat atau Fed rate yang eksesif bahkan bisa 3 sampai 4 kali kenaikannya di Tahun 2022 ini, bisa memicu terjadinya Resesi ekonomi.
“Karena terjadi kenaikan biaya bunga atau cost of fund bagi pelaku usaha khususnya pelaku usaha yang memiliki rasio utang yang cukup tinggi mereka akan kesulitan membayar pinjaman,” kata Bhima kepada Liputan6.com.
Sementara tidak semua permintaan mengalami kenaikan atau belum semua permintaan mengalami kenaikan kembali kepada pra pandemi.
Jadi, ada disrupsi rantai pasok, sebelumnya juga sudah terjadi konflik di Ukraina membuat harga pangan naik, harga energi naik, dan akhirnya menjadi beban bagi pemulihan ekonomi dihampir seluruh negara.
Menurut Bhima, kenaikan suku bunga AS yang berlebihan juga akan memicu larinya modal asing secara masif terutama kembali ke aset-aset yang dinilai aman. Sehingga mereka akan mengurangi investasi di negara-negara berkembang atau negara emerging market.
“Nah, situasi ini bisa berdampak pemulihan ekonomi Indonesia yang ditargetkan tumbuh 5 persen bisa terkoreksi bahkan bisa kembali minus. Kita harus mempersiapkan dari gelombang adanya instabilitas moneter secara global,” ujarnya.
Antisipasi Bank Indonesia
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mencatat, setidaknya ada tiga tantangan besar yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2022. Pertama, normalisasi kebijakan moneter oleh negara maju.
Kedua, masih terdapat dampak luka memar (scarring effect) akibat pandemi Covid-19 di sektor rill. Dan ketiga berlanjutnya ketegangan politik antara Rusia dan Ukraina.
"Secara global dampaknya terhadap tekanan inflasi begitu kuat, dan ini harus diwaspadai (Indonesia)," jelas Destry.
Untuk itu, Bank Indonesia terus berupaya menjaga momentum pemulihan melalui penguatan sinergi kebijakan nasional. Termasuk didalamnya kebijakan makroprudensial akomodatif.
Selain itu, bank sentral menekankan pentingnya kebijakan otoritas terkait yang well calibrated, well planned, and well communicated.
Hal ini untuk menjawab berbagai tantangan yang masih akan mewarnai pemulihan ekonomi global dan domestik ke depan.
Lebih lanjut, Bank Indonesia berkomitmen melanjutkan bauran kebijakan yang mendukung pemulihan ekonomi nasional, diantaranya melalui kebijakan makroprudensial yang akomodatif dan inovatif bersinergi dengan kebijakan KSSK.
Salah satunya sinergi dalam membangun ekonomi yang inklusif melalui pembiayaan dan gerakan penggunaan produk dalam negeri.
Advertisement
Harapan Pengusaha
Kelompok pengusaha menilai, sektor perdagangan Indonesia relatif masih aman dari bayang-bayang ramalan Bank Dunia (World Bank) soal pelemahan pertumbuhan ekonomi global.
Dengan syarat, Bank Indonesia (BI) masih tetap setia menahan suku bunga acuan di level 3,50 persen. Sehingga rate kredit untuk modal kerja masih belum naik.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno menilai, pertumbuhan ekonomi nasional tentunya bakal ikut terjadi perlambatan bila bank sentral mulai kembali menaikan BI7DRR dan rate kreditnya.
"Sepanjang bunga pinjaman enggak naik, tentu belum melambat. Karena ekonomi dalam negeri cukup besar. Tapi begitu inflasi naik, bunga pasti naik. Kalau bunga naik pasti ada perlambatan," ungkapnya kepada Liputan6.com.
Benny lantas menyoroti langkah bank sentral Amerika Serikat, The Fed yang sudah melakukan normalisasi kebijakan moneter. Menurutnya, peningkatan suku bunga The Fed memang membuat banyak uang berlari ke Negeri Paman Sam.
"Memang kalau mau nahan kita harus naikin bunga. Tapi kalau naikin bunga ya akibatnya ekonomi melambat," imbuh dia.
Menurut dia, aktivitas ekspor/impor di pasar domestik sejauh ini relatif masih aman dari gejolak ekonomi di tingkat global. Situasi kondusif ini masih bisa ditahan selama Bank Indonesia tidak buru-buru menaikan BI-7 Day Reverse Repo Rate.
Pasalnya, pemerintah dalam waktu dekat bakal menaikan tarif listrik. Di sisi lain, harga minyak mentah dunia juga masih bergejolak akibat perang Rusia vs Ukraina. Kondisi ini tentunya bakal turut berimbas pada aktivitas ekspor/impor.
Diyakini Tetap Baik
Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad memandang pertumbuhan ekonomi indonesia akan tetap berlangsung positif dengan angka tinggi. Ini berarti tak terdampak besar dari pelemahan pertumbuhan ekonomi global.
"Saya melihat pertumbuhan ekonomi kita tetap bisa optimis di angka 5 persen," kata dia saat dihubungai Liputan6.com.
Kendati begitu, ia menyampaikan ada syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Caranya dengan memfokuskan kegiatan ekonomi di dalam negeri.
"Syaratnya adalah fokus ke dalam negeri. Pemerintah harus menjaga permintaan domestik yang cukup besar," katanya.
Misalnya, dengan memanfaatkan permintaan dalam negeri. Politisi Partai Gerindra ini pun membandingkan dengan potensi permintaan dengan jumlah 270 juta penduduk.
"Terlebih perekonomian dalam negeri lebih banyak disupport oleh konsumsi dan investasi yang berasal dari domestik," ujarnya.
"Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta orang, nomor 4 besar dunia, Indonesia mempunyai local domestic demand yang sangat besar dalam sebuah ekosistem bisnis," tambah dia.
Di sisi lain, adanya hilirisasi berbagai bahan mentah juga bisa jadi fokus utama. Tujuannya, agar bisa menibgkatkan nilai tambah dari produk tersebut. Dampaknya, lagi-lagi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Indonesia Tak Akan Resesi
Soal pemangkasan sejumlah pertumbuhan ekonomi berbagai negara ini nampaknya harus ditanggapi secara positif, seperti yang dilakukan pengusaha.
Kelompok pengusaha menilai, kegiatan ekspor Indonesia untuk saat ini masih terbilang aman dari ancaman resesi global ditengah prediksi Bank Dunia soal pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini yang tergerus ke angka 2,9 persen.
Meski di sisi lain, konflik Rusia vs Ukraina yang jadi salah satu indikator utama resesi global juga dikhawatirkan bakal mendongkrak harga BBM. Pasalnya, pasar domestik kini masih banyak bergantung terhadap impor BBM, termasuk dari kedua negara tersebut.
Ketua Umum Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat HIPMI, Anggawira, tak memungkiri jika kemerosotan ekonomi dunia pastinya bakal berdampak langsung terhadap perdagangan di pasar global yang sudah saling terkoneksi.
"Apalagi kalau negara besar seperti Rusia, Ukraina yang punya resource khususnya di bidang pangan dan energi menyebabkan juga keseimbangan global terhadap harga komoditas tertentu menjadi berubah. Karena pastinya suplai berkurang, harga melonjak," ujarnya kepada Liputan6.com.
Anggawira juga mencemaskan kebijakan normalisasi moneter yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat, The Fed. Kenaikan suku bunganya dinilai bakal membuat aliran uang kembali lagi berputar di Negeri Paman Sam.
"Tapi kalau saya lihat lagi dari fundamental ekonomi Indonesia, sampai saat ini sih masih cukup baik. Beberapa ekspor komoditas masih bisa menjadi penopang," ungkapnya.
Fakta-Fakta Ekonomi Indonesia
Kuatnya fundamental ekonomi Indonesia dalam menghadapi gejolak ekonomi global ini juga dipastikan oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
"Apakah indonesia masuk resesi? mari kita lihat faktanya dan angka angkanya. Ekonomi indonesia kuartal ini tumbuh 5 persen bahkan diatasnya sedikit. Perkiraan BI kisarannya 4,5 hingga 5,3 persen tahun ini," kata Gubernur Bank Indonesia, Selasa (24/5/2022).
Perry memastikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia positif. Meski demikian, dia tidak menampik ada kenaikan inflasi dalam beberapa waktu terakhir. Kenaikan inflasi bahkan diperkirakan bisa naik di atas 4 persen hingga akhir tahun.
"Memang ada kenaikan inflasi sedikit lebih tinggi dari 4 persen. Namun bisa ditangani, kenapa, karna adanya bantuan dari pemerintah, kemudian peran TPID, dan kebijakan moneter," katanya.
"Ekonomi kita tumbuh, vaksinasi terus dilakukan, mari kita tingkatkan prokes. Sehingga Alhamdulillah ekonomi kita terus membaik. Harga-harga memang naik, namun komitmen pemerintah sangat tinggi menjaga stabilitas harga," tandasnya.
Dari berbagai fakta tersebut, Perry menyimpulkan perekonomian Indonesia sangat kuat jika dibandingkan negara negara yang masuk zona resesi.
Advertisement
Cara Indonesia Hadapi Tantangan Global
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menyampaikan koordinasi yang kuat sangat diperlukan untuk menjawab berbagai tantangan global.
Dia menjelaskan, menurut PBB, saat ini dunia tengah dihadapkan pada tantangan global yang disebut dengan The Perfect Storm, yang terdiri dari tantangan Covid-19, Conflict, Climate Change, Commodity Prices, dan Cost of Living.
Sementara, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 menjadi 2,9 persen dari sebelumnya 4,4 persen sebagai imbas konflik geopolitik dunia. Berbagai faktor tersebut menimbulkan ketidakpastian global.
“Respons cepat dari seluruh pihak dibutuhkan untuk dapat mempertahankan momentum pemulihan ekonomi nasional. Momentum Presidensi G20 Indonesia di tahun 2022 juga akan kita manfaatkan sebaik-baiknya untuk mendorong pemulihan dan transformasi ekonomi,” kata Menko Airlangga, dikutip dari keterangan resminya, Selasa (21/6/2022).
Di tengah ketidakpastian global yang terjadi, indikator sektor eksternal Indonesia masih menunjukkan ketahanan yang solid.
Hal ini tercermin dari tren surplus neraca perdagangan selama 25 bulan berturut-turut, serta rasio utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) berada pada level yang aman.
Kondisi ekonomi yang membaik ini akan membantu menjaga kepercayaan publik dan investor, pada akhirnya dapat mendorong kegiatan perekonomian nasional.
Untuk menjaga stabilitas ekonomi, Pemerintah terus melanjutkan program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN). Untuk PEN, Pemerintah tetap memberi perhatian yang serius terhadap sektor UMKM.
Sebab, pengembangan UMKM merupakan prasyarat utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia karena pada setiap periode krisis, UMKM dapat menyumbang 61 persen terhadap PDB nasional.
Lebih lanjut, Menko Airlangga menjelaskan, peningkatan akses pembiayaan juga menjadi salah satu strategi pengembangan UMKM, yaitu dengan program pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Pembangunan infrastruktur juga merupakan komponen yang vital dalam mendorong pemulihan ekonomi. Oleh karena itu, Pemerintah tetap melanjutkan Program Proyek Strategis Nasional (PSN) pada tahun 2022.