Sukses

BI: Indonesia Tak Perlu Buru-Buru Naikkan Suku Bunga Acuan

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai Indonesia tak perlu terburu-buru untuk meningkatkan suku bunga acuan dengan kondisi inflasi yang masih rendah saat ini.

Liputan6.com, Jakarta Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai Indonesia tak perlu terburu-buru untuk meningkatkan suku bunga acuan dengan kondisi inflasi yang masih rendah saat ini.

"Kami akan mengatur kebijakan suku bunga rendah kami sebesar 3,5 persen sampai terdapat tekanan fundamental pada inflasi," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam acara Peluncuran Laporan "Indonesia Economic Prospects June 2022" yang dipantau secara daring dikutip dari Antara, Rabu (22/6/2022).

Maka dari itu bank sentral akan terus melanjutkan stabilisasi nilai tukar rupiah dan memulai normalisasi likuiditas untuk mengarahkan kebijakan moneter yang mendukung stabilitas perekonomian pada tahun ini.

Normalisasi likuiditas dilakukan melalui peningkatan Giro Wajib Minimum (GWM) menjadi enam persen pada Juni 2022, kemudian menjadi tujuh persen pada Juli 2022, dan September 2022 menjadi sembilan persen.

Kendati begitu Perry Warjiyo menilai kondisi likuiditas tersebut masih akan cukup bagi perbankan untuk memberikan kredit, serta berpartisipasi dalam operasi pemerintah.

Di sisi lain, BI terus melakukan digitalisasi sistem pembayaran untuk membangun ekonomi dan keuangan digital nasional untuk mencapai inklusi ekonomi dan keuangan guna mendukung UMKM, termasuk untuk wanita dan pemuda.

"Jadi saat kebijakan moneter mendukung stabilitas, kebijakan lainnya seperti makroprudensial dan sistem pembayaran digital masih akan didorong untuk pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.

Selain itu ia menegaskan akan terus mengoptimalkan bauran kebijakan BI bersama dengan pemerintah untuk memastikan stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Dengan demikian pemulihan ekonomi Indonesia ke depannya akan terus berlanjut dan menuju ke prospek jangka menengah, yaitu pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Bank Indonesia Tahan Suku Bunga Acuan di 3,5 Persen

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate atau BI7DRRR di level 3,50 persen pada April 2022.

Keputusan itu diambil setelah bank sentral menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada Senin hingga Selasa, atau 23 hingga 24 Mei 2022.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 23 sampai 24 Mei 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI7DRRR sebesar 3,50 persen," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam video konferensi Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan BI - Mei 2022, Selasa (24/5/2022).

Selain suku bunga acuan, bank sentral pun kembali menahan suku bunga deposite facility tetap sebesar 2,75 persen. Keputusan yang sama juga berlaku pada suku bunga lending facility tetap di level 4,25 persen.

Perry mengatakan, dari dalam negeri pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat, terbukti dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2022 sebesar 5,01 persen. Pada kuartal II/2022, BI melihat pertumbuhan tetap kuat. Hal ini tercermin dari indeks PMI, neraca perdagangan dan indeks mobilitas penduduk.

"Dengan perkembangan tersebut, untuk keseluruhan tahun 2022 Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 4,5-5,3 persen," papar Gubernur BI.

Reporter: Anggun P Situmorang

Sumber: Merdeka.com

3 dari 4 halaman

The Fed Agresif Dongkrak Suku Bunga, Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?

Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga paling agresif dalam hampir 30 tahun pada rapat yang berlangsung pada tengah Juni 2022 ini. Kenaikannya mencapai 0,75 persen.

Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan, tujuan kenaikkan suku bunga adalah untuk menekan inflasi tanpa menahan laju pertumbuhan ekonomi AS. Namun, Jerome mengakui bahwa selalu ada risiko jika melangkah terlalu jauh.

"Sangat penting bahwa kita menurunkan inflasi jika kita ingin memiliki periode berkelanjutan dari kondisi pasar tenaga kerja yang kuat yang menguntungkan semua orang," tambah sang ketua The Fed, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (17/6/2022)

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, pengaruh pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak hanya faktor eksteral seperti kenaikan suku bunga the Fed saja. Melain kan juga banyak faktor dari dalam negeri yang bisa menahan laju pertumbuhan ekonomi. 

Faktor tersebut antara lain penyebaran wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak, penunjukkan menteri perdagangan yang berlatar belakang politisi, arah kebijakan fiskal 2023, penyesuaian tarif listrik dan pembatasan BBM subsidi, hingga mulai naiknya kasus Covid-19.

"Downside risk tidak saja karena faktor eksternal tapi bersumber dari fundamental ekonomi yang mulai terganggu. Surplus perdagangan pada Mei mulai mengecil, karena beberapa harga komoditas seperti batu bara dan sawit alami koreksi," kata Bhima dalam pesan singkat kepada Liputan6.com, Jumat (17/6/2022).

"Pemerintah dalam hal ini Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sebaiknya segera lakukan stres test kembali terhadap lembaga keuangan yang rentan atau memiliki exposure terhadap pembiayaan di luar negeri. Tingkatkan devisa ekspor dengan mendorong porsi produk industri bernilai tambah," lanjutnya.

4 dari 4 halaman

Prediksi

Selain itu, lanjut Ariston, harga komoditas yang masih meningkat karena situasi di Ukraina bisa mendorong ekonomi global masuk ke pelambatan ekonomi.

"Indonesia juga akan mendapatkan dampak negatif dari pelambatan tersebut," ujar Ariston.

Ariston memperkirakan rupiah hari ini berpotensi bergerak ke kisaran 14.630 per dolar AS hingga 14.730 per dolar AS.

Pada Senin (23/5/2022) lalu, rupiah ditutup melemah 30 poin atau 0,2 persen ke posisi 14.672 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 14.642 per dolar AS.  Â