Sukses

Covid-19 Picu Ketidakpastian Upah, Konsumen China Kini Berburu Barang Murah

Konsumen China kini lebih berhati-hati dan sensitif terhadap harga barang karena strategi nol-Covid-19 di negara itu mengubah prospek pendapatan.

Liputan6.com, Jakarta - Konsumen China menjadi lebih berhati-hati dan sensitif terhadap harga karena strategi nol-Covid-19 di negara itu dan prospek ekonomi yang suram memperburuk kekhawatiran atas prospek pekerjaan dan pendapatan.

Hal itu diungkapkan oleh  survei bersama antara perusahaan konsultan manajemen asal Amerika Bain & Co dan firma riset pasar yang berbasis di London, Kantar Worldpanel.

"Konsumen China menunjukkan kepada kami cara berpikir baru di lingkungan yang tidak stabil, saat mereka kembali berbelanja dengan perilaku yang berbeda, dan perusahaan harus memperhatikan ini)," kata Bruno Lannes, mitra di Bain & Co, dikutip dari South China Morning Post, Rabu (22/6/2022).

"Merek harus bekerja lebih keras untuk terhubung dengan konsumen mereka," jelasnya.

Survei Bain & Co dan Kantar Worldpanel juga mengungkapkan, meski sempat terjadi panic buying di China antara Maret dan April 2022 ketika lockdown Covid-19 di perumahan di kota besar seperti Shanghai dan Beijing, peristiwa itu gagal menaikkan harga barang-barang konsumen yang bergerak cepat.

Volume penjualan yang meliputi makanan kemasan, minuman, produk perawatan kulit, sampo dan obat-obatan di China tumbuh 5,6 persen YoY dalam empat minggu yang berakhir 22 April, menurut survei itu. 

Namun, harga jual rata-rata turun 5,7 persen, menunjukkan sensitivitas harga yang meningkat di kalangan konsumen, kata Jason Yu, manajer umum Kantar Worldpanel di China.

"Kebijakan nol Covid-19 memiliki dampak psikologis yang sangat besar bagi konsumen," ungkap Jason Yu.

"Mereka (sekarang) cenderung berburu barang murah di tengah ketidakpastian tentang keamanan pekerjaan dan pendapatan upah mereka," tambahnya.

2 dari 3 halaman

Ketika Perusahaan Eropa Diambang Ketidakpastian karena Covid-19 di China

Banyak perusahaan asal Eropa yang memikirkan kembali investasi mereka di China, ketika pembatasan terkait Covid-19 yang ketat memicu gangguan hingga berdampak pada operasi.

Sementara sebagian besar negara telah dengan mantap mencabut pembatasan Covid-19, China tetap berkomitmen pada strategi nol-Covid-nya, memberlakukan lockdown dan pengujian massal untuk menekan semua infeksi.

Tetapi strategi ini telah memukul bisnis dan menghambat rantai pasokan.

Dilansir dari Channel News Asia, Selasa (21/6/2022) 60 persen responden dalam survei yang dilakukan Kamar Dagang Uni Eropa terkait bisnis mengatakan semakin sulit untuk melakukan aktivitas tersebut di China, yang sebagian besar karena pembatasan Covid-19.

"Kami berharap China benar-benar sadar," kata wakil presiden Kamar Dagang Uni Eropa di China Bettina Schoen-Behanzin, kepada kantor berita asal Prancis, AFP.

"(Kami berharap) mereka menemukan cara untuk keluar dari strategi Covid-19 tanpa toleransi ini karena menyebabkan ketidakpastian yang sangat besar dan ini pasti tidak baik untuk investasi," ujar dia.

Kamar Dagang Uni Eropa melakukan survei terhadap lebih dari 600 perusahaan anggotanya pada bulan Februari dan Maret 2022, tepat ketika lockdown ketat diberlakukan di beberapa daerah untuk menekan wabah Covid-19 terburuk di China dalam dua tahun  - dari pusat bisnis Shanghai hingga provinsi penghasil roti di utara Jilin.

Selain lockdown Covid-19 di China, badan itu juga melakukan tindak lanjut pada April 2022 untuk melihat dampak perang Rusia-Ukraina.

Dari survei itu, ditemukan bahwa 92 persen perusahaan anggota Kamar Dagang Uni Eropa terkena masalah rantai pasokan, dan tiga perempat mengatakan operasi mereka terkena dampak negatif dari Covid-19.

Selain itu, 60 persen responden mengatakan pada bulan April bahwa mereka telah menurunkan proyeksi pendapatan untuk tahun 2022.

3 dari 3 halaman

Pembatasan Covid-19 Tak Kunjung Henti, Perusahaan Eropa Bisa Tinggalkan China?

China adalah negara ekonomi terbesar kedua di dunia dengan pasar yang besar, bagaimanapun, menyulitkan perusahaan multinasional meninggalkan negara itu.

"Perusahaan, bisnis tidak meninggalkan China, karena pasarnya terlalu besar, pasarnya terlalu penting, dan pasti ada banyak peluang pertumbuhan di depan," kata wakil presiden Kamar Dagang Uni Eropa di China Bettina Schoen-Behanzin.

"Tetapi mereka melokalisasi, mereka berada di darat, dan mereka memikirkan kembali jejak mereka di China, di Asia," tambahnya.

"Mereka sedang bergeser, terutama investasi masa depan," ungkap Schoen-Behanzin.

Namun, jika pembatasan Covid-19 di China masih berlarut-larut dalam setahun ke depan, Schoen-Behanzin mengingatkan, perusahaan Eropa bisa mulai kehilangan kemampuan untuk menunggu.

"Dunia tidak menunggu China," ujar dia.

"Jika tidak ada perubahan, maka pasti perusahaan akan mulai memikirkan rencana lainnya dan mereka jelas akan pergi ke pasar lain," sebut Schoen-Behanzin.