Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebut, ada tiga faktor utama yang menyebabkan risiko-risiko stagnasi dan inflasi yang terjadi di berbagai negara.
Pertama, risiko yang berkaitan dengan ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina termasuk juga pengenaan sanksinya yang menyebabkan gangguan pasokan energi dan pangan global serta gangguan mata rantai pasokan global.
"Ini yang kemudian menyebabkan tingginya harga-harga komoditas, harga energi maupun harga pangan global. Misalnya harga minyak kita perkirakan tahun ini bisa mencapai rata-ratanya USD 103 per barel. Demikian juga harga pangan juga meningkat tinggi, ini kemudian dari sisi pasokan menimbulkan resiko perlambatan ekonomi global, dari sisi kenaikan harga menimbulkan resiko dan terjadinya kenaikan inflasi diberbagai dunia," kata Perry dalam Pengumuman RDG bulan Juni 2022, Kamis (23/6/2022).
Advertisement
Faktor kedua, adalah pengetatan kebijakan moneter di Amerika Serikat dan diberbagai negara maju. Pengetatan moneter ditempuh oleh sejumlah bank sentral terutama di negara-negara yang pertumbuhan ekonominya meningkat seperti di Amerika, atau di negara yang inflasinya tinggi, yang disebabkan karena tidak mempunyai ruang fiskal atau menaikkan subsidi di negara-negara tersebut.
Ruang fiskal yang terbatas disejumlah negara menyebabkan kenaikan harga komoditas global, berdampak pada meningkatnya harga-harga di dalam negeri.
Selain itu, sejumlah bank sentral juga menaikkan suku bunga, tidak hanya Amerika serikat saja, melainkan juga terjadi di Brazil, Malaysia, India, maupun sejumlah negara yang lain. Kenaikan suku bunga tentu saja menurunkan permintaan dan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, Kenaikan kasus dan kebijakan zero covid-19 di Tiongkok menyebabkan terjadi perlambatan ekonomi di sana.
Menurut Perry, semua faktor-faktor ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi global beresiko ke bawah. Bank Indonesia memperkirakan yang semula pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2022 ini dapat mencapai 3,4 persen menjadi 3 persen.
"Bacaan kami dengan 3 faktor tadi, menimbulkan resiko bahwa pertumbuhan ekonomi global dapat turun menjadi 3 persen pada tahun 2022 ini meskipun akan naik kembali tahun 2023 menjadi 3,3 persen. Ini menimbulkan kenapa terjadi perlambatan ekonomi global," pungkasnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Inflasi Inggris Tertinggi di antara Negara Maju G7, Bukti Parahnya Krisis
Lonjakan harga pangan mendorong inflasi harga konsumen Inggris menembus ke level tertinggi dalam 40 tahun, mencapai 9,1 persen pada bulan lalu.
Angka inflasi ini menjadi tingkat tertinggi dari negara-negara G7 dan menggarisbawahi parahnya krisis biaya hidup di negara itu.
Tingkat inflasi Inggris pada bulan Mei lebih tinggi daripada di Amerika Serikat, Prancis, Jerman dan Italia.
Sementara Jepang dan Kanada belum melaporkan data harga konsumen untuk bulan Mei, tetapi angka inflasio keduanya tidak akan mendekati.
Angka inflasi Inggris tersebut, naik dari 9 persen pada bulan April, sesuai dengan konsensus jajak pendapat para ekonom Reuters.
Mengutip catatan sejarah dari Kantor Statistik Nasional menunjukkan inflasi Mei merupakan yang tertinggi sejak Maret 1982 — dan kemungkinan lebih buruk akan datang. Poundsterling, salah satu mata uang berkinerja terburuk terhadap dolar AS tahun ini.
Beberapa investor menilai Inggris berada pada risiko inflasi dan resesi yang terus-menerus tinggi, yang mencerminkan tagihan energi impor yang besar dan masalah Brexit yang berkelanjutan yang selanjutnya dapat merusak hubungan perdagangan dengan Uni Eropa.
"Dengan prospek ekonomi yang begitu tidak jelas, tidak ada yang tahu seberapa tinggi inflasi dapat berlangsung, dan berapa lama akan berlanjut - membuat penilaian kebijakan fiskal dan moneter menjadi sangat sulit," kata Jack Leslie, Ekonom Senior di lembaga think tank Resolution Foundation.
Sebelumnya, Resolution Foundation mengatakan pukulan biaya hidup untuk rumah tangga telah diperparah Brexit, yang telah membuat ekonomi Inggris menjadi lebih tertutup, dengan implikasi jangka panjang yang merusak untuk produktivitas dan upah.
Bank of England mengatakan pekan lalu bahwa inflasi kemungkinan akan tetap di atas 9 persen selama beberapa bulan mendatang sebelum memuncak sedikit di atas 11 persen pada Oktober, ketika tagihan energi rumah tangga direncanakan akan naik lagi.
Advertisement
Janji Pemerintah
Menteri keuangan Rishi Sunak mengatakan jika Pemerintah Inggris melakukan semua yang bisa dilakukan untuk memerangi lonjakan harga, usai data inflasi keluar.
Harga makanan dan minuman non-alkohol naik 8,7 persen secara tahunan di bulan Mei — lompatan terbesar sejak Maret 2009 dan menjadikan kategori ini sebagai pendorong inflasi tahunan terbesar bulan lalu.
Harga konsumen secara keseluruhan naik 0,7 persen secara bulanan di bulan Mei, sedikit lebih tinggi dari konsensus 0,6 persen.
Harga pabrik di Inggris - penentu utama harga yang kemudian dibayar oleh konsumen di toko-toko - mencapai 22,1 persen lebih tinggi pada Mei dibandingkan tahun sebelumnya. "Peningkatan terbesar sejak rekor ini dimulai pada 1985," kata ONS.