Liputan6.com, Jakarta - Para pemimpin negara-negara G-7 mengumumkan akan melarang impor emas dari Rusia, menandai sanksi terbaru atas perang di Ukraina.Â
Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengkonfirmasi larangan impor emas dari Rusia melalui akun Twitternya pada Minggu (26/6).
The United States has imposed unprecedented costs on Putin to deny him the revenue he needs to fund his war against Ukraine.Together, the G7 will announce that we will ban the import of Russian gold, a major export that rakes in tens of billions of dollars for Russia.
— President Biden (@POTUS) June 26, 2022
"Amerika Serikat telah mengenakan biaya yang belum pernah terjadi sebelumnya pada Putin untuk menolak pendapatan yang dia butuhkan untuk mendanai perangnya melawan Ukraina," ujar Biden dalam unggahannya, dikutip Senin (27/6/2022).
Advertisement
"Bersama-sama, G7 akan mengumumkan bahwa kami akan melarang impor emas Rusia, ekspor utama yang menghasilkan puluhan miliar dolar untuk Rusia," ungkapnya.Â
Melansir CNBC International, Inggris juga mengkonfirmasi langkah serupa untuk melarang impor emas Rusia.Â
Inggris mengatakan larangan itu akan berlaku untuk emas yang baru ditambang dan emas murni – tidak termasuk emas yang mungkin berasal dari Rusia tetapi telah diekspor.
Sebagai informasi, Rusia merupakan produsen emas terbesar kedua di dunia, menurut data terbaru dari World Gold Council, dengan sekitar 10 persen dari produksi dunia.
Laporan menyebutkan bahwa kepemilikan emas Rusia telah meningkat tiga kali lipat sejak mencaplok Krimea pada tahun 2104 dan komoditas tersebut merupakan aset penting bagi bank sentral Rusia - yang sudah beroperasi dalam kondisi yang sangat terbatas.
Terlepas dari sanksi terhadap Kremlin, nilai mata uang Rusia rubel telah mencapai level terkuatnya dalam tujuh tahun pada pekan lalu setelah sempat anjlok di bulan Februari 2022.
Nilai Rubel mencapai 52,3 terhadap dolar pada Rabu, 22 Juni 2022, yang menjadi level terkuatnya sejak Mei 2015.
Rusia Dikabarkan Gagal Bayar Utang Luar Negeri
Larangan impor emas menambah serangkaian sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh Barat terhadap Rusia sejak operasi militernya di Ukraina pada 24 Februari 2022.
AS, Kanada dan Eropa beberapa waktu lalu mengumumkan sepakat untuk menghapus bank-bank utama Rusia dari sistem pesan antar bank, SWIFT, yang secara efektif memutuskan negara itu dari sebagian besar sistem keuangan global.
Selain larangan impor emas, Rusia juga dikabarkan gagal membayar utang luar negerinya untuk pertama kali dalam lebih dari satu abad setelah melewatkan tenggat waktu pada Minggu, 26 Juni 2022.
Kabar tentang Rusia gagal membayar utang luar negerinya dilaporkan oleh Bloomberg.
Dilansir dari BBC, Senin (27/6/2022) Rusia memiliki uang senilai USD 100 juta atau setara Rp. 1,4 triliun dan bersedia membayar, tetapi sanksi memyulitkan negara itu untuk melakukan pembayaran kepada kreditur internasional.
Rusia memiliki utang sekitar USDÂ 40 miliar dalam mata uang dolar atau euro, dengan sekitar setengahnya disimpan di luar negeri.
Pembayaran bunga senilai USD 100 juta akan jatuh tempo pada 27 Mei. Rusia mengatakan uang itu telah dikirim ke Euroclear, bank yang kemudian akan mendistribusikan pembayaran kepada investor.
Tetapi pembayaran itu terhenti di sana, menurut laporan Bloomberg News, dan kreditur belum menerimanya.
Uang tersebut belum tiba dalam waktu 30 hari dari tanggal jatuh tempo, yaitu Minggu malam, dan dianggap sebagai default.
Di sisi lain, Euroclear tidak mengungkapkan apakah pembayaran telah diblokir, tetapi mengatakan bahwa pihaknya mematuhi semua sanksi.
Advertisement
Tak Bisa Bayar Utang Karena Sanksi Barat, Rusia Bantah Alami Default
Laporan kantor berita Rusia, yakni RIA Novosti mengungkapkan bahwa Menteri Keuangan Anton Siluanov mengakui investor asing "tidak akan dapat menerima" pembayaran utang negara itu.
Ini karena dua alasan, katanya.
"Yang pertama adalah infrastruktur asing - bank koresponden, sistem penyelesaian dan kliring, penyimpanan - dilarang melakukan operasi apa pun yang terkait dengan Rusia. Yang kedua adalah investor asing secara tegas dilarang menerima pembayaran dari kami," jelas Anton Siluanov.
Dengan niat Rusia untuk melunaskan dan memiliki banyak uang untuk membayar, Siluanov membantah adanya default, yang biasanya terjadi ketika pemerintah menolak untuk membayar, atau ekonomi mereka sangat lemah sehingga tidak dapat melakukan pelunasan.
"Semua orang yang tahu memahami bahwa ini sama sekali bukan default," ujar Siluanov.