Liputan6.com, Jakarta - Presiden China Xi Jinping menyatakan akan membantu meningkatkan ekonomi di empat negara meski masih menghadapi krisis Covid-19 di dalam negeri, dan dampak dari perang Rusia-Ukraina.
Dilansir dari VOA News, Senin (27/6/2022) Xi Jinping menyampaikan pernyataan itu pekan lalu di di KTT BRICS virtual yang diselenggarakan oleh Beijing.
Baca Juga
Keempat negara yang akan dibantu China itu adalah Brazil, Rusia, India dan Afrika Selatan, yang bersama-sama dengan China membentuk kelompok yang dikenal dengan BRICS.
Advertisement
Laporan kantor berita Xinhua menyebut, Xi Jinping menganjurkan kerja sama BRICS dalam pembayaran lintas batas dan peringkat kredit. Dia lebih lanjut juga merekomendasikan fasilitasi perdagangan, investasi dan pembiayaan.
Xi Jinping, sebagai tuan rumah KTT ke-14 kelompok negara itu juga menyampaikan bahwa pihaknya akan bekerja dengan negara-negara BRICS untuk mendukung pembangunan global yang lebih kuat, lebih hijau dan lebih sehat.
Selain itu, Xi Jinping juga mengajak negara-negara lainnya untuk bergabung dengan New Development Bank, pemberi pinjaman lunak yang didirikan oleh negara-negara BRICS pada tahun 2015.
Dia juga menyerukan untuk meningkatkan mekanisme bantuan neraca pembayaran darurat negara kelompok BRICS, Contingent Reserve Arrangement, Xinhua menambahkan.
Ekonomi China telah melampaui negara lain setelah beberapa dekade mengencangkan ekspor manufakturnya.Â
Tetapi ekonomi negara itu tengah tertatih-tatih tahun ini karena lockdown untuk menahan lonjakan Covid-19 – yang juga menghambat rantai pasokan global.
Ekonom : Covid-19 Masih Jadi Hambatan Untuk China Penuhi Target BRICS
Namun, menurut ekonom di unit perbankan swasta bank CIMB Malaysia, yakni Song Seng Wun, kemajuan substantif pada target China pada negara anggota BRICS kemungkinan akan memakan waktu, mengingat masalah di dalam dan luar negeri, termasuk Covid-19.
"Pada tingkat tertinggi, ada sedikit diskusi, yang kemudian dapat mengarah pada peluang lebih lanjut untuk terlibat lebih jauh," kata Song Seng Wun, yang berbasis di Singapura.
Rusia, yang juga anggota BRICS Rusia tengah menghadapi sanksi ekonomi dari Barat atas perang di Ukraina, yang telah memicu kekurangan pangan dan inflasi.
Di tambah lagi, China juga masih menghadapi tarif atas barang yang dikirim ke Amerika Serikat, akibat dari sengketa perdagangan bilateral.
Adapun Stuart Orr, kepala Sekolah Bisnis di Melbourne Institute of Technology di Australia, mengatakan bahwa negara-negara berkembang, termasuk di antara BRICS, dapat dengan mudah beralih ke Jepang, Uni Eropa dan alternatif lain dari China untuk dukungan ekonomi.
Menurutnya, pilihan-pilihan itu akan memperlambat ambisi China untuk menabur kerja sama BRICS karena negara-negara berkembang memilih untuk tidak terlalu bergantung pada Beijing.
"Ada banyak pembicaraan tetapi mungkin tidak begitu banyak kemajuan nyata dalam hal itu dan saya menduga hal-hal lain mungkin akan berakhir seperti didorong kembali ke pertemuan BRICS berikutnya untuk kemajuan lebih lanjut setelah masalah selesai," kata Orr.
China masih "berjuang dengan masalah kesehatan" sementara saingan politik bersejarahnya, Amerika Serikat, menemukan pemasok dan pelanggan baru untuk ekspor kedelai, beber Orr.
Advertisement
Dampak Covid-19, Bank Dunia Pangkas Ramalan Pertumbuhan Ekonomi China
Bank Dunia telah memangkas perkiraan tahunan pertumbuhan ekonomi China, ketika gangguan Covid-19 semakin memperlambat pemulihan negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
China adalah negara ekonomi utama terakhir yang menganut kebijakan nol-Covid-19 dengan lockdown yang ketat, pengujian massal, dan pembatasan untuk meredam wabah - tetapi mengganggu rantai pasokan dan menyeret indikator ekonomi ke level terendah dalam sekitar dua tahun.
Dilansir dari Channel News Asia, Kamis (9/6/2022) Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China melambat menjadi 4,3 persen pada 2022.
Angka tersebut menandai penurunan tajam 0,8 poin persentase dari perkiraan Bank Dunia sebelumnya pada Desember 2021.
Ini "sebagian besar mencerminkan kerusakan ekonomi yang disebabkan oleh wabah varian Omicron dan lockdown yang berkepanjangan di beberapa bagian China dari bulan Maret hingga Mei", kata laporan Bank Dunia.
"Dalam jangka pendek, China menghadapi tantangan ganda untuk menyeimbangkan mitigasi Covid-19 dengan mendukung pertumbuhan ekonomi," kata Martin Raiser, Country Director Bank Dunia untuk China, Mongolia, dan Korea.
"Dilemanya adalah bagaimana membuat stimulus kebijakan efektif, selama pembatasan mobilitas tetap ada," lanjut Raiser.
Aktivitas ekonomi China diperkirakan akan pulih pada paruh kedua tahun 2022, dibantu oleh stimulus fiskal dan lebih banyak pelonggaran aturan di kawasan perumahan, menurut Bank Dunia.
Tetapi permintaan domestik di negara itu kemungkinan akan pulih secara bertahap dan hanya sebagian yang dapat mengimbangi kerusakan terkait pandemi sebelumnya.
Karena Covid-19, Bank Dunia Ramal China Tak Akan Capai Target Ekonomi 5,5 Persen
Penyesuaian perkiraan Bank Dunia datang karena kekhawatiran bahwa China mungkin tidak memenuhi target pertumbuhan ekonomi resmi sekitar 5,5 persen tahun ini.
"Ada bahaya bahwa China tetap terikat pada pedoman lama untuk mendorong pertumbuhan melalui infrastruktur yang dibiayai utang dan investasi real estat," kata Bank Dunia.
"Model pertumbuhan seperti itu pada akhirnya tidak berkelanjutan dan hutang yang banyak di perusahaan dan pemerintah daerah sudah terlalu tinggi," lanjut badan tersebut.
Perkiraan terbaru Bank Dunia juga mengasumsikan bahwa kebijakan nol-Covid-19 di China akan "dipertahankan dalam jangka pendek untuk menghindari tekanan pada sistem perawatan kesehatannya", yang berarti ada kemungkinan berulangnya gangguan pemulihan.
Advertisement