Sukses

Beban Subsidi Indonesia Siap-Siap Melonjak 2,4 Persen dari PDB

Lembaga Pemeringkat Kredit Fitch Ratings menilai akan ada peningkatan beban subsidi Indonesia. Ini termasuk bagi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik.

Liputan6.com, Jakarta Lembaga Pemeringkat Kredit Fitch Ratings menilai akan ada peningkatan beban subsidi Indonesia. Ini termasuk bagi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik.

Fitch Ratings menilai beban subsidi Indonesia akan mengalami peningkatan dan diperkirakan mencapai 2,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Dalam keterangannya, beban subsidi ini salah satu dampak dari upaya pemerintah dalam melindungi daya beli masyarakat. Pasalnya, kini tengah dihadapkan dengan kenaikan harga komoditas di berbagai sektor.

Meski demikian, belanja subsidi dapat ditutup dengan peningkatan pendapatan negara akibat tingginya harga komoditas serta pemulihan ekonomi yang terus berlangsung.

Informasi, pemulihan ekonomi tanah air didukung oleh kuatnya net ekspor yang dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas global. Bahkan, capaian ini meningkat drastis dari sebelumnya

"Hingga Mei 2022, ekspor Indonesia selama 12 bulan terakhir mengalami peningkatan sebesar 43 persen dibandingkan periode sebelumnya," seperti tertulis.

Prospek kestabilan ekonomi makro Indonesia juga ditopang oleh adanya peringkat rating terkait tang Indonesia. Hasilnya, masih tetap stabil.

"Lembaga Pemeringkat Kredit Fitch Ratings kembali mempertahankan peringkat (rating) kredit Indonesia pada posisi BBB outlook stable di tengah eskalasi tekanan global. Hasil penilaian Fitch Ratings tersebut menunjukkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini cukup kuat," seperti tertulis.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Beban Subsidi

Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengungkap jumlah total subsidi dan kompensasi sektor energi tahun 2022 sebesar Rp 502,4 triliun. Salah satunya karena faktor adanya tarif yang ditetapkan pemerintah.

Sehingga Pertamina dan PLN sebagai perusahaan energi di dalam negeri tak bisa menjual sesuai harga keekonomian. Maka pemerintah perlu menggelontorkan dana untuk menutup selisih dari harga tersebut.

Prastowo menyebut, di 2022 pemerintah dan DPR Ri telah menyepakati adanya tambahan subsidi energi dari alokasi awal sebesar Rp 152 triliun. Ada tambahan sekitar Rp 74,9 triliun yang dibagi pada subsidi BBM Rp 71,8 triliun dan subsidi listrik Rp 3,1 triliun.

"Sebagian besar adalah kompensasi karena Pertamina dan PLN tak bisa menjual pada harga pasar, tetapi harus menjual pada harga yang ditentukan, tidak pada harga keekonomian, maka diberikan kompensasi yang cukup besar," katanya dalam Webinar Sukse3s, Rabu (29/6/2022).

 

3 dari 4 halaman

Kompensasi

Dalam paparannya, ia merinci kompensasi BBM pada 2022. Diantaranya tambahan kompensasi tahun 2022 sebesar Rp 216,1 triliun. Ini dibagi kepada BBM sebesar Rp 194,7 triliun dan kompenasi listri Rp 21,4 triliun.

Lalu, ada kurang bayar kompensasi sampai 2021 sebessar Rp 108,4 triliun. Dengan pembagian kepada BBM Rp 83,8 triliun, dan listrik Rp 24,6 triliun.

Sementara itu, pemerintah berencana melakukan pembayaran kompensasi tahun 2022 sebesar Rp 275 triliun. Dengan pembagian untuk BBM Rp 234 triliun dan listrik Rp 41 triliun.

Dengan begitu, total kompensasi tahun 2022, menurut data yang ditampilkannya menjadi RP 293,5 triliun dengan rincian BBM Rp 252,5 triliun dan listrik Rp 41 triliun.

 

4 dari 4 halaman

Pertalite Masih Dinikmati Orang Kaya

Lebih lanjut, ia mengatakan, Pertalite sebagai BBM penugasan dari pemerintah masih dinikmati oleh kalangan orang kaya. Meski, peralihan dari Premium ke Pertalite sebagai BBM penugasan merupakan bagian dari transformasi ke energi yang ramah lingkungan.

"Transformasi ini juga dilakukan cukup efektif oleh Pertamina dan sekarang sudah ada pada lebvel perilaku yang lebih baik," katanya.

"Meskipun kita tahu yang memanfaatkan Pertalite itu masih didominasi kelompok yang kaya. Tentu ini menjadi ironis karena salah sasaran, sebenarnya pemilik kendaraan mewah tetap mengonsumsi pertalite ini yang coba dikendalikan," tuturnya.