Liputan6.com, Jakarta - Kecenderungan konsumen China untuk menabung berada pada titik tertinggi dalam dua dekade, seiring dampak pembatasan ketat terkait Covid-19 membebani ekonomi negara itu.
Hal itu diungkapkan dalam survei yang disusun oleh Bank Sentral China, People's Bank of China (PBOC) untuk kuartal kedua.
Baca Juga
Dilansir dari CNBC International, Jumat (1/7/2022) 58,3 persen responden survei People's Bank of China mengatakan lebih memilih menyimpan uang mereka, daripada berbelanja atau berinvestasi.
Advertisement
Jumlah itu menandai peningkatan dari survei serupa di kuartal pertama di mana 54,7 persen memilih untuk menabung, yang telah menandai rekor tertinggi sejak tahun 2002.
Kecenderungan konsumen China untuk berinvestasi turun 3,7 poin persentase menjadi 17,9 persen pada kuartal kedua, dengan saham sebagai aset yang dianggap paling tidak menarik.
PBOC mengatakan bahwa survei triwulanannya, yang dilakukan sejak tahun 1999, mencakup 20.000 orang dengan deposito bank di 50 kota besar baik dari kalangan kelas menengah dan kecil di China.
Hasil survei PBOC datang ketika China memberlakukan pembatasan Covid-19 yang ketat pada kuartal kedua untuk mengendalikan wabah terburuk di negara itu sejak awal 2020.
Shanghai telah melewati lockdown selama dua bulan pada bulan April dan Mei, sementara Beijing melarang aktivitas makan di restoran di bulan yang sama, di antara pembatasan lainnya.
Survei PBOC juga menunjukkan penurunan ekspektasi pendapatan di China.
Indeks studi untuk prospek pekerjaan turun menjadi 44,5 persen - angka terendah sejak kuartal pertama tahun 2009 sebesar 42,2 persen, menurut database CEIC.
Namun, dari keseluruhan responden yang paling cenderung belanja sedikit meningkat dari kuartal pertama sebesar 0,1 poin persentase menjadi 23,8 persen.
Jika konsumen China berencana untuk meningkatkan pengeluaran dalam tiga bulan ke depan, pilihan paling populer adalah pendidikan, diikuti oleh perawatan kesehatan dan barang-barang mahal, demikian menurut survei tersebut.
Tingkat Pengangguran di China Meningkat Selama Wabah Baru Covid-19
Selama kuartal kedua 2022, tingkat pengangguran di 31 kota terbesar di China juga mencatat angka yang tinggi.
Tingkat pengangguran di 31 kota terbesar di China telah melampaui level tertinggi pandemi tahun ini, mencapai 6,9 persen pada Mei 2022.
Tingkat pengangguran di antara generasi muda China berusia 16 hingga 24 tahun menjadi lebih tinggi, yaitu di angka 18,4 persen di bulan Mei.
Bisnis di China juga mulai dari layanan hingga manufaktur melaporkan perlambatan pada kuartal kedua dari kuartal pertama, menunjukkan dampak berkepanjangan dari pembatasan Covid-19.
Hal itu diungkapkan oleh China Beige Book, riset yang berbasis di Amerika Serikat (AS). China Beige Book dalam studinya melakukan mewawancarai hingga 4.300 orang di China pada akhir April dan hingga 15 Juni 2022.
"Sementara sebagian besar lockdown tinggi dilonggarkan pada Mei 2022, data Juni tidak menunjukkan pembangkit tenaga listrik bangkit kembali ke titik yang diharapkan," demikian laporan itu, dikutip dari CNBC International.
Laporan tersebut menambahkan, antara kuartal pertama dan kedua, perekrutan di China juga menurun di semua sektor manufaktur kecuali untuk pemrosesan makanan dan minuman.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Direktur Pelaksana China Beige Book Shehzad H. Qazi. Ia menyebut, situasi ketenagakerjaan kemungkinan tidak akan mulai membaik sampai China lebih merangsang ekonominya di musim gugur.
Sejauh ini, hanya ada sedikit tanda bahwa stimulus telah dimulai, terutama di bidang infrastruktur, ungkap Shehzad H. Qazi yang berbabsis di New York.
"Transportasi, perusahaan konstruksi tidak memberi tahu bahwa mereka mendapatkan produk baru," bebernya.
"Mereka memberi tahu Anda bahwa mereka telah memperlambat investasi, proyek baru mereka sebenarnya telah melambat," ungkap Qazi.
Advertisement
Pasca Lockdown Covid-19, Aktivitas Pabrik China Mulai Bergerak
Aktivitas pabrik di China berkembang untuk pertama kalinya dalam empat bulan, menyusul pencabutan lockdown Covid-19 di kota-kota besar negara itu.
Dilansir dari CNBC, Kamis (30/6/2022) indeks Purchasing Managers' Index (PMI) China naik menjadi 50,2 pada Juni 2022, naik dari 49,6 pada Mei 2022, menurut Biro Statistik Nasional (NBS) China.
Polling sebelumnya memperkirakan PMI China akan mencapai 50,5, di atas tanda 50 poin yang memisahkan kontraksi dari pertumbuhan bulanan.
Sub-indeks untuk produksi di China berada di angka 52,8, - tertinggi sejak Maret 2021, sementara pesanan baru juga kembali berekspansi untuk pertama kalinya dalam empat bulan, meskipun pertumbuhan tetap lemah.
Meskipun aktivitas bisnis di China telah kembali berjalan setelah lockdown Covid-19 pada bulan April dan Mei, hambatan, termasuk pasar properti yang masih lemah, belanja konsumen yang lemah, serta ketakutan akan gelombang infeksi baru tetap ada.
"Meskipun sektor manufaktur terus pulih bulan ini, 49,3 persen dari perusahaan melaporkan pesanan tidak mencukupi," kata Zhu Hong, ahli statistik senior di Biro Statistik Nasional China.
"Permintaan pasar yang lemah masih menjadi masalah utama yang dihadapi industri manufaktur," ungkapnya.
Salah satu pusat ekonomi terbesar di China, yaitu Kota Shanghai mengakhiri pembelakuan lockdown sejak 1 Juni 2022, memungkinkan pabrik-pabrik kecil di wilayah tersebut melanjutkan produksi.
Namun, aturan social distancing untuk mencegah risiko Covid-19, seperti saat makan di restoran masih berlaku sepanjang bulan Juni ini.