Sukses

Demi UU Cipta Kerja, Pemerintah Revisi UU Pembentukan Perppu

Lahirnya UU Nomor 13 tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi atas peninjauan kembali (judicial review) terhadap UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Liputan6.com, Jakarta Lahirnya UU Nomor 13 tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi atas peninjauan kembali (judicial review) terhadap UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU ini merupakan hasil revisi kedua dari UU Nomor 12 tahun 2011.

Kala itu, MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Sehingga MK memerintahkan pembentuk undang-undang melakukan perbaikan dalam tenggang waktu maksimal dua tahun sejak putusan dibacakan atau hingga 25 November 2023 mendatang.

"Undang-undang ini atas putusan dari Mahkamah Konstitusi yang saat itu menelaah UU Cipta Kerja kita. UU ini perlu disempurnakan prosesnya," kata Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, Jakarta, Senin (4/7).

Suahasil mengatakan pemerintah tidak hanya melakukan penyempurnaan terhadap proses pembentukan undang-undang. Melainkan menyempurnakan juga substansinya.

Bagi pemerintah UU Cipta Kerja sangat penting karena jika diimplementasikan dengan benar, maka akan mengubah sendi-sendi kehidupan bernegara. Terutama yang hubungannya langsung dengan pemerintah.

"Ini (UU Cipta Kerja) kalau dilakukan dengan benar-benar bisa ubah landscape ekonomi kita di berbagai sektor," katanya.

UU Cipta kerja bisa mengubah cara kerja birokrasi yang pada akhirnya mengubah persepsi dunia mengenai bisnis yang akan dijalankan di Indonesia dalam arti luas. Bukan hanya bisnis keuangan atau kegiatan berdagang.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

Melibatkan Masyarakat dalam Pembentukan Undang-undang

Di sisi lain, lahirnya UU No. 13/2022 ini merumuskan partisipasi publik yang bersifat meaningful partisipan yang memiliki tiga esensi yakni hak untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk mendapatkan penjelasan. Landasan pembentukan perundang-undangan ini mengatur hak-hak masyarakat dalam hal pembuatan kebijakan.

"Masyarakat memiliki hak untuk didengarkan, ketika pemerintah akan bentuk Perppu, masyarakat ini berhak untuk berpartisipasi mulai dengan hak untuk didengarkan," kata dia.

Setelah pendapat masyarakat didengarkan, berbagai pendapat atau keresahan yang diungkapkan akan menjadi pertimbangan pemerintah. Tak berhenti di situ, masyarakat juga berhak mendapatkan penjelasan dari berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah.

"Ketiga itu harus dijalankan dan akomodasikan sehingga tercipta meaningful partisipan," kata dia.

Suahasil menegaskan birokrat harus bisa mengakomodir ketiga hal tersebut agar bisa berjalan. Cara ini menurut dia bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik lagi karena adanya keterlibatan masyarakat dalam pembentukan Perppu.

"Kita sebagai birokrat ini harus bisa mengadakan apapun agar ketiga hak itu bisa dijalankan. Ketika tu dijalankan itu akan terjadi meaningful participation, ini yang diinginkan dalam cara membuat undang-undang kita," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

3 dari 4 halaman

Menaker: JKP Tak Langgar Putusan MK soal UU Cipta Kerja

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah memastikan aturan mengenai Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) tidak melanggar aturan. Ini berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang status Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 yang menyebut inkonstitusional bersyarat.

Dalam amar putusan MK salah satunya menyebut UU Cipta Kerja berstatus inkonstitusional bersyarat. Serta meminta pemerintah untuk tidak mengeluarkan aturan turunan lagi yang bersifat strategis dan berdampak luas.

Menaker menyampaikan aturan mengenai JKP telah dikeluarkan sebelum adanya putusan MK tersebut. Sehingga, berlakunya JKP ini tidak melanggar keputusan MK terkait status UU Cipta Kerja.

“Peraturan tentang JKP ini sudah dikeluarkan oleh pemerintah baik itu Peraturan pemerintah ataupun Peraturan menteri sebelum adanya putusan MK,” katanya dalam Raker dengan Komisi IX DPR RI, Senin (21/3/2022).

“Aturan JKP itu telah dikeluarkan pada 21 Februari 2021, sementara putusan MK itu November 2021, jadi PP Nomor 37/2021 ini tetap berlaku,” imbuhnya.

Lebih lagi, ia menyebutkan Permenaker Nomor 15 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemberian Manfaat JKP juga sudah dikeluarkan sebelum putusan MK.

“Semua aturan terkait JKP ini (keluar) sebelum putusan MK,” kata Ida Fauziyah.

 

  

4 dari 4 halaman

Dana Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah menyampaikan telah menyalurkan dana Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) kepada 191 orang. Jumlah ini diperoleh per 20 Maret 2022.

Ia menyebut, sebelumnya, dua minggu lalu, baru ada sekitar 125 orang yang tercatat mencairkan manfaat dari JKP ini. dari 191 orang yang tercatat tersebut, 94 orang diantaranya telah mengambil asesmen pengembangan diri, kemudian konseling sebanyak 34 orang, serta yang telah melamar lebih dari 5 pekerjaan ada 58 orang.

“Jadi program JKP ini sudah dirasakan kepada teman-teman yang mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) sebanyak 191 orang,” katanya dalam Raker dengan Komisi IX DPR RI, Senin (21/3/2022).

“Jadi program ini yang benar-benar direalisasi pemerintah, dan teman-teman yang mengalami PHK sudah rasakan manfaat dari JKP, mulai cash benefit, akses pasar kerja, dan pelatihan kerja,” paparnya.

Sementara itu, terkait kesiapan program dukungan anggaran pembayaran iuran pemerintah untuk program JKP tahun 2021 dari Februari-November 2021 tercatat sebesar Rp 823,91 miliar. Jumlah ini untuk memenuhi kepada 100.849.059 tenaga kerja.