Liputan6.com, Jakarta Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Dewan Perwakilan Rakyat (BAKN DPR) Wahyu Sanjaya mendorong optimalisasi penerimaan negara dari sektor cukai, khususnya dari cukai hasil tembakau.
Menurutnya dengan optimalisasi tersebut penerimaan negara dari cukai dapat mencapai angka sesuai target pemerintah.
Baca Juga
“Kita berharap seharusnya pendapatan cukai bisa dioptimalkan lagi,” ujarnya seperti dikutip laman resmi DPR, Selasa (5/7/2022).
Advertisement
Langkah utama yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerimaan negara tersebut, antara lain, melalui kebijakan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau.
Penyederhanaan tarif cukai hasil tembakau dinilai menjadi salah satu kebijakan pemerintah untuk menekan angka perokok. Pada tahun ini, penyederhanaan tarif sudah dilakukan dari sepuluh layer menjadi delapan layer. Kebijakan tersebut diharapkan mendorong pengurangan perbedaan harga rokok di pasaran dan meningkatkan pendapatan negara.
Pemerintah menargetkan penerimaan negara dari cukai tahun 2022 sebesar Rp 193,53 triliun. Mayoritas penerimaan negara tersebut berasal dari cukai hasil tembakau. Selama periode Januari-April 2022, pemerintah telah mengumpulkan penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp 76,29 triliun.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Cukai Tembakau
Ekonom Universitas Indonesia Vid Adrison mengatakan sistem multitier pada struktur tarif cukai hasil tembakau memungkinkan beberapa merek rokok mendapatkan tarif cukai yang lebih rendah dan memungkinkan perokok berpindah ke produk yang lebih murah jika ada kenaikan tarif cukai.
“Penerimaan negara menjadi tidak optimum karena beberapa produsen bisa memilih tarif cukai yang lebih rendah,” katanya.
Vid juga menyoroti kesenjangan tarif dan harga jual eceran (HJE) minimum antara satu golongan dengan golongan lainnya yang masih besar.
“Ambil contoh, sigaret kretek mesin (SKM) dengan jumlah produksi tahunan lebih dari 3 miliar batang (SKM 1) dikenakan cukai 64 persen lebih tinggi dibandingkan dengan SKM dengan jumlah produksi kurang dari 3 miliar batang (SKM II). Selain itu HJE dari SKM 1 lebih tinggi 67 persen dibandingkan SKM II. Produsen golongan II bisa menjual rokok dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan rokok di golongan 1,” katanya.
Itulah sebabnya, Vid merekomendasikan agar pemerintah mengurangi kesenjangan tarif cukai dan HJE minimum antargolongan produksi.
Menutup jarak tarif cukai antara golongan 1 dan golongan 2 juga akan membantu mengurangi perbedaan harga rokok di pasaran. Hal ini merupakan satu instrumen kebijakan yang penting untuk menurunkan prevalensi merokok dan optimalisasi penerimaan negara.
Advertisement
Konsumsi Minuman Berpemanis Semakin Meningkat, Bagaimana Jika Cukai MBDK Tak Terealisasi?
Konsumsi Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK) terus meningkat dari tahun ke tahun. Indonesia kini menempati peringkat ketiga konsumsi MBDK terbanyak di Asia Tenggara setelah Thailand dan Maldives.
Menurut Plt Manajer Riset Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Gita Kusnadi, dari segi distribusi umur, konsumen terbanyak dari MBDK adalah kelompok umur 5 hingga 18 tahun.
"Kalau kita lihat dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) ternyata kebanyakan dari anak-anak dan remaja itu mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali sehari,” ujar Gita dalam wawancara eksklusif bersama Health Liputan6.com, Kamis (30/6/2022).
Konsumsi MBDK di masyarakat Indonesia terutama anak dan remaja perlu dibatasi lantaran memiliki kaitan erat dengan Penyakit Tidak Menular (PTM). MBDK berkontribusi pada peningkatan berat badan yang berujung pada obesitas dan meningkatkan risiko terkena penyakit tidak menular.
Untuk itu, penerapan cukai MBDK penting untuk direalisasikan guna mengurangi risiko PTM pada masyarakat.
Lantas, bagaimana jika cukai MBDK yang tengah dirancang sedemikian rupa tidak berjalan sesuai harapan?
Menanggapi pertanyaan ini, Project Lead for Food Policy CISDI Ayu Ariyanti mengatakan, jika konsumsi minuman berpemanis tidak terkendali maka dampaknya adalah ancaman pada kualitas hidup dan kesehatan dari generasi muda sampai jangka panjang.
"Jadi sebetulnya, isu cukai MBDK ini sudah dikaji dan didiskusikan selama 7 tahun dan yang bilang ini adalah Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan, Pak Yustinus Prastowo, cuman sampai saat ini memang belum ada penerapannya," ujar Ayu dalam kesempatan yang sama.
Mengancam Generasi Muda
Dampak kesehatan yang paling kentara adalah penyakit tidak menular termasuk obesitas yang semakin naik.
Di sisi lain, Indonesia akan menghadapi bonus demografi hingga 2045. Jadi, jika generasi muda di Indonesia hidup dengan sehat, maka produktivitasnya akan baik. Sebaliknya, jika sejak kecil konsumsinya tidak sehat maka akan ada dampak pada produktivitas mereka di masa depan.
“Yang akan rugi selain penderitanya ya negara lagi, jadi memang kerugiannya adalah beban biaya kesehatan. Kita kan sudah tahu BPJS itu meningkat biayanya dan PTM ini bukan penyakit yang biayanya sedikit dan bukan juga penyakit yang cepat sembuh.”
Dengan diterapkannya cukai MBDK maka akan terlihat perbaikan kesehatan masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang, tambah Ayu.
Data menunjukkan, konsumsi MBDK yang berlebihan dampaknya tidak hanya terlihat pada masyarakat usia dewasa tapi juga usia muda.
Pada anak-anak, dampak MBDK bisa berkaitan dengan kualitas diet di masa depan.
Advertisement