Liputan6.com, Jakarta Sepanjang tahun 2021, tingkat inflasi Indonesia berada di level 1,87 persen. Juru bicara Fraksi Partai Demokrat, Suhardi Duka menyebut capaian ini jauh dari asumsi pada APBN 2021 sebesar 3,0 persen. Menurutnya, inflasi yang rendah mencerminkan aktivitas ekonomi yang belum optimal.
"Rendahnya inflasi ini mencerminkan aktivitas ekonomi belum optimal. Stimuli dunia usaha, UMKM dan masyarakat melalui perlindungan sosial belum cukup meningkatkan daya beli masyarakat," kata Suhardi dalam Sidang Paripurna Ke-27 di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (5/7).
Baca Juga
Hal serupa juga diungkapkan Fraksi Partai Gerindra. Inflasi 1,87 persen di tahun 2021 sekilas dinilai lebih baik dibandingkan negara-negara lain yang mengalami lonjakan inflasi di masa pemulihan ekonomi. Namun, di sisi lain, rendahnya inflasi ini mencerminkan lesunya perekonomian nasional di masa pemulihan ekonomi.
Advertisement
"Inflasi lebih rendah sekilas lebih baik tapi jika dirinci, laju inflasi itu menunjukkan kelesuan ekonomi dan daya beli sepanjang tahun 2021," kata Juru Bicara Fraksi Partai Gerindra, Susi Marleny Bachsin.
Tak hanya inflasi, fraksi-fraksi lain juga menyoroti berbagai indikator asumsi ekonomi makro yang tidak mencapai target APBN 2021. Semisal tingkat suku bunga Surat Utang pemerintah yang lebih tinggi dari negara lain.
"Tingkat suku bunga SUN 10 tahun kita 6,38 persen, ini masih lebih tinggi dari negara lain, ke depan perlu dicari pembiayaan yang lebih murah," kata Suhardi.
Â
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Eksplorasi Minyak dan Gas
Dua fraksi ini juga sepakat, realisasi eksplorasi minyak dan gas sepanjang tahun 2021 tidak memenuhi target. Lifting minyak hanya 622 ribu barel per hari dari target 705 ribu barel per hari.
Realisasi gas turun menjadi 982 barel per hari dari target 1.007 ribu barel per hari. Begitu juga dengan minyak mentah hanya USD 68 dolar per barel.
Menurut Suhardi, selama tahun 2021, pemerintah dinilai gagal fokus dalam menjalankan program-programnya. Pemerintah lebih mengutamakan program yang dampaknya baru terasa di masa yang akan datang. Padahal seharusnya, fokus pemerintah menjalankan program yang dampaknya bisa dengan cepat memperbaiki perekonomian.
"Sehingga kami meminta realisasi APBN 2021 menjadi bahan evaluasi dan pembelajaran pemerintah," pungkasnya.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Inflasi Turki Nyaris Tembus 80 Persen Gara- gara Harga Pangan
Tingkat inflasi tahunan Turki mencapai hampir 80 persen pada bulan Juni 2022, menandai level tertinggi dalam sekitar dua dekade.
Dilansir dari CNN Business, Selasa (5/7/2022) harga konsumen Turki naik 78,6 persen pada Juni 2022 dibandingkan bulan yang sama di 2021 lalu.
Kenaikan inflasi Turki ini didorong oleh melonjaknya biaya makanan dan minuman serta transportasi di negara itu.
Data dari Institut Statistik Turki menunjukkan bahwa kenaikan harga pangan di Turki melonjak hampir dua kali lipat dalam setahun, sementara biaya transportasi naik 123 persen.
Ini adalah tonggak sejarah suram lainnya bagi Turki yang telah mengalami inflasi yang merajalela dalam beberapa bulan terakhir, di tambah mata uang lira yang nilainya anjlok lebih dari 20 persen terhadap dolar AS sejak awal tahun ini.
Ekonomi Turki terkena kekuatan inflasi global yang terjadi seperti negara-negara lain, menyusul kebijakan ekonomi yang tak biasa dari Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Kebijakan ini kerap disebut memicu anjloknya nilai lira, dan harga impor lebih mahal.
Pada September 2021, Erdogan mengatakan kepada bank sentral Turki untuk mulai memotong suku bunga karena harga naik, daripada menaikkannya.
Pada saat bank sentral utama dunia meningkatkan biaya pinjaman untuk mendinginkan permintaan guna menjinakkan inflasi, Turki melakukan hal yang sebaliknya. Suku bunga negara itu tetap di angka 14 persen sejak Desember 2021.
Erdogan pun membela kebijakan moneternya, dengan alasan bahwa menurunkan suku bunga akan menurunkan inflasi dan meningkatkan produksi dan ekspor.Â
Kenaikkan Harga Komoditas Global Hingga Energi Picu Inflasi Turki di Bulan Juni 2022
Menteri Ekonomi Turki Nureddin Nebati mengatakan dalam sebuah postingan di Twitter pada Senin (4/7) bahwa "bertahannya kenaikan harga komoditas global yang tinggi, terutama dalam energi dan produk pertanian" telah memicu inflasi pada bulan Juni 2022.
Dia mengatakan pemerintah mengambil tindakan untuk melindungi masyarakat dari meroketnya harga, termasuk dengan mengurangi pajak penjualan dan memberikan subsidi.
Pekan lalu, Erdogan mengumumkan bahwa pemerintahnya akan menaikkan upah minimum sebesar 30 persen mulai bulan ini – hanya enam bulan setelah menaikkannya sebesar 50 persen, guna membantu pekerja dengan biaya hidup yang melonjak.
Sementara itu, S&P Global Ratings mengatakan dalam sebuah laporan pekan lalu bahwa inflasi yang dikombinasikan dengan nilai lira Turki yang lemah akan terus membebani belanja konsumen.Â
Inflasi tahunan Turki diperkirakan akan tetap di atas 70 persen hingga akhir tahun, dan di atas 20 persen hingga setidaknya pertengahan 2023.
"Resesi dan perang Rusia-Ukraina, serta perlambatan pertumbuhan di zona euro dan Inggris akan membebani ekspor, yang telah menjadi pendorong pertumbuhan penting Turki hingga saat ini," kata laporan itu.Â
Advertisement