Sukses

Euro Anjlok ke Level Terendah dalam 20 Tahun di Tengah Kekhawatiran Resesi

Nilai Euro jatuh ke level terendah dalam dua dekade pada Selasa (5/7) karena kekhawatiran resesi yang meningkat di Eropa.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai Euro jatuh ke level terendah dalam dua dekade pada Selasa, 5 Juli 2022, karena kekhawatiran resesi yang meningkat di Eropa, dengan harga gas melonjak dan perang Rusia-Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda mereda.

Mata uang euro telah kehilangan lebih dari 9 persen nilainya terhadap dolar sejak awal tahun.

Dilansir dari CNBC International, Rabu (6/7/2022) Euro merosot sekitar 1,5 persen untuk sesi tersebut dan mencapai USD 1.0265 terhadap dolar, sementara indeks dolar naik 1,29 persen menjadi 106,49.

Nilai Euro juga merosot secara fraksional terhadap pound sterling dan diperdagangkan di kisaran £0,8582. Adapun penurunan euro lainnya sekitar 1,4 persen terhadap yen Jepang.

Inflasi zona euro mencatat rekor 8,6 persen pada bulan Juni 2022, mendorong Bank Sentral Eropa untuk memberikan pasar pemberitahuan terlebih dahulu tentang niatnya menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya dalam 11 tahun pada Juli ini.

Namun, meningkatnya kekhawatiran resesi dapat membatasi kapasitas bank sentral untuk mengetatkan kebijakan moneter.

Sentix Economic Index pada Juli 2022 menunjukkan semangat investor di 19 negara zona euro telah menurun ke level terendah sejak Mei 2020, menunjuk ke arah resesi yang "tak terhindarkan".

Diketahui bahwa tingginya inflasi di Eropa didorong oleh meroketnya harga gas selama beberapa bulan terakhir.

Harga gas alam di Eropa pada Senin (4/7) naik ke level tertinggi yang tidak terlihat sejak awal Maret karena pemogokan yang direncanakan di Norwegia menambah hambatan imbas pengurangan pasokan dari Rusia.

Harga gas bulan depan di pusat Dutch TTF, yang merupakan patokan Eropa untuk perdagangan gas alam, terakhir terlihat diperdagangkan naik 7,8 persen atau mencapai 175,5 euro (USD 180,8) per megawatt-jam.

2 dari 3 halaman

Ramalan Nomura: AS, Inggris, Eropa Hingga Jepang Bakal Resesi 12 Bulan Kedepan

Kepala ekonom di perusahaan keuangan jepang Nomura, Rob Subbaraman meramal bahwa sejumlah negara ekonomi besar di dunia akan jatuh ke dalam resesi dalam 12 bulan ke depan, karena bank sentral bergerak untuk secara agresif memperketat kebijakan moneter untuk melawan lonjakan inflasi. 

Pernyataan Subbaraman menandai ramalan terbaru dari banyak prediksi bank-bank besar di dunia terkait resesi ekonomi.

"Saat ini bank sentral, banyak dari mereka telah beralih ke mandat tunggal, dan itu untuk menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter adalah aset yang terlalu berharga untuk hilang. Jadi mereka akan menjadi sangat agresif," kata Subbaraman, yang juga merupakan kepala riset pasar global Asia ex-Japan, dikutip dari CNBC International Selasa (5/7/2022). 

"Itu berarti kenaikan tarif muatan depan. Kita sudah memperingatkan selama beberapa bulan tentang risiko resesi. Sekarang kita melihat banyak negara maju yang benar-benar bakal jatuh ke dalam resesi," ujarnya kepada CNBC Street Signs Asia.

Selain Amerika Serikat, Nomura juga memperkirakan resesi akan terjadi di negara-negara Eropa atau zona euro, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Kanada tahun depan.

Subbaraman menyebut, bank-bank sentral di seluruh dunia mempertahankan kebijakan moneter yang longgar terlalu lama, dengan harapan inflasi akan bersifat sementara.

"Satu hal lagi yang saya tunjukkan bahwa, ketika ada banyak ekonomi yang melemah, Anda tidak dapat mengandalkan ekspor untuk pertumbuhan. Itulah alasan lain mengapa kita menganggap risiko resesi ini sangat nyata dan kemungkinan akan terjadi,” jelasnya. 

3 dari 3 halaman

Risiko yang Dihadapi Negara Ekonomi Besar

Dalam catatan penelitiannya, Nomura menggarisbawahi beberapa negara lain termasuk Australia, Kanada, dan Korea Selatan yang mengalami lonjakan harga di sektor perumahan yang didorong oleh utang.

Laporan Nomura mengatakan, negara-negara ini berisiko mengalami resesi yang lebih dalam dari perkiraan jika kenaikan suku bunga memicu kegagalan perumahan dan deleveraging.

"Salah satunya yang tak biasa adalah di China, yang sudah pulih dari resesi karena ekonomi terbuka di tengah kebijakan akomodatif, namun ada risiko penguncian baru dan resesi lain, selama Beijing tetap pada strategi nol-Covid-19," kata catatan itu.

Subbaraman memperingatkan bahwa, jika bank sentral tidak memperketat kebijakan moneter untuk menurunkan inflasi sekarang, dampak berat agi perekonomian karena berpindah ke rezim inflasi yang tinggi akan jauh lebih besar.

"Ini akan menyebabkan spiral harga upah, yang bahkan lebih menyakitkan bagi ekonomi dan bagi masyarakat dalam jangka panjang," tambahnya.