Sukses

Ancaman Ekonomi Post Covid-19: dari Inflasi, Krisis Pangan, hingga Jadi Negara Gagal

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membeberkan berbagai ancaman ekonomi ke depan di masa post Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membeberkan berbagai ancaman ekonomi ke depan di masa post Covid-19. Berbagai gejolak yang terjadi membuat angka inflasi melonjak, sehingga harga komoditas ikut terangkat.

Airlangga Hartarto mengatakan, tantangan berikutnya yang tengah diwaspadai yakni konflik. Kondisi tersebut mendorong perubahan krisis baru di sektor energi, pangan, dan juga keuangan di beberapa negara.

"Sebanyak 60 negara tercatat mengalami kesulitan, atau bisa jadi negara gagal," ujar Menko Airlangga dalam sesi tatap muka dengan direktur utama di sektor jasa keuangan, Kamis (7/7/2022).

Selain itu, dunia sedang menghadapi ancaman perubahan iklim (climate change). Airlangga bersyukur, Indonesia saat ini masih terselamatkan oleh hujan yang terjadi terus menerus.

"Namun tahun depan semester kedua, kita lihat kondisi iklim yang tentu akan bisa pengaruhi pangan," imbuhnya seraya mewaspadai.

Tak ayal, situasi tersebut juga bakal berpengaruh terhadap harga komoditas, sampai ongkos pengeluaran masyarakat yang melonjak akibat didorong oleh lonjakan inflasi.

"Tentu dampaknya itu secara langsung kepada harga barang, tekanan inflasi, pengetatan kebijakan moneter dalam bentuk likuiditas dan kenaikan suku bunga, yang tentu mengalami market akan volatilitas lagi di seluruh dunia," tuturnya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 4 halaman

PBB: 94 Negara Alami Krisis Pangan, Energi dan Keuangan

Sebelumnya, dunia tengah menghadapi banyak tantangan. Di tengah upaya pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19, hampir semua negara harus menghadapi deretan krisis akibat pecahnya perang antara Rusia dengan Ukraina.

Masalah utama seluruh negara di dunia saat ini adalah gangguan rantai pasok yang membuat harga berbagai komoditas melonjak. Bahkan Deputi Sekretaris Jenderal PBB, Amina J Mohammed mengaku sulit menemukan solusi efektif masalah ini.

Penyelesaian berbagai krisis terutama krisis pangan ini tidak akan bisa terjadi tanpa adanya paket kebijakan yang terintegrasi antar negara.

"Saat ini krisis global masih mendominasi berita utama di seluruh dunia, yang disebabkan oleh konflik Rusia-Ukraina," ujar Amina dalam Steering Committee Forum Global Crisis Response Group (GCRG), dikutip di Jakarta, Minggu (26/6/2022).

Forum tersebut menyoroti pentingnya untuk membantu negara-negara yang terdampak untuk meningkatkan likuiditas dan ruang fiskal. Tujuannya mengamankan Neraca Pembayaran dan membantu membangun program perlindungan sosial yang kokoh untuk masyarakat rentan.

Executive Secretary UN Economic Commission for Africa, mewakili UNCTAD, Vera Song We menilai peningkatan ruang fiskal untuk kebutuhan masyarakat bersifat mendesak. Maka yang perlu dilakukan yakni mendorong lembaga keuangan internasional untuk memberikan pembiayaan, dan memperluas cakupan negara penerima pembiayaan.

"Rekomendasi yang kami sampaikan untuk meningkatkan ruang fiskal dan memenuhi kebutuhan mendesak masyarakat," kata Vera dalam pertemuan tersebut.

 

3 dari 4 halaman

Usulan PBB

Penasihat Pembangunan Berkelanjutan PBB, David Nabarro, mengusulkan beberapa langkah yang perlu diambil segera untuk mengantisipasi krisis pangan. Antara lain yaitu meningkatkan ketersediaan bahan pangan dan pupuk, mengintervensi upaya penurunan harga, mengintegrasikan kembali pasokan pangan dan pupuk dari Rusia dan Ukraina ke pasar dunia.

Daid juga mengusulkan pencabutan aksi pembatasan ekspor, melarang upaya penimbunan pasokan, meningkatkan akses petani ke benih, pupuk, dan input lainnya. Sekaligus mempertahankan transformasi sistem pangan yang sejalan dengan tujuan SDGs.

Asisten Sekjen PBB dan Direktur Biro Kebijakan dan Program UNDP, Haoliang Xu menilai saat ini PBB telah mengidentifikasi 94 negara atau sekitar 1,2 miliar orang yang mengalami dampak krisis pangan, energi dan keuangan. PBB sedang mengelola dana sebesar sekitar USD 21 juta untuk pembiayaan ke depan.

"Hingga saat ini terdapat 70 negara yang telah mengajukan proposal bantuan, 69 negara diantaranya senilai USD 17 Juta telah disetujui," kata dia.

Di sisi lain PBB memobilisasi Country Team dengan FAO menjadi Lead dalam proposal dan pendanaan. Hal ini didukung oleh UNDP, UNICEF dan 22 Lembaga lainnya.

“Kami telah mengajukan proposal kepada G20 Finance Minister untuk mendukung IMF terkait program Food Import Financing Facility (FIFF),” ujar Dirjen FAO, Dong You.

4 dari 4 halaman

Membuka Akses Laut Hitam

Sementara itu Sekjen International Chamber of Commerce, John Denton menyarankan agar PBB mengeluarkan resolusi untuk membuka akses Laut Hitam terhadap arus komoditas pangan dan energi. Hal ini dapat didukung oleh G7 dan diprediksi akan mendapat sambutan hangat oleh negara-negara lainnya.

Sebagai Co-Chair di B20, ICC akan meminta chair untuk merepresentasikan dalam forum dan mengembangkannya menjadi rekomendasi dalam B20 dan G20 Leaders.

Sekretaris Eksekutif UNECE (UN Economic Commission for Europe) Olga Alga Yerova, menyampaikan perlunya memperhatikan transportasi sebagai fasilitas dari supply chain. Lebih lanjut, ia juga menekankan pentingnya koordinasi dari para pembuat kebijakan dalam memitigasi disrupsi rantai pasok sekaligus menangani dekarbonisasi.

"Saat ini ekonomi sirkuler telah menjadi urgensi sebagaimana elaborasi dalam Brief No. 2 GCRG," kata dia.

Wakil Sekjen Departemen Urusan Politik dan Pembangunan Perdamaian, Rosemary DiCarlo mengatakan saat ini pihaknya sedang bekerja sama dengan UNCTAD mengenai aspek dukungan legal. Semisal kebutuhan tim monitor pada kapal-kapal yang akan bernavigasi di Laut Hitam.

Sebagai informasi, rekomendasi Brief No. 2 GCRG fokus pada isu terkait pangan. Selanjutnya, pada Brief No. 3, GCRG akan lebih fokus pada penanganan isu energi.