Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah dibuka menguat pada hari ini, Rabu 13 Juli 2022. Penguatan rupiah disokong oleh kondisi perekonomian domestik yang masih positif.
Kurs rupiah pagi ini bergerak menguat 20 poin atau 0,13 persen ke posisi 14.975 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 14.995 per dolar AS.
Baca Juga
"Penguatan rupiah mungkin ditopang oleh kondisi ekonomi yang masih bagus, prospek pemulihan yang masih terus berlangsung, dan kondisi external balance kita yang sangat baik," kata Ekonom Senior Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto saat dihubungi di Jakarta.
Advertisement
Kendati demikian, lanjut Rully, sentimen global masih belum terlalu baik sehingga tetap berpotensi menekan rupiah.
"Pasar masih menunggu rilis data inflasi AS yang akan diumumkan nanti malam," ujar Rully.
Data inflasi konsumen AS pada Juni diekspektasikan akan mencetak rekor tertinggi baru dalam 49 tahun yaitu sebesar 8,8 persen.
The Fed sendiri diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada pertemuan 26-27 Juli 2022 mendatang.
Sementara itu, kenaikan jumlah kasus positif COVID-19 di Tanah Air juga bisa memengaruhi pergerakan rupiah. Mengutip laman covid19.go.id, pada Selasa (13/7) kemarin terdapat penambahan kasus baru COVID-19 sebanyak 3.361 kasus.
"Kenaikan kasus COVID-19 ini mungkin akan sedikit menunda transisi ke endemi," kata Rully.
Rully memperkirakan hari ini rupiah akan bergerak di kisaran 14.955 per dolar AS hingga 15.015 per dolar AS.
Pada Selasa (12/7) lalu, rupiah ditutup melemah 20 poin atau 0,13 persen ke posisi 14.995 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya 14.975 per dolar AS.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
BI Klaim Pelemahan Rupiah Tak Seburuk Ringgit Malaysia
Bank Indonesia (BI) mengklaim, pelemahan nilai tukar Rupiah atau Depresiasi masih lebih baik ketimbang sejumlah negara berkembang lainnya di tengah tekanan geopolitik dunia akibat konflik Rusia dan Ukraina.
Tercatat, nilai tukar Rupiah sampai dengan 22 Juni 2022 terdepresiasi sekitar 4,14 secara year to date (ytd).
Gubernur BI Perry Warjiyo bilang, capaian tersebut lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang kawasan Asia Selatan maupun Asia Tenggara. Seperti India 5,17 persen, Malaysia 5,44 persen, dan Thailand 5,84 persen.
"Depresiasi Rupiah masih lebih baik ketimbang mata uang sejumlah negara berkembang lainnya," ujarnya dalam video konferensi Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan BI - Juni 2022, Kamis (23/6/2022).
Perry menjelaskan, depresiasi Rupiah tersebut sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara untuk merespons peningkatan tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global.
Sementara itu, pasokan valas domestik tetap terjaga dan persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia tetap positif.
Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati perkembangan pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi kurs Rupiah sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi.
"Hal ini untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional," tutupnya.
Advertisement
Bagaimana Perkembangan Rencana Penerbitan Rupiah Digital? Ini Kata BI
Perkembangan aset kripto berpotensi menimbulkan sumber risiko baru yang bisa mempengaruhi stabilitas ekonomi, moneter, dan sistem keuangan. Oleh sebab itu, Bank Indonesia memandang perlu ada kerangka regulasi baru untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi dari perkembangan aset kripto ini.
"Guna mengatasi risiko terhadap stabilitas dari aset kripto tersebut, dibutuhkan kerangka regulasi untuk mengatasinya," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Doni P Joewono dalam Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia 2022: Digital Currency, Nusa Dua, Bali, Selasa (12/7/2022).
Keberadaan aset kripto ini melatarbelakangi bank sentral dalam menjajaki desain dan penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau mata uang digital yang diterbitkan oleh bank sentral. Mayoritas bank sentral dunia telah mulai melakukan tahapan riset dan percobaan sesuai dengan karakteristik negaranya masing-masing.
Selain itu, dukungan dan masukan industri juga merupakan masukan penting bagi bank sentral dalam merencanakan desain CBDC. Berbagai bank sentral berhati-hati dan terus mempelajari kemungkinan dampak dari CBDC tersebut, termasuk Indonesia.
"Bank Indonesia terus mendalami CBDC dan akhir tahun ini berada pada tahap untuk mengeluarkan white paper pengembangan Rupiah Digital," katanya.
Eksplorasi penerbitan CBDC dilakukan berdasarkan enam tujuan yaitu menyediakan alat pembayaran digital yang risk-free menggunakan central bank money. Memitigasi risiko non-sovereign digital currency. Memperluas efisiensi dan tahapan sistem pembayaran, termasuk cross border.
Kemudian memperluas dan mempercepat inklusi keuangan. Menyediakan instrumen kebijakan moneter baru dan memfasilitasi distribusi fiscal subsidy.
Penerbitan CBDC juga membutuhkan tiga pre-requisite yang perlu dipastikan untuk dimiliki suatu negara. Antara lain desain CBDC yang tidak mengganggu stabilitas moneter dan sistem keuangan. Desain CBDC yang 3i (Integrated, interconnected, and Interoperable) dengan infrastruktur FMI-Sistem Pembayaran. Serta pentingnya teknologi yang digunakan pada tahap eksperimen untuk memahami bagaimana CBDC dapat diimplementasikan (DLT-Blockchain dan non-DLT).