Liputan6.com, Jakarta Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung mengatakan dunia saat ini tengah menghadapi risiko stagflasi yang serius. Hal ini tak terlepas dari dampak pandemi Covid-19 dan ketegangan politik yang terjadi antara Ukraina dan Rusia.
"Dampak majemuk dari Covid-19 pandemi dan ketegangan geopolitik yaitu perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung telah terwujud baru-baru ini prospek pertumbuhan global," kata Juda dalam agenda Central Bank Policy Mix for Stability and Economic Recovery, di Nusa Dua Bali, Rabu (13/7).
Sebagai informasi, stagflasi merupakan kondisi ekonomi ketika inflasi dan kontraksi terjadi dalam satu waktu. Hal ini ditandai dengan kombinasi pertumbuhan ekonomi yang stagnan, kenaikan inflasi yang cepat dan angka pengangguran yang tinggi.
Advertisement
Latar belakang tersebut membuat Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan global bulan lalu menjadi 2,9 persen. OECD juga melakukan hal yang sama dengan memangkas proyeksi pertumbuhan global untuk tahun 2022 menjadi hanya sekitar 3 persen. Sedangkan IMF sebelumnya telah menurunkan proyeksinya sejak April.
Juda mengatakan saat ini inflasi di berbagai negara dunia tengah mengalami peningkatan. Penyebabnya kenaikan harga pangan dan energi yang melonjak drastis.
"Inflasi meningkat di seluruh dunia, dengan harga pangan dan energi memukul rekor tertinggi, mencapai standar hidup di seluruh dunia," kata dia.
Akibatnya, beberapa negara maju melakukan pengetatan kebijakan moneter yang agresif untuk mengatasi inflasi. Mereka pun mengambil langkah memperketat kondisi keuangan global dan telah mendorong pasar volatilitas baru-baru ini.
Juda mengatakan peningkatan inflasi didorong tekanan sisi penawaran sebagai akibat wajar dari kenaikan harga komoditas internasional. Meski begitu, inflasi inti tetap dalam target Bank Indonesia jangkauan.
Sementara itu, inflasi volatile food (VF) meningkat, terutama dipengaruhi kenaikan harga pangan global dan kendala sisi penawaran yang disebabkan oleh cuaca buruk.
"Inflasi tekanan pada harga yang diatur (AP) tetap tinggi, dipengaruhi oleh harga tiket pesawat dan energi," katanya.
Â
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kebijakan BI untuk Hadapi Risiko Stagflasi
Untuk menjawab tantangan ini, bauran kebijakan Bank Indonesia saat ini ditujukan untuk menjaga stabilitas makro, memfasilitasi pemulihan ekonomi, dan menavigasi ekonomi dan keuangan digital.
Sehingga Rapat Dewan Gubernur memutuskan untuk mempertahankan kebijakan kecepatan.
Juda mengatakan Bank Indonesia akan tetap mewaspadai tekanan inflasi dan dampaknya terhadap ekspektasi inflasi. Bank sentral juga siap untuk menyesuaikan suku bunga jika ada tanda-tanda inflasi inti yang lebih tinggi terdeteksi. "BI terus menjaga kecukupan likuiditas untuk mendukung pembiayaan perekonomian dan menjaga stabilitas sistem keuangan," kata dia. Selain itu BI akan menjaga kebijakan makroprudensial tetap akomodatif untuk mendorong pembiayaan, perekonomian dan mengatasi efek jaringan parut ekonomi.
Dari sisi kebijakan stabilisasi nilai tukar, BI akan diarahkan untuk mencapai stabilitas Rupiah yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dan mengendalikan inflasi.
"Ini dilakukan melalui triple intervensi, di pasar spot, DNDF, dan pembelian SBN dari pasar sekunder di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih ada," katanya. Terkait sistem pembayaran dan digitalisasi, percepatan sistem pembayaran digitalisasi terus digalakkan untuk integrasi digital nasional ekonomi keuangan. Sehingga dapat merangsang kegiatan ekonomi dan menjadi mesin penggerak pemulihan ekonomi.
"Hal ini dilakukan melalui beberapa inisiatif seperti QRIS, BI FAST, dan sebagainya," katanya.
Dia menambahkan, BI juga memperkuat koordinasi dengan pemerintah pusat, daerah dan instansi terkait melalui tim pengendalian inflasi nasional dan daerah (TPIP dan TPID) untuk mengelola tekanan inflasi di sisi penawaran & meningkatkan produksi.
"Bank Indonesia terus membangun kebijakan moneter dan fiskalkoordinasi dengan Pemerintah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan mendukung proses pemulihan ekonomi nasional," pungkasnya.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Â
Advertisement
Ancaman Stagflasi Incar Indonesia, Seberapa Mengerikan?
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan stagflasi menjadi ancaman besar bagi semua negara, termasuk Indonesia. Maka keadaan tersebut harus direspon dengan baik agar Indonesia tidak terjerumus ke dalamnya.
Menkeu menjelaskan, tingkat inflasi di Amerika Serikat yang sangat tinggi yaitu 8,4 persen yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir menjadi ancaman nyata bagi pemulihan ekonomi Amerika Serikat dan bahkan ancaman dunia. Bank Sentral Amerika Serikat - The Fed, akan melakukan percepatan pengetatan moneter.
"Saat ini, kenaikan suku bunga acuan diperkirakan dapat terjadi hingga 7 kali di tahun 2022 dan berpotensi diikuti dengan kontraksi balance sheet yang menyebabkan lebih ketatnya kondisi likuiditas global," kata Menkeu dalam Rapat Paripurna DPR dengan agenda Penyampaian Pemerintah terhadap KEM dan PPKF RAPBN Tahun Anggaran 2023, Jum'at (20/5/2022).
Sementara itu, kata Menkeu, sejak awal 2021 sampai dengan Maret 2022, sejumlah negara berkembang G20 seperti Brazil, Meksiko, dan Afrika Selatan telah menaikkan suku bunga acuannya secara sangat signifikan.
"Spillover effect dari pengetatan kebijakan moneter dan likuiditas global ini harus kita waspadai, khususnya terhadap kenaikan cost of fund untuk pembiayaan, baik APBN maupun sektor korporasi, di tengah fase pemulihan ekonomi yang masih awal dan masih rapuh," ujar Sri Mulyani.
Pergeseran Risiko
Bandahara negara ini menegaskan, pergeseran risiko, tantangan inflasi, dan pengetatan moneter ini menimbulkan situasi pilihan kebijakan (policy trade-off) yang sangat sulit, yang dihadapi oleh semua negara di dunia.
Pilihan kebijakan tersebut adalah, apakah segera mengembalikan stabilitas harga (mengendalikan inflasi) yang berarti pengetatan moneter dan fiskal yang akan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan, atau tetap mendukung akselerasi pemulihan ekonomi setelah terpukul pandemi.
"Jika tidak terkelola, risiko global ini akan menggiring kepada kondisi stagflasi, yaitu fenomena inflasi tinggi dan terjadinya resesi seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada periode awal 1980-an dan 1990-an," ujar Menkeu.
Kondisi stagflasi akan memberikan imbas negatif luar biasa ke seluruh dunia, terutama terhadap negara-negara berkembang dan emerging market.
"Perubahan risiko global ini harus menjadi fokus perhatian dan harus dikelola secara tepat langkah dan tepat waktu, hati-hati dan efektif. Pilihan kebijakan menjadi sangat sensitif dan tidak mudah," pungkas Menkeu.Â
Advertisement