Liputan6.com, Jakarta - Inflasi Amerika Serikat melonjak hingga 9,1 persen pada Juni 2022, didorong kenaikan harga makanan dan BBM yang brlangsung di negara itu.
Dilansir dari Channel News Asia, Kamis (14/7/2022) Consumer Price Index sebesar 9,1 persen selama 12 bulan terakhir hingga Juni 2022, merupakan peningkatan terbesar sejak November 1981, menurut Departemen Tenaga Kerja AS.
Baca Juga
Energi menyumbang setengah dari kenaikan harga di AS dalam sebulan, karena harga bensin melonjak 11,2 persen pada Juni 2022 dan 59,9 persen selama setahun terakhir.
Advertisement
Biaya energi di AS secara keseluruhan mencatat kenaikan tahunan terbesar sejak April 1980.
Ditambah lagi, perang Rusia-Ukraina telah mendorong harga energi dan pangan global lebih tinggi, serta harga gas AS bulan lalu mencapai rekor lebih dari USD 5 per galon.
Namun, biaya energi di AS telah mereda dalam beberapa pekan terakhir, yang dapat mulai mengurangi beberapa tekanan pada konsumen.
Tetapi bank sentral atau Federal Reserve (The Fed) kemungkinan akan melanjutkan kenaikan suku bunga agresifnya karena mencoba meredam lonjakan harga dengan mendinginkan permintaan sebelum inflasi naik lagi.
Di tengah naiknya inflasi, survei ekonomi The Fed juga menunjukkan kekhawatiran resesi yang meningkat.
Laporan yang disebut sebagai Beige Book ini mengumpulkan pandangan dari 12 distrik The Fed, melihat pertumbuhan ekonomi akan berjalan biasa-biasa saja.
Adapun lima distrik yang mengkhawatirkan ada peningkatan risiko resesi.
"Serupa dengan laporan sebelumnya, prospek pertumbuhan ekonomi masa depan sebagian besar negatif di antara distrik yang melaporkan, dengan ekspektasi melemahnya permintaan lebih lanjut selama 6 hingga 12 bulan ke depan," kata laporan itu, dikutip dari CNBC International.
Laporan The Fed : Kenaikan Harga Akan Bertahan Sampai Akhir Tahun
Laporan Beige Book The Fed juga menemukan kenaikan harga yang substansial di seluruh negeri.
Harga di sejumlah sektor industri seperti kayu dan baja telah menurun, tetapi ada kenaikan yang signifikan pada pangan, energi, dan komoditas lainnya.
Perusahaan-perusahaan juga telah memberi sinyal bahwa mereka masih dapat meneruskan kenaikan harga kepada pelanggan, sehingga faktor pendorong inflasi berpotensi masih tetap kuat.
"Sebagian besar kontak memperkirakan tekanan harga akan bertahan setidaknya sampai akhir tahun," ungkap laporan tersebut.
Perusahaan di empat distrik mengatakan mereka sedang mempertimbangkan atau telah memberikan bonus untuk mengimbangi kenaikan harga.
Sementara dua distrik lainnya, pekerja mencari upah yang lebih tinggi untuk mengimbangi inflasi yang mencapai 9,1 persen di bulan Juni.
Advertisement
IMF Pangkas Ramalan Pertumbuhan Ekonomi AS Jadi 2,3 Persen
Diketahui bahwa kekhawatiran resesi telah muncul di AS baru-baru ini karena konsumen yang terpukul oleh harga yang tinggi hingga memperlambat aktivitas serta investasi domestik mendingin.
Di kuartal pertama, ekonomi AS kontraksi 1,6 persen. Merespon biaya pangan dan energi yang tinggi, The Fed telah mengupayakan serangkaian kenaikan suku bunga yang bertujuan untuk menjinakkan inflasi.
Adapun Dana Moneter Internasional (IMF) yang kembali memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, menjadi 2,3 persen dari semula 2,9 persen pada akhir Juni 2022.
Dilansir dari Channel News Asia, Rabu (13/7/2022) penurunan itu terjadi karena data terbaru menunjukkan melemahnya pengeluaran konsumen.
IMF juga memangkas perkiraan pertumbuhan PDB riil Amerika Serikat pada 2023 mendatang menjadi 1,0 persen dari semula 1,7 persen pada 24 Juni 2022, ketika bertemu dengan pejabat AS untuk penilaian tahunan kebijakan ekonomi negara itu.
IMF mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa lonjakan inflasi yang luas "memunculkan risiko sistemik baik bagi Amerika Serikat dan ekonomi global".
"Prioritas kebijakan sekarang harus memperlambat pertumbuhan upah dan harga secara cepat tanpa memicu resesi," kata IMF dalam laporan staf Article IV.
"Ini akan menjadi tugas yang sulit," ujar badan tersebut.