Liputan6.com, Jakarta - EkonomiChina mengalami kontraksi tajam pada kuartal kedua tahun ini karena lockdown Covid-19 yang meluas menghantam bisnis dan konsumen.
Dilansir dari BBC, Jumat (15/7/2022) Produk domestik bruto (PDB) China turun 2,6 persen dalam tiga bulan hingga akhir Juni 2022 dari kuartal sebelumnya.
Baca Juga
Pada basis year-on-year, ekonomi China tumbuh hanya 0,4 persen di periode April-Juni 2022, kurang dari ekspektasi 1 persen.
Advertisement
"Pertumbuhan PDB kuartal kedua adalah hasil terburuk sejak awal pandemi, karena lockdown, terutama di Shanghai, sangat berdampak pada aktivitas pada awal kuartal," kata Tommy Wu, Ekonom Utama di Oxford Economics.
Angka resmi bulan lalu menunjukkan peningkatan kinerja ekonomi China menyusul dicabutnya pembatasan.
"Namun, data Juni lebih positif, dengan aktivitas meningkat setelah sebagian besar lockdown dicabut. Tetapi penurunan real estat terus menyeret pertumbuhan," tambah Tommy Wu.
Sementara itu, Jeff Halley, analis pasar senior untuk Asia Pasifik di platform perdagangan Oanda, mengatakanbahwa dia juga melihat beberapa titik terang dalam data ekonomi hari ini dari China.
"PDB lebih buruk dari yang diharapkan, namun pengangguran turun menjadi 3,5 persen dan penjualan ritel mengungguli secara mengesankan," ungkap Halley.
"Pasar keuangan cenderung berkonsentrasi pada angka ritel, yang tampaknya menunjukkan konsumen China dalam kondisi yang lebih baik dari yang diharapkan," jelasnya.Â
Sebagai informasi, Kota Shanghai, yang menjadi pusat ekonomi di China memberlakukan lockdown selama dua bulan sejak akhir Maret 2022 ketika pihak berwenang berusaha menahan lonjakan kasus Covid-19.
Meski pemulihan pasca lockdown Covid-19 diperkirakan akan terjadi pada paruh kedua tahun ini, para ekonom meyakini target resmi pertumbuhan ekonomi China 5,5 persen tidak akan dapat dicapai di 2022.
Lulusan Baru di China Susah Cari Kerja Imbas Pandemi Covid, Pengganguran Bertambah
Â
Adapun tingkat pengangguran di antara usia muda di China yang telah mencapai lebih dari 18 persen di tengah pandemi Covid-19.
Angka tersebut tiga kali lebih besar dari tingkat pengangguran resmi perkotaan dan rekor tertinggi bagi pencari kerja berusia 16 hingga 24 tahun di China.Â
Dilansir dari Nikkei Asia, Jumat (15/7/2022) 10,76 juta lulusan perguruan tinggi di China memasuki salah satu pasar kerja terburuk dalam beberapa dekade, karena ekonomi yang terhenti akibat kebijakan ketat nol-Covid-19, pasar properti yang merosot, hingga aturan ketat di sektor teknologi.
Perusahaan teknologi terkemuka seperti Tencent dan Alibaba, yang pernah menjadi saluran utama bagi lulusan baru, dikabarkan memangkas puluhan ribu staf.
Namun, belum ada perusahaan yang menanggapi kabar terkait PHK tersebut.
Bahkan mereka yang memiliki pekerjaan melihat sekeliling dengan gugup saat perusahaan mengumumkan pemotongan baru setiap saat.
"Pengumuman itu datang tiba-tiba. Beberapa karyawan diminta untuk segera meninggalkan tempat kerja setelah mereka diberi tahu," bebernya.
Untuk mengatasi meningkatnya pengangguran, Beijing menawarkan insentif dan subsidi kepada perusahaan yang akan membuat staf tetap digaji.Â
"Bisnis kemungkinan akan melihat permintaan domestik dan eksternal yang lemah dalam waktu lama, dan akan tetap konservatif dalam mempekerjakan dan mempertahankan karyawan," kata perusahaan layanan keuangan BofA Securities dalam laporan pada bulan Juni.Â
BofA Securities memprediksi, akan pengangguran usia muda di China bisa mencapai 23 persen pada Juli dan Agustus 2022.Â
"Tantangan pasar tenaga kerja tahun ini bisa lebih besar daripada (di awal pandemi), mengingat tidak adanya akhir yang jelas dari penurunan ekonomi dan sedikit kemungkinan rebound yang cepat atau kuat," jelas perusahaan itu.
Senada, seorang perekrut yang berbasis di Guangzhou, yakni Amy Tan juga mengatakan bahwa "pasar kerja sangat lesu karena langkah-langkah pencegahan Covid-19.
"Perusahaan tidak merekrut karena penjualan mereka terpengaruh," ungkapnya.
Â
Â
Advertisement
IMF : China Butuh Lebih Banyak Kebijakan Fiskal dan Moneter demi Tangani Dampak Ekonomi dari Covid-19
Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bahwa China perlu menambahkan lebih banyak dukungan kebijakan fiskal dan moneter untuk mengatasi perlambatan ekonomi yang disebabkan oleh lockdown Covid-19.Â
Beberapa kota di China pekan ini memberlakukan pembatasan baru dalam upaya menahan penuluran Covid-19, dengan pusat ekonomi Shanghai meluncurkan upaya tes massal lainnya.
Juru bicara IMF Gerry Rice menyebut, diperlukannya kebijakan penahanan pandemi Covid-19 yang tidak terlalu ketat.
"Kami menyambut baik pergeseran ke kebijakan fiskal yang lebih ekspansif tahun ini, tetapi bahkan lebih banyak dukungan akan membantu mengatasi perlambatan pertumbuhan yang sedang berlangsung," kata Rice, ketika ditanya tentang saran kebijakan IMF untuk China, dikutip dari Channel News Asia Jumat (15/7/2022).
"Dukungan fiskal ini akan sangat efektif, dalam pandangan kami, jika difokuskan pada rumah tangga rentan melalui transparansi dan penguatan sistem perlindungan sosial," ujarnya.
Mengingat inflasi inti yang rendah di China, IMF percaya bank sentral negara itu harus terus memberikan dukungan kebijakan moneter.
Rice mengatakan penurunan suku bunga kebijakan utama awal tahun ini adalah "langkah yang disambut baik" yang menurunkan biaya pinjaman dan memperkuat investasi.
Selain itu, peningkatan vaksinasi juga diperlukan untuk menyesuaikan strategi nol-Covid-19 China yang telah mendorong lockdown dan gangguan rantai pasokan yang memengaruhi ekonomi global.
"Mengurangi gangguan aktivitas ekonomi dari Covid-19 akan membutuhkan peningkatan suntikan vaksinasi booster dan menargetkan lansia yang kurang divaksinasi," jelas Rice.
"Ini pada akhirnya akan memungkinkan penyesuaian strategi penahanan menjadi lebih fleksibel dan tidak terlalu membatasi," tambah dia.