Sukses

OPINI: Antisipasi Dampak Krisis Energi

Pemerintah Indonesia tidak boleh lengah dengan meningkatnya risiko krisis ekonomi global yang dampaknya bisa merambat ke tanah air.

Liputan6.com, Jakarta Oleh:  Peneliti INDEF, Abra Talattov 

 

Eskalasi konflik Rusia-Ukraina yang telah berlangsung selama empat bulan lebih masih belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.

Perang tersebut tidak hanya menelan korban jiwa dari kedua belah pihak, tetapi dampaknya juga meluas ke seluruh sendi-sendi sosial, ekonomi, dan politik di seluruh dunia.

Contoh korbannya adalah Sri Lanka yang baru saja mengalami tsunami politik dimana rakyat Sri Lanka berhasil menjebol istana presiden akibat tidak tahan lagi menderita atas ledakan inflasi yang mencapai 30 persen serta terhentinya pasokan pangan dan energi.

Situasi kritis yang dialami Sri Lanka seolah menjadi pembuktian atas ramalan IMF yang memperkirakan 60 negara di dunia akan mengalami krisis ekonomi, dan bahkan 42 negara diantaranya dipastikan menuju kebangkrutan. Meskipun Indonesia tidak masuk dalam daftar negara yang diprediksi ambruk oleh IMF.

Pemerintah Indonesia tidak boleh lengah dengan meningkatnya risiko krisis ekonomi global yang dampaknya bisa merambat ke tanah air.

Salah satu risiko besar yang menjadi ancaman stabilitas sosial, ekonomi dan politik nasional ialah krisis energi akibat tren peningkatan harga komoditas energi dunia.

Di tengah kemelut Rusia-Ukraina serta meningkatnya permintaan energi global pasca pandemi Covid-19, lonjakan harga minyak mentah dunia tidak terbendung. Harga crude jenis Brent telah melompat sampai 51,6 persen dalam setahun terakhir menjadi USD113,6/barel per 28 Juni 2022. Begitupun dengan harga gas alam (natural gas) yang melonjak sampai 80 persen menjadi USD6,6/MMBtu per 28 Juni 2022 (yoy).

Lonjakan harga komoditas energi global berimplikasi terhadap meningkatnya harga jual bahan bakar di berbagai negara.

Bagi negara-negara maju yang menjunjung mekanisme pasar, kenaikan harga BBM dianggap wajar sebagai konsekuensi tidak adanya intervensi harga dari pemerintah.

Akibatnya, beberapa negara maju mencatatkan tingkat inflasi yang tinggi seperti Amerika Serikat (8,6 persen), Jerman (7,4 persen), Inggris (9,1 persen), dan Kanada (7,7 persen).

Sementara bagi Indonesia, meskipun terdapat instrumen stabilisasi harga BBM dan LPG melalui subsidi dan kompensasi energi, upaya menjaga laju inflasi juga menjadi tantangan besar mengingat inflasi per Juni 2022 telah menyentuh 4,35 persen (yoy).

Selain itu, ongkos untuk mengendalikan harga energi juga semakin besar akibat tingginya ketergantungan impor crude dan BBM serta makin lebarnya disparitas harja jual eceran dengan harga jual keekonomian produk BBM dan LPG.

Sebagai respon terhadap kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) di atas USD 100/barel (melampaui asumsi awal USD63/barel), Pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati penambahan anggaran subsidi dan kompensasi energi dalam APBN 2022 dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun.

Lebih spesifik lagi, anggaran subsidi BBM dan LPG 3 kg naik dari Rp77,5 triliun menjadi Rp 149,4 triliun. Sedangkan anggaran kompensasi BBM bertambah dari Rp18,5 triliun menjadi Rp213,2 triliun.

Harus diakui bahwa keputusan pemerintah menambah anggaran subsidi dan kompensasi energi merupakan refleksi peran APBN sebagai shock absorber yang berfungsi untuk meredam dampak tingginya harga energi.

Namun demikian, pemerintah juga harus cermat mengukur daya tahan fiskal dalam menahan beban stabilisasi harga energi.

Apalagi data historis menunjukkan bahwa konsumsi BBM dan LPG bersubsidi cenderung meningkat dimana selama periode 2017–2021, volume penyaluran BBM solar bersubsidi meningkat dari 14,5 juta kilo liter pada tahun 2017 menjadi 15,6 juta kilo liter pada tahun 2021.

Begitupun dengan penyaluran LPG 3 kg bersubsidi yang meningkat dari 6,3 juta metrik ton pada tahun 2017 menjadi 7,5 juta metrik ton pada tahun 2021.

Di sisi lain, beban stabilisasi harga energi juga harus ditanggung Pertamina sebagai BUMN yang menjalankan fungsi penugasan (PSO) dalam menjamin pasokan bahan bakar nasional.

Wujud berbagi beban (burden sharing) yang dipikul Pertamina contohnya adalah menanggung kerugian akibat selisih harga jual eceran (HJE) dengan harga keekonomian pada produk non-PSO seperti pertamax 92 yang mencapai Rp5.450/liter.

Selain itu, tingginya disparitas harga jual antara produk subsidi dengan nonsubsidi juga memunculkan fenomena shifting konsumen produk nonsubsidi ke produk subsidi.

Buktinya, pasca kenaikan harga pertamax per 1 April 2022, volume penjualan pertamax menurun sampai 26,3% dibandingkan bulan Maret 2022. Sebaliknya, konsumsi pertalite justru meningkat hingga 13,8 persen dari 73,18 ribu kilo liter (KL) per hari menjadi 83,28 ribu KL/hari.

Selain itu, volume konsumsi solar bersubsidi juga mengalami peningkatan signifikan hingga 7 persen dari 42,23 ribu KL/hari pada periode 12 Februari – 2 Maret 2022 menjadi 45,17 ribu KL/hari pada periode 3 Maret – 30 April 2022. Situasi serupa juga terjadi pada produk LPG PSO yang mengalami kenaikan hampir 2% setelah adanya kenaikan harga LPG nonsubsidi di bulan Desember 2021 dan Februari 2022.

Adanya fenomena migrasi konsumen nonsubsidi ke produk bersubsidi diperkirakan akan memicu terjadinya over kuota BBM subsidi pada tahun 2022.

Dari kuota volume solar subsidi sebesar 14,91 juta KL, diproyeksikan realisasi tahun 2022 mencapai 17,21 juta KL atau lebih tinggi 15 persen dari kuota.

Begitupun dengan kuota volume pertalite dan premium sebesar 23,05 juta KL, diperkirakan realisasi tahun 2022 mencapai 28,48 juta KL atau lebih besar 24% dibandingkan kuota tahun 2022.

Kekhawatiran terjadinya over kuota tersebut semakin besar mengingat realisasi penyaluran solar bersubsidi sudah mencapai 6,7 juta KL per Juni 2022 atau 45,36 persen dari kuota.

Penyaluran pertalite dan premium per Juni 2022 pun sudah mencapai 11,72 juta KL atau 50,8 persen dari kuota. Konsekuensinya, Pertamina menghadapi risiko terjadinya over kuota BBM dan LPG bersubsidi dimana tidak mungkin bagi Pertamina untuk menanggung beban kerugian atas penjualan produk PSO tersebut.

Sementara itu, kapasitas fiskal sebagai shock absorber juga memiliki limitasi dalam menyerap tambahan anggaran subsidi dan kompensasi energi di tengah upaya menjaga disiplin fiskal.

Besarnya kenaikan konsumsi BBM dan LPG di tengah tren pemulihan ekonomi sebetulnya sangat wajar. Ketersediaan BBM dan LPG juga merupakan faktor fundamental dalam menjaga stabilitas ekonomi.

Namun, dengan mempertimbangkan kapasitas APBN serta masih tingginya risiko ekonomi global ke depan, Presiden Jokowi pun mulai mewanti-wanti publik bahwa apabila APBN telah menyentuh batas kemampuannya maka bukan tidak mungkin akan ada penyesuaian harga BBM.

Apalagi, kebijakan APBN mulai tahun 2023 memasuki fase konsolidasi dimana defisit fiskal wajib kembali ke bawah 3 persen terhadap PDB. Artinya, Pemerintah harus segera menyiapkan kebijakan antisipatif yang dapat meredam dampak inflasi energi di tengah ruang manuver fiskal yang kian terbatas.

Di tengah ancaman over kuota BBM subsidi tersebut, Pertamina mengeluarkan terobosan program pendataan pembeli BBM bersubsidi melalui platform MyPertamina.

Meskipun awalnya sempat menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat, namun inisiatif platform MyPertamina sebetulnya cukup positif dalam mendukung transisi kebijakan subsidi energi yang lebih tepat sasaran.

Dalam jangka pendek, database konsumen BBM bersubsidi melalui platform MyPertamina dapat menjadi basis untuk melaksanakan kebijakan pembatasan penjualan BBM subsidi pasca revisi lampiran Perpres No.191 Tahun 2014 terkait penetapan segmen pengguna BBM subsidi.

Sungguhpun demikian, rencana kebijakan pembatasan penjualan BBM subsidi berbasis kendaraan diperkirakan tidak akan terlalu signifikan dalam mengurangi risiko terjadinya over kuota BBM subsidi.

Misalnya, apabila pemerintah menetapkan pembatasan pengguna pertalite bagi kendaraan roda empat plat hitam 1.500 CC ke bawah serta roda dua 250 CC ke bawah, maka potensi pengurangan volume penjualan pertalite hanya 1,78 juta KL, masih jauh di bawah potensi over kuota Pertalite tahun 2022 sebesar 3,67 juta KL.

Begitu juga dengan solar subsidi, meskipun adanya pembatasan distribusi solar subsidi, potensi over kuota masih cukup besar yaitu 10 persen lebih tinggi dari kuota atau setara 1,44 juta KL.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perbaikan kebijakan subsidi BBM yang lebih tepat sasaran mendesak untuk dilaksanakan.

Apalagi data pemerintah menunjukkan bahwa sebagian besar BBM subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu. Kelompok masyarakat 40 persen terbawah hanya mendapatkan 20,7 persen dari total konsumsi pertalite atau sekitar 17,1 liter per rumah tangga per bulan.

Sementara itu kelompok masyarakat 60 persen teratas menikmati hampir 80 persen dari total konsumsi pertalite atau sekitar 33,3 liter per rumah tangga per bulan.

Isu ketidaktepatan sasaran dalam kebijakan subsidi energi telah menciptakan ketimpangan ekonomi yang makin membesar bagi kelompok rumah tangga miskin.

Ketimpangan terkait distribusi pendapatan antara rumah tangga miskin dengan kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke atas makin sulit dikontrol melalui pemberian subsidi energi.

Subsidi yang tidak tepat sasaran, akan meningkatkan kesenjangan ekonomi dan dapat memicu kerawanan sosial ekonomi di masyarakat.

Oleh karena itu, reformasi subsidi energi sebaiknya tidak dilakukan dengan langkah yang setengah-setengah yaitu pembatasan penjualan BBM subsidi berbasis kendaraan.

Seharusnya mekanisme penyaluran subsidi energi dapat dibuat secara langsung dan tertutup (targeted) berbasis rumah tangga sebagaimana skenario awal pemerintah.

Keberanian pemerintah dalam mengeksekusi transformasi subsidi energi yang solid dan integratif diharapkan dapat memperkuat daya tahan fiskal dalam menghadapi ancaman krisis energi dimasa mendatang.(*)

 

Â