Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia tengah mendorong tingkat inklusi keuangan di dalam negeri, salah satunya melalui dorongan terhadap digitalisasi.
The Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) meminta dorongan itu tetap memperhatikan keamanan konsumen atau pengguna.
Baca Juga
Head of Consumer Finance, Insurance and Pensions Division of the OECD, Flore-Anne Messy mengatakan, dalam hal digitalisasi ini tak bisa disebut sulit atau mudah. Ia menilai dari sisi akses produk keuangan, digitalisasi bisa membantu akses terhadap kredit hingga investasi, tapi di sisi lain masih banyak masyarakat yang rentan.
Advertisement
“Sehingga sangat penting untuk otoritas publik, Bank Indonesia, dan OJK yang ada di Indonesia untuk memastikan adanya kerangka perlindungan konsumen untuk melindungi privasi data,” kata dia dalam konferensi pers di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Sabtu (16/7/2022).
Setidaknya, kata dia, lembaga-lembaga tersebut bisa memastikan konsumen memiliki wadah untuk menampung keresahan yang dihadapi. Dalam hal ini, digitalisasi lagi-lagi bisa dimanfaatkan untuk mencakup ruang lingkup masyarakat yang lebih luas.
“Sehingga akses ke data mereka untuk memahami apa yang mungkin menjadi kesaksian mereka dan pada saat yang sama, pengawas juga dapat menggunalan platform online untuk mengawasi lembaga asuransi,” kata dia.
Ia menyebutkan, digitalisasi bisa dilakukan oleh otoritas publik dengan alat baru untuk mengatur sesuai dengan kebutuhan konsumen. Dengan kemajuan itu, perlu juga dibarengi dengan penegakkan aturan yang berlaku.
Mengatasi Penipuan
Dalam hal ini, artinya berkaitan dengan penipuan berbasis online yang juga erat dengan digitalisasi. Flore-Anne Messy menegaskan OECD juga telah membentuk aturan untuk melawan penipuan seperti scam, phising dan semacamnya.
Ia turut memastikan ada kerangka hukum dengan tujuan melindungi konsumen dari hal tersebut. Sehingga otoritas publik bisa memastikan bahwa tidak ada akses ke penipuan serupa.
Cara lainnya, pembuat kebijakan perlu memberikan pemahaman kepada publik agar mengenal berbagai metode penipuan yang marak terjadi. Termasuk membahas berbagai upaya penanganan dan mewadahi berbagai laporan terkait pelanggaran tersebut.
“Jadi ada bagian di mana regulasi terjadi. Jadi membatasi akses penyedia penipuan ke pasar. Dan ada masalah dengan konsumen yang benar-benar diketahui dan diberikan informasi yang mungkin berguna bagi mereka untuk mengidentifikasi penipuan dan penipuan dengan lebih mudah,” katanya.
“Tentu saja, kita berbicara tentang penipuan umum, lembaga keuangan khususnya staf mereka, yang sebenarnya menjual produk keuangan harus dilatih untuk memastikan bahwa mereka memberikan layanan yang lebih baik kepada konsumen, tapi ini untuk lembaga yang sudah berbadan hukum,” tukasnya.
Advertisement
OJK Perkuat Regulasi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meperkuat regulasi tentang persusahaan fintech Fintech P2P Lending aau penyedia pinjaman online alias pinjol. Atas dasar itu, OJK menerbitkan POJK Nomor 10/POJK.05/2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK LPBBTI/Fintech P2P Lending).
POJK LPBBTI ini dikeluarkan untuk mengembangkan industri keuangan yang dapat mendorong tumbuhnya alternatif pembiayaan, mempermudah dan meningkatkan akses pendanaan bagi masyarakat dan pelaku usaha melalui suatu layanan pendanaan berbasis teknologi informasi.
POJK ini juga merupakan penyempurnaan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK 77/2016) dalam rangka mengakomodasi perkembangan industri yang cepat dan lebih kontributif serta memberikan pengaturan yang optimal pada perlindungan konsumen.
Modal Minimal Rp 25 Miliar
Beberapa substansi penyempurnaan pengaturan dalam POJK LPBBTI yang baru adalah sebagai berikut:
1. Penyelenggara LPPBTI harus didirikan dalam bentuk badan hukum perseroan terbatas dengan modal disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah);
2. Penyelenggara wajib memiliki paling sedikit 1 pemegang saham pengendali (PSP);
3. Penyelenggara harus terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari OJK;
4. Penyelenggara konvensional yang melakukan konversi menjadi Penyelenggara berdasarkan prinsip Syariah wajib memperoleh persetujuan dari OJK;
5. Calon pihak utama (PSP, direksi, dewan komisaris, dan DPS) wajib memperoleh persetujuan dari OJK sebelum menjalankan tindakan, tugas, dan fungsinya sebagai pihak utama;
6. LPBBTI dapat dilakukan melalui pendanaan produktif dan pendanaan multiguna;
7. Batas maksimum pendanaan oleh setiap pemberi dana dan afiliasinya paling banyak 25% dari posisi akhir pendanaan pada akhir bulan;
8. Penyelenggara wajib memenuhi ketentuan batas maksimum manfaat ekonomi pendanaan;
9. Untuk mendukung program pemerintah, Penyelenggara dapat melakukan kerja sama dengan instansi pemerintah untuk menjadi mitra distribusi atas surat berharga negara;
10. Penyelenggara wajib menggunakan sistem elektronik dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dan wajib dimiliki, dikuasai, dan dikendalikan oleh Penyelenggara;
11. Penyelenggara wajib menyampaikan data transaksi pendanaan kepada pusat data fintech lending OJK dengan mengintegrasikan Sistem Elektronik milik Penyelenggara pada pusat data fintech lending;
12. Penyelenggara wajib setiap saat memiliki ekuitas paling sedikit Rp12.500.000 (dua belas miliar lima ratus juta rupiah);
13. Penyelenggara wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) anggota direksi;
14. Penyelenggara wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang anggota dewan komisaris dan paling banyak sama dengan jumlah anggota direksi;
15. Penyelenggara berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) anggota dewan pengawas syariah;
16. Penyelenggara wajib memiliki unit audit internal yang dijalankan oleh paling sedikit 1 (satu) orang SDM; dan
17. Permohonan perizinan, permohonan persetujuan dan pelaporan disampaikan melalui sistem jaringan komunikasi data OJK.
POJK ini berlaku sejak diundangkan pada tanggal 4 Juli 2022 dan sekaligus mencabut POJK 77/2016.
Advertisement