Sukses

Petani Jatim Respon Positif Pembatasan Pupuk Subsidi Menjadi Urea dan NPK

Kebijakan subsidi pupuk jenis Urea dan NPK disambut baik petani di Jawa Timur. Mereka berharap terbatasnya jumlah pupuk bersubsidi sehingga timbul kelangkaan di lapangan tidak terjadi lagi

Liputan6.com, Jombang Menyikapi gejolak kenaikan harga pangan dan energi dunia, pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.10 Tahun 2022 Tentang Tata Cata Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.

Salah satu isi dari peraturan tersebut ialah jenis pupuk bersubsidi yang diberikan kepada petani hanya berjenis Urea dan NPK. Dua jenis pupuk ini dipilih karena diyakini sangat sesuai dengan kondisi lahan pertanian yang sangat memerlukan unsur hara makro esensial.

Kebijakan subsidi pupuk jenis Urea dan NPK ini pun disambut baik petani di Jawa Timur. Mereka berharap terbatasnya jumlah pupuk bersubsidi sehingga timbul kelangkaan di lapangan tidak terjadi lagi, seiring berkurangnya jenis pupuk yang disubsidi pemerintah.

"Kedua jenis pupuk itu menurut saya bagus,  cocok untuk menjaga ketahanan pangan pokok," kata M. Fahri, 47, petani asal Desa Kepuhrejo, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang, kepada wartawan, Sabtu (16/7).

Fahri mengatakan kedua jenis pupuk itu sangat bagus digunakan untuk semua jenis tanaman, mulai dari pangan, hortikultura, dan perkebunan. Pupuk Urea dan NPK juga memiliki manfaat dan fungsi yang sama terhadap tumbuhan.

Pupuk NPK misalnya, memiliki kandungan tiga unsur hara makro, yaitu nitrogen, fosfor dan kalium. Menjadikan tanaman lebih hijau dan segar, pertumbuhan tanaman secara keseluruhan menjadi lebih cepat, meningkatkan kandungan protein, memperbanyak jumlah anakan, menambah cabang tanaman, serta dapat meningkatkan hasil panen. 

"Kelebihannya hampir sama, cuma kalau pupuk Urea kalau tidak salah dapat meningkatkan daya tahan terhadap penyakit dan hama," ujarnya.

2 dari 3 halaman

Manfaat Penyaluran Pupuk Subsidi bagi Petani

Fahri memastikan adanya penyaluran pupuk subsidi ini akan sangat membantu petani, seiring terbatasnya jumlah serta tingginya harga pupuk nonsubsidi di pasaran. Sebagai perbandingan harga pupuk urea subsidi hanya sebesar Rp2.250 per kilogram, sedangkan non subsidi bisa mencapai Rp10 ribu hingga Rp12 ribu per kg di tingkat kios. 

"Mudah-mudahan penyalurannya tepat sasaran, sehingga betul-betul bisa dirasakan petani," katanya.

Hal senada juga disampaikan Darmuji, salah satu petani di Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, yang menjelaskan terbatasnya pupuk sempat membuatnya kesulitan mencari pupuk untuk pertaniannya. Dia pun berharap dengan tata kelola dalam peraturan baru dapat setidaknya mengurangi kesulitan yang selama ini terjadi.

"Pupuk Urea dan NPK ya baik, petani mau tidak mau karena butuh, petani harus membeli pupuk non subsidi yang harganya lebih mahal," katanya.

Fahri dan Darmuji berharap penyaluran dua jenis pupuk subsidi Urea dan NPK benar-benar tepat sasaran. Ia juga berharap pemerintah gencar melakukan sosialisasi ke petani terkait teknis agar bisa mendapat pupuk subsidi itu. 

"Saran saya, pemerintah harus lebih melibatkan kelompok tani (Poktan), karena yang bersentuhan langsung dengan para petani," ujar Darmuji.

3 dari 3 halaman

Soal Pupuk harus Jadi Prioritas Pemerintah

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Petani Pangan Indonesia (APPI) Jawa Timur, Suprapto, menjelaskan bahwa yang terpenting ialah ketersediaan pupuk di lapangan. Karena persoalan pupuk memang harus menjadi prioritas utama pemerintah.

 "Karena apa, sejauh ini petani masih tergantung pada pupuk bersubsidi. Sehingga diharapkan pemerintah melalui Kementerian Pertanian memberikan tambahan alokasi pupuk bersubsidi di Jatim," katanya.

Sebab, menurut dia, petani sangat membutuhkan pupuk bersubsidi untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanamannya. Karena saat ini harga pupuk nonsubsidi di pasaran sangat mahal dan selisihnya bisa mencapai lima hingga enam kali lipat dari harga pupuk bersubsidi. 

"Pupuk urea tahun lalu selisih harga antara subsidi dan nonsubsidi hanya dua kali lipat, sekarang selisihnya bisa mencapai lima hingga enam kali lipat," ujarnya.

 

(*)