Sukses

DPR Kritik Sri Mulyani Soal Cukai Rokok: Orientasi Penerimaan atau Pengendalian konsumsi?

Anggota DPR Misbakhun mewanti-wanti Menkeu Sri Mulyani sebelum mengeluarkan regulasi tentang industri hasil tembakau atau cukai rokok.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun meminta pemerintah lebih adil dan objektif soal kebijakan maupun aturan untuk industri hasil tembakau (IHT).

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sendiri memutuskan untuk menaikan cukai hasil tembakau (CHT) jadi 12 persen pada 2022. Seiringan dengan simplifikasi tarif cukai rokok dari sebelumnya 10 layer menjadi 8 lapis, dan terbaru hingga 5 lapis.

Misbakhun mewanti-wanti pemerintah sebelum mengeluarkan regulasi tentang IHT harus melihat terlebih dahulu manfaat dan dampak terhadap sektor yang menjadi penyangga hidup banyak orang tersebut.

"Tidak semua aturan itu kemudian memberikan keuntungan bagi industrinya," kata Misbakhun dalam keterangan tertulis, Minggu (17/7/2022).

Legislator dari Partai Golkar ini juga mengomentari kebijakan cukai rokok untuk 2023 yang sedang dibahas pemerintah. Ia mengaku banyak menerima unek-unek para pelaku usaha IHT.

Hal yang menjadi kekhawatiran dan perhatian pelaku usaha IHT yakni soal simplifikasi tarif cukai. Sebab, simplifikasi itu dibarengi kenaikan tarif cukai untuk IHT.

Menurut dia, IHT memiliki peran penting terhadap perekonomian Indonesia. Dia menegaskan, industri hasil tembakau mampu menciptakan efek pengganda.

"Industri ini memiliki kemampuan dalam menyerap tenaga kerja yang besar, mulai dari sektor hulu hingga hilir, dan berkontribusi besar dalam menggerakan perekonomian nasional dan daerah," ungkapnya.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu pun menyodorkan angka untuk menguatkan argumennya. Misbakhun mengatakan kontribusi IHT terhadap cukai hasil tembakau (CHT) mencapai 95 persen.

"Besarnya potensi kontribusi CHT menyebabkan kebijakan cukai makin eksesif. CHT terlihat justru lebih berorientasi pencapaian target penerimaan daripada pengendalian atau pembatasan konsumsi rokok," paparnya.

Selain itu, Misbakhun juga menegaskan komitmennya untuk membela para petani tembakau. Dia mengaku akan terus menentang Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau yang dicetuskan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

“Bagi saya, menolak FCTC ini ibadah. Jihad saya melawan agenda asing di Indonesia. Kalau orang berjihad melawan rokok, saya akan berjihad melawan FCTC," tegasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 3 halaman

Kebijakan Simplifikasi Cukai Rokok Lanjut, Pelaku Industri Kelimpungan

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok mencapai 12 persen untuk tahun 2022.

Kebijakan itu diterapkan berbarengan dengan simplifikasi struktur tarif cukai rokok dari sebelumnya 10 layer menjadi 8 layer yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192 Tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.

Teranyar, kini beredar kabar jika Kemenkeu akan melanjutkan kebijakan simplifikasi hingga menjadi 5 layer. Salah satu aspek yang ditekankan, yaitu golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) serta Sigaret Putih Mesin (SPM); penyatuan Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan 1A dan 1 B; dan penurunan batas kuota dari 3 juta batang ke 2 juta batang.

Menanggapi hal itu, Ketua Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar mengatakan, pihaknya menolak rencana pemerintah dari adanya simplifikasi tersebut. Sebab, kebijakan itu akan mencekik para pelaku industri tembakau kecil dalam melanjutkan usahanya.

"Pasti nanti dampaknya akan terjadi banyaknya perusahaan rokok yang kelimpungan. Sekarang beda dari tarif cukai antara golongan 1A dengan 1B itu cukup signifikan. Artinya, di situ kalau digabung jadi satu yang golongan 1B akan naik tarifnya menuju golongan 1A. Apalagi kalau golongan 1A dinaikkan berarti kan naiknya dua kali," kata Sulami kepada wartawan, Minggu (10/7/2022).

Menurut Sulami, akibat dari adanya penerapan PMK Nomor 192 Tahun 2021 masih amat berat dirasakan oleh pelaku industri tembakau menengah ke bawah. Karena regulasi itu membuat produksi rokok menurun.

"(PMK Nomor 192 Tahun 2021) itu kenaikan tarif cukai 12 persen. Nah, dampaknya untuk industri mengalami penurunan produksi karena harganya luar biasa," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Nasib Petani Tembakau

Ia menyebut, yang dibuat menderita oleh pemerintah dari PMK Nomor 192 Tahun 2021 tak hanya pengusaha, melainkan juga para petani tembakau.

"Sedangkan petani otomatis penyerapannya berkurang. Akibatnya, pendapatan berkurang. Jadi kalau sudah kayak begitu pendapatan negara juga berkurang. Ujung-ujungnya, nanti rokok ilegal yang semakin marak, pasti larinya ke sana," ujarnya.

“Bila pemerintah peduli terhadap keberlangsungan industri tembakau, seharusnya fokus terhadap pemberantasan rokok ilegal. Sebab, keberadaan rokok ilegal telah membuat negara kehilangan pendapatan sekitar Rp 53 triliun," tutup Sulami.Â