Liputan6.com, Jakarta Tax ratio Indonesia paling rendah di antara negara G20 dan ASEAN. Tax ratio Indonesia masih di bawah 10 persen atau single digit sedangkan negara G20 dan ASEAN sudah di atas 10 persen atau double digit.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, tax ratio Indonesia pada 2021 lalu sebesar 9,11 persen terhadap PDB. Angka tersebut jika memasukkan kepabeanan dan cukai. Sedangkan jika hanya menghitung pajak murni maka tax ratio Indonesia hanya 7,52 persen bila rasio pajak murni (minus kepabeanan dan cukai).
Baca Juga
Untuk diketahui, tax ratio atau rasio pajak adalah perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto. Rasio ini merupakan alut ukur untuk menilai kinerja penerimaan pajak suatu Negara.
Advertisement
Komponen penerimaan pajak di Indonesia mencakup penerimaan pajak pusat, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Minyak dan Gas, dan PNBP Pertambangan Umum. Pajak daerah tidak menjadi komponen perhitungan Rasio Pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, Indonesia perlu melakukan reformasi di bidang perpajakan sebagai upaya mengungkit tax ratio. Selain itu, juga membutuhkan percepatan reformasi dalam menjalankannya.
Adapun agenda reformasi perpajakan mencakup perbaikan penerimaan negara, menggalakan penggunaan teknologi informasi (TI), memperbaiki proses bisnis, dan perbaikan sisi legislasi.
“Kenapa reform? Ya, karena kebutuhan dari perekonomian berubah, tantangan makin rumit dan kebutuhan kita untuk tax collection yang memadai, [dan] tax rasio kita itu termasuk yang terendah di region kita, maupun di G20, atau di ASEAN,” ujarnya dikutip dari Belasting.id, Kamis (21/7/2022).
Sri Mulyani menjelaskan kebutuhan pembangunan dan perkembangan negara masih banyak. Seperti halnya kebutuhan di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perbaikan TNI dan Polri.
Menurutnya, penerimaan negara menjadi salah satu penopang keberlangsungan perbaikan di semua sektor tersebut. Dana yang dipakai, kata Sri Mulyani, berasal dari penerimaan pajak.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Reformasi Jilid Dua
Menkeu menyampaikan reformasi jilid kedua perpajakan juga dipicu oleh perubahan perekonomian dunia. Dimana penggunaan komponen digital atau digitalisasi semakin luas dan menyeluruh.
Sri Mulyani menilai tantangan untuk mengelola pajak semakin tinggi dengan adanya perubahan tersebut. Oleh karena itu, perlu diimbangi dengan memasang sistem digitalisasi di perpajakan.
Kini, Ditjen Pajak (DJP) bisa mengakses data dan informasi milik wajib pajak melalui automatic exchange of information (AEoI). Ini juga akan memudahkan otoritas pajak untuk melakukan proses bisnis.
Selain itu, untuk memudahkan administrasi perpajakan bagi masyarakat luas, sekarang 19 juta NIK sudah bisa dipakai sebagai NPWP. Jadi masyarakat tidak perlu mendaftar untuk membuat NPWP
Advertisement
Suryo Utomo Optimis Penerimaan Pajak 2022 Capai Target
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI optimis penerimaan pajak di tahun 2022 ini akan mencapai target yang ditetapkan. Hal ini sekaligus mengulang kesuksesan di tahun 2021 lalu.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Kemenkeu Suryo Utomo mencatat, realisasi pajak penghasilan (PPh) yang terkumpul dari Program Pengungkapan Sukarela (PPS) mencapai Rp 61 triliun pada periode Januari hingga akhir Juni 2022.
"Kami merasa program (Pengungkapan Sukarela) ini sukses karena realisasi lebih tinggi dari yang kami ekspektasikan," ujarnya dalam perayaan hari pajak di Jakarta, Selasa (19/7).
Atas situasi tersebut, Suryo Utomo optimis realisasi pajak tahun ini akan mencapai target yang telah ditetapkan. Menyusul, torehan pajak di kuartal II 2022 masih berada di zona positif.
"Izin bu menteri (Sri Mulyani) kami melaporkan dalam forum ini bahwa penerimaan negara tergolong bagus di semester II 2022. Dan harapannya sampai dengan akhir tahun ini pun suasana yang sama dialami (2021). Insya Allah," bebernya.
Penerimaan Terjaga
Suryo menerangkan, terjaganya penerimaan pajak hingga pertengahan tahun ini lantaran masih berlanjutnya tren pemulihan ekonomi nasional.
"Situasi (ekonomi) Alhamdulillah tidak terlalu berbeda dengan situasi semester II 2021," ungkapnya.
Selain itu, tren kenaikan harga komoditas energi dan pangan global juga masih berlanjut hingga kuartal II-2022. Sehingga, menguntungkan Indonesia sebagai negara produsen.
"Harga komoditas masih menunjukkan keperkasaannya di tahun 2022. Di samping itu implementasi undang-undang harmonisasi perpajakan khususnya terkait program pengungkapan sukarela pun juga dilakukan di semester I 2022 lebih tinggi dari yang kami ekspektasikan," tutupnya.
Advertisement