Liputan6.com, Kendal - Perum Bulog melaporkan, realisasi serapan beras di wilayah Papua dan Papua Barat masih sangat rendah. Itu lantaran adanya gagal panen di Kabupaten Merauke.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengonfirmasi hal tersebut. "Merauke gagal panen karena kualitas produksi rendah. Itu perlu dibantu oleh pemerintah atau Bulog," ungkap dia di MRMP Kendal, Jawa Tengah, Kamis (21/7/2022).
Baca Juga
Pria yang akrab disapa Buwas itu menyatakan, pihaknya berniat membangun sentra penggilingan padi atau Modern Rice Milling Plant berskala lebih kecil di Merauke.
Advertisement
"Jadi nanti kita akan produksi beras-beras di Merauke untuk kepentingan Papua. Karena sekarang ada tol laut, yang bisa mendistribusikan produksi Merauke untuk kepentingan Papua," tuturnya.
"Jadi nanti Papua tidak lagi disuplai dari Surabaya, NTB, Makassar, dan lain-lain," ujar Buwas.
Kendati begitu, ia tak ingin menggantungkan nasib perut warga Papua pada jumlah produksi beras. Pasalnya, masyarakat adat di pulau paling timur Indonesia tersebut juga lebih akrab dengan komoditas seperti sagu dan umbi-umbian.
"Jadi salah kalau lihat pangan dari satu sisi beras saja, tidak. Presiden sampaikan, kita harus galakan produksi pangan lokal. Baik di Papua itu produksinya sagu, kiat kuatkan pangan sagu di Papua," sebutnya.
"Umpama di Madura atau Gorontalo, jagung harus kita produksi di situ. Jadi jangan ikut-ikutan tanam padi. Kalau seperti itu, saya kira kekuatan pangan kita bisa dijamin. Kita tidak usah takut kekurangan pangan," pungkas Buwas.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bulog telah menyiapkan antisipasi jika terjadi kekurangan bahan pokok utama di Indonesia, yakni beras. Hal ini disampaikan, menyusul isu ancaman krisis pangan di masa pandemi Covid-19 yang tengah santer terdengar di masyarakat.
Krisis Pangan Menghadang, Ini Jaminan Bos Bulog Soal Stok Beras hingga Jagung
Dunia tengah menghadapi krisis pangan dampak dari kisruh global yang terjadi. Sejumlah pihak bahkan menilai, krisis pangan saat ini bahkan jadi yang terburuk, lebih parah dibanding 2018 silam.
Kendati begitu, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso situasi pangan di dalam negeri cenderung aman dari ancaman krisis. Terutama untuk berbagai komoditas bahan pokok seperti beras hingga jagung.
Namun, pria yang akrab disapa Buwas tersebut tetap tak ingin lengah dengan situasi yang ada.
"Pangan harus diwaspadai, dan ini tidak main-main dengan Rusia-Ukraina berperang. Sehingga mempengaruhi secara keseluruhan. Dulu kita bisa impor gandum dari Rusia Ukraina, sekarang terhenti," ungkapnya saat berkunjung ke MRMP Kendal, Jawa Tengah, Kamis (21/7/2022).
Di satu sisi, Buwas memastikan kondisi pangan nasional aman. Terlebih setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memprediksi, surplus produksi pertanian Indonesia terjaga dan mengalami peningkatan.
"Pak presiden ulangi lagi, kita 3 tahun sudah tidak impor (beras). Tapi bukan terus kita terlena. Maka kita harus tetap menjaga ketahanan pangan kita," tegas Buwas.
"Dengan apa, meningkatkan produksi, tingkatkan CBP yang ada di Bulog, yang sekarang ini sedang digodok keputusannya, berapa pemerintah akan menyadangkan beras pemerintah. Sesuai keputusan Rakortas (target produksi beras) 1-1,5 juta ton. Kita sudah lebih, 1,1 juta ton," terangnya.
Menghadapi krisis pangan yang kini terjadi, ia tak ingin negara berpangku tangan pada produksi beras semata. Dia juga ingin hasil produksi bahan pokok pengganti lain semisal jagung dan singkong bisa ikut terdongkrak.
"Ada singkong, jagung, kentang, bahkan sagu, mustinya itu jadi kekuatan pangan kita. Harus dikelola sebagai kekuatan pangan menyeluruh. Jadi jangan beras saja," seru Buwas.
Advertisement
Tak Cuma Antisipasi, Jokowi Ingin Krisis Pangan dan Energi jadi Peluang
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, menyampaikan hasil rapat bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait krisis pangan dan energi yang harus menjadi perhatian, sekaligus peluang.
“Pertama tadi kami rapat dipimpin Bapak Presiden itu mengenai pangan dan energi. Melihat situasi dunia memang dua bidang ini harus sungguh-sungguh kita antisipasi. Nah, oleh karena itu, kita masih dalam suasana krisis dalam bidang pangan dan energi itu,” kata Zulkifli Hasan, saat ditemui di Jakarta, Senin (18/7/2022).
Oleh karena itu, kata Zulkifli, presiden Jokowi mengingatkan semua pihak harus memperhatikan sungguh-sungguh dalam mengantisipasi krisis tersebut. Selain itu, krisis itu juga bisa menjadi peluang bagi Indonesia.
Karena sebetulnya, krisis pangan dan energi jika dibicarakan secara mendetail ada solusinya. Misalnya, kekurangan komoditas cabai. Maka dipetakan daerah mana saja yang merupakan penghasil cabai paling banyak, yaitu Jawa Barat, maka Jawa Barat akan menjadi fokus Pemerintah.
Lalu, untuk penghasil kopi terbanyak ada di Sumatera Selatan dan Lampung, maka Pemerintah akan fokus ke daerah itu. Artinya, kata Zulkifli, antisipasi krisis ini bisa menjadi peluang bagi Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan produksi bahkan ekspor.
“Sehingga bicaranya lebih detail, sehingga antisipasi ini bisa menjadi peluang bagi kita untuk meningkatkan produksi bahkan ekspor, gara-gara itu tentunya,” ujarnya.
Perang Rusia-Ukraina Picu Krisis Energi dan Pangan
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen menyebutkan bahwa perang Rusia-Ukraina berdampak ke semua negara. Bahkan saat ini krisis energi dan krisis pangan yang terjadi berasal dari perang kedua negara tersebut.
Saat bertemu dengan Janet Yellen, Sri Mulyani menjelaskan, negara manapun berhak mendapatkan akses terhadap pangan dan energi. Dua sektor ini harus bisa diakses siapapun dengan harga yang terjangkau.
"Penanganan krisis pangan dan energi di dunia harus diakselerasi karena sejatinya siapapun berhak untuk mengakses makanan dan energi secara terjangkau," kata Sri Mulyani dalam pertemuan bilateral RI dan AS di Nusa Dua, Bali, dikutip Minggu (17/7/2022).
Kondisi ini terjadi karena konflik di Ukraina yang jadi pemicu terus melambungnya harga energi dunia dan menyebabkan munculnya tantangan pada perekonomian global. Untuk mengatasi hal tersebut, berbagai opsi kebijakan perlu didiskusikan agar pasokan minyak dunia tetap terjaga dan harga minyak dunia dapat kembali kepada level sebelum konflik.
Selain membahas masalah pangan dan energi global keduanya juga membahas isu-isu energi dan lingkungan, serta kebijakan negara masing-masing terkait isu tersebut. Sri Mulyani menekankan pentingnya langkah konkret dan teknis.
Tidak sebatas pada ranah konseptual. Melainkan hingga mendukung implementasi peralihan penggunaan pembangkit listrik ke sumber energi yang ramah lingkungan yang membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit.
"Salah satunya adalah melalui kebijakan Energy Transition Mechanism (ETM) yang telah diinisiasi dan dicanangkan oleh Indonesia bersama Bank Pembangunan Dunia (Asian Development Bank/ADB)," kata dia.
Ia juga menegaskan, hasil dari Pertemuan Ketiga FMCBG akan dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat dunia. Hal itu selaras dengan semangat Presidensi G20 Indonesia untuk terus bekerja keras dan berkontribusi dalam menangani berbagai permasalahan utama di dunia.
Ini sebagai bukti nyata atas signifikansi dan relevansi peran Presidensi G20 Indonesia untuk mencapai pemulihan ekonomi global secara bersama. Selaras dengan arah tema Presidensi G20 Indonesia, Recover Together, Recover Stronger.
Advertisement